Saat
ini Jakarta memiliki banyak masalah sosial mulai dari kriminalitas, kemiskinan
dan pengangguran hingga urbanisasi. Pada 2000, jumlah penduduk DKI Jakarta
sekitar 8,4 juta orang, dan meningkat menjadi 9,5 juta pada tahun 2010. Dengan
demikian, selama 2000-10, pertumbuhan populasi tahunan kota Jakarta sekitar 1,3
persen, lebih rendah dibandingkan tingkat pertumbuhan penduduk nasional yang
mencapai 1,5 persen (BPS Jakarta, 2010).
Sebagai
wilayah yang termasuk adalah salah satu kota besar di Asia, Jakarta memiliki kepadatan
penduduk tinggi (> 10 000 km2) dan urbanisasi yang cepat dalam dekade
terkahir (Jago-on dkk, 2009). Jakarta telah menjadi kota tujuan utama bagi
migran dari daerah lain, dan migrasi internal adalah salah satu faktor utama
yang menyebabkan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Data sensus menunjukkan
bahwa DKI Jakarta merupakan daerah penerima migran terbesar di Indonesia (BPS
Jakarta, 2010).
Tingkat
urbanisasi Jakarta yang relative tinggi berpeluang terjadinya kenaikan jumlah warga
miskin dan meningkatnya warga miskin meningkatkan jumlah warga yang memiliki
risiko ketidakmampuan dalam mengakses makanan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kondisi
ini makin memperparah Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia, terutama dalam
hal ketahanan pangan. Ini mengingat – karena keterbatasan lahan -- sekitar 98
persen produk hasil tanaman pangan Jakarta masih tergantung dari luar Jakarta.
(http://poskota.co.id/berita-terkini/2011/10/08/panen-raya-padi-di-semanan-jakarta-barat
diakses 3 Juli 2012)
International
Food Policy Research Institute (IFPRI) menunjukkan bahwa kemiskinan dan
kekurangan gizi yang sebelumnya terjadi di pedesaan kini bergeser ke perkotaan.
Kerawanan pangan di perkotaan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor
ketersediaan pangan, ketidakmampuan rumah tangga miskin di perkotaan
untuk mengakses pangan yang aman,
dan berkualitas dalam jumlah yang cukup. Tren ini membawa implikasi bagaimana
peneliti dan pembuat keputusan
mencari pendekatan dan model
baru untuk mengatasi masalah
kerawanan pangan dan kurang gizi di perkotaan
(Rocha, 2000).
Berkaitan
dengan permasalahan perkotaan dan ketahanan pangan, sejak beberapa tahun silam,
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) berinisiatif untuk mendukung dan
mempromosikan produksi pangan di daerah perkotaan. Dengan kata lain, FAO
menyarankan dikembangkannya model pertanian di daerah perkotaan.
Wikipedia
the free encyclopedia mendefinisikan pertanian perkotaan sebagai praktek
pertanian (meliputi kegiatan tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan
kehutanan) di dalam atau di pinggiran kota yang dilakukan di lahan pekarangan,
balkon, atau atap-atap bangunan, pinggiran jalan umum, atau tepi sungai dengan
tujuan untuk menambah pendapatan atau menghasilkan bahan pangan.
Sedangkan
menurut UNDP (1996) pertanian perkotaan adalah suatu kesatuan aktivitas
produksi, proses, dan pemasaran makanan dan produk lain -- di air dan di
daratan -- yang dilakukan di dalam kota dan di pinggiran kota, menerapkan
metode-metode produksi intensive, dan daur ulang (reused) sumber alam dan sisa
sampah kota, untuk menghasilkan keanekaragaman peternakan dan tanaman pangan.
Dalam
konteks Indonesia, pertanian perkotaan bukanlah fenomena baru. Banyak pertanian
skala kecil yang memproduksi bayam, kangkung, selada, sawi, dan sebagainya yang
dikelola di lahan wilayah perkotaan. Namun, kegiatan ini meluas setelah
penurunan ekonomi umum di akhir 1998, ketika kaum miskin di daerah kota
berjuang untuk meningkatkan kehidupan mereka. Pada saat krisis ekonomi, jumlah
petani yang mengelola lahan pengembang real estate makin meningkat (Muchlis dan Sultan, 1998).
Itu
terjadi karena adanya permintaan akan sayuran dalam bentuk segar dan
berkualitas di daerah perkotaan. Selain itu, dari pada lahannya telantar, para
pengembang mengizinkan para pendatang dari daerah untuk menggarap lahan. Ketika
krisis ekonomi, lahan pengembang banyak yang menganggur karena permintaan untuk
perumahan stagnan. Ini adalah semacam kesempatan kerja bagi buruh migrasi tak
bertanah yang datang dari desa ke kota untuk mencari pekerjaan.
Urban
Agriculture Network memperkirakan, selama 1993 hingga 2005, pertanian perkotaan
dapat meningkatkan pangsa produksi pangan di dunia dari 15% ke 33%,
pangsa untuk buah-buahan, daging, ikan, dan susu dari 33% menjadi 50%, dan jumlah petani kota dari 200 menjadi 400 juta (Baumgartner dan Belevi, 2007).
Sejak
2010 lalu, di Jakarta muncul gerakan untuk menanam buah-buahan dan sayuran yang
menanamakan dirinya sebagai komunitas Jakarta Berkebun. Komunitas ini mendorong
masyarakat untuk menanam buah-buahan dan
sayuran di Jakarta. Secara resmi, komunitas ini diresmikan pada Februari 2011.
Komunitas
yang bergerak melalui media jejaring sosial yang bertujuan untuk menyebarkan
semangat positif untuk lebih peduli kepada lingkungan dan perkotaan dengan
program urban farming, yaitu memanfaatkan lahan tidur di kawasan perkotaan yang
dikonversi menjadi lahan pertanian/perkebunan produktif hijau yang dilakukan
oleh peran masyarakat dan komunitas sekitar serta memberikan manfaat bagi
mereka. (http://www.indonesiaberkebun.org/tentang.html diakses 3 Juli 2012)
Ridwan
Kamil, seorang arsitek dari Bandung, memulai gerakan pada Oktober 2010 melalui
Twitter hashtag # jakartaberkebun. Idenya segera menyebar dan beberapa orang
terinspirasi oleh keprihatinan Ridwan atas kurangnya ruang hijau di
Jakarta. Sekitar 20 orang menghadiri
pertemuan pertama kelompok pada Oktober 2010. Pertemuan ini dilakukan setelah
ada tawaran mengelola lahan tidur gratis seluas 10.800 meter persegi di
kompleks perumahan Springhill, Kemayoran Jakarta selama tiga tahun.
Sekitar
150 orang menghadiri acara pertama di Kemayoran dan setiap peserta diberi
sepotong kecil tanah untuk menanam kangkung (kangkung). Pemilihan kangkung
dilakukan dengan pertimbangan kangkung mudah tumbuh dan hanya memakan waktu
sekitar tiga minggu sebelum siap untuk dipetik. Santika, et al. (1997) menyatakan bahwa peran
pertanian sayuran di pinggiran kota
sangat penting, terutama dalam hal jaminan pasokan berkesinambungan untuk
penduduk kota.
Sejak
itu, Jakarta Berkebun telah mampu membangkitkan antusiasme di antara banyak
orang. Komunitas ini tidak hanya menjadi pelopor bagi gerakan pertanian
perkotaan di Jakarta tetapi telah merambah ke kota-kota lain seperti Bandung,
Yogyakarta, Semarang, Solo, Surabaya, serta berbagai kota di pulau Sumatera,
Kalimantan, Bali dan Sulawesi. Sekarang, komunitas itu dikenal sebagai
komunitas Indonesia Berkebun.
Untuk
mendukung kampanyenya, Indonesia berkebun memiliki unit yang disebut sebagai
Akademi Berkebun. Ini adalah wadah
edukasi dari Indonesia Berkebun, dengan visi dan misi yang sejalan dengan
Indonesia Berkebun. Bertujuan untuk mensosialisasikan cara berkebun organik
yang benar dan menjadikan kegiatan berkebun organik menjadi satu kebutuhan
masyarakat perkotaan. Sesuai konsep urban farming dan home farming, edukasi
ditujukan pada masyarakat perkotaan dengan memanfaatkan lahan tidur dan halaman
rumah.
Selain
menjadikan berkebun organik sebagai kebutuhan, Akademi Berkebun dipersiapkan
pula untuk peserta yang berniat menjadikan berkebun organik sebagai kegiatan
profesional. Sesuai base knowledge Indonesia Berkebun yaitu ekologi, edukasi
dan ekonomi maka team Akademi Berkebun dengan mentornya menjadi pendamping bagi
peserta yang menggunakan berkebun organik sebagai sebuah usaha profesional.
Komunikasi
yang terjalin diantara anggota komunitas adalah melalui internet, email, dan
media sosial lainnya. Ini mengindikasikan bahwa perkembangan media baru
memberikan kontribusi bagi ‘gerakan” tersebut.
Identifikasi
Masalah
Sebagai
sektor strategis yang tahan krisis dan resesi, sampai saat ini pertanian
merupakan penyerap tenaga kerja sangat potensial dengan kecenderungan pelaku
utamanya adalah perempuan. Potret ini terlihat jelas pada pengembangan
komoditas hortikultura (sayuran dan buah-buahan) maupun florikultura
(bunga-bungaan) di lahan kering dengan ketersediaan air sebagai kendala
utamanya. Kegiatan pengambilan air, penyiraman, penyiangan, pemupukan,
pengendalian hama/penyakit, panen dan pemasaran, sebagian besar dilakukan
petani perempuan.
Sementara
laki-laki, meskipun partisipasi operasionalnya terbatas, akses dan kontrol
terhadap modal, lahan, kredit, peralatan pertanian, harga jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan. Bahkan berdasarkan hasil pemetaan jender di
lokasi penelitian lahan kering di Desa Keji dan Kalisidi, Ungaran, Jawa Tengah,
terlihat akses dan kontrol perempuan untuk budidaya padi, palawaija, dan
hortikultura maksimum hanya mencapai sedang (Irianto, 2003)
Ketidaksetaraan
berdasarkan jenis kelamin adalah sebuah fenomena dunia yang diakui muncul di
berbagai budaya, agama dan kelas. Sebagian besar, seperti perbedaan antara
kedua jenis kelamin muncul dalam tanggung jawab, akses dan kontrol terhadap
sumberdaya dan pengambilan keputusan.
Namun,
baru akhir-akhir ini saja perbedaan yang berbasis gender ini diakui sebagai
faktor penghambat terhadap pembangunan dan pertumbuhan sosial. Akibatnya,
berbagai upaya yang didedikasikan untuk memerangi masalah diskriminasi gender
mulai dari konferensi, laporan internasional dan penelitian untuk proyek-proyek
praktis dan program hanya ditujukan untuk mengubah kebijakan guna mempersempit
kesenjangan gender yang ada.
Dalam
sepuluh tahun terakhir, makin diakui bahwa sebagian besar petani perkotaan
terdiri dari perempuan. Sebelumnya, para peneliti masih melihat bahwa ada
keseimbangan antara petani perkotaan dari kalangan perempuan dan lelaki. Namun,
literatur terbaru menunjukkan bahwa dominasi perempuan dapat ditemukan di
pertanian perkotaan di banyak daerah, termasuk Kenya, Uganda, Tanzania,
Mozambik, Zambia, Zimbabwe, Senegal, Polandia dan Thailand (Hovorka, 1998;
Maxwell, 1995; UNDP, 1996).
Ada
beberapa hal yang menyebabkan meningkatnya dominasi perempuan tersebut.
Pertama, masih kuatnya anggapan bahwa perempuan memikul tanggung jawab atas
kelangsungan dan kesejahteraan rumah tangga. Kedua, perempuan cenderung
memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan lelaki. Karena itu
sulir mendapatkan pekerjaan formal (Hovorka, 2001).
Kini,
komunikasi sedang mengalami perubahan radikal. Setiap aspek proses komunikasi
yang terjadi secara nyata mengalami perubahan sebagai dampak dari revolusi
teknologi. Yang paling nyata dari perubahan tersebut adalah cara seseorang
dalam menggunakan saluran media. Kini orang tidak lagi bergantung pada media yang
selama bertahun-tahun tersedia.
Saat
ini, saluran komunikasi yang benar-benar baru tersedia bagi publik. Perkembangan
media sosial membuat orang – secara sosial -- dapat mengklaim dirinya sebagai
bagian dari sebuah organisasi, kelompok atau perusahaan yang memiliki
kesetaraan atau lebih besar dari suara mereka. Ini karena mereka dapat
mengembangkan jaringan pendukung yang melintasi struktur hirarki organisasi
tradisional (Gossieaux and Moran, 2010:xx)
Internet
telah merevolusi cara hidup sebagian besar orang. Internet telah menjadi bagian
integral dari kehidupan ekonomi, politik, dan sosial, mengubah cara orang membeli
barang, cara orang berhubungan dengan dan bagaimana bank melayani nasabahnya,
dan cara orang berkomunikasi satu sama lain. Internet juga mengubah tidak hanya
bagaimana orang menyampaikan berita, tetapi juga yang memberikan berita (Ali,
2011).
Internet
menggeser perdebatan tentang media dan demokrasi melalui beberapa cara. Sebagai
media komunikasi, internet telah menghapus perbedaan produsen-konsumen menjadi
setara. Ini karena yang memproduksi pesan bukan lagi hanya perusahaan produsen,
konsumen juga bisa bersuara dan menggalang kekuatan. Jika setiap individu
konsumen juga dapat menghasilkan dan mendistribusikan informasi, ide dan kemudian
image, maka pertanyaan “siapa memiliki apa” menjadi kurang penting atau tidak
penting sama sekali.
Dalam
banyak tulisan ilmiah maupun populer, internet dipandang secara bersama sebagai
jawaban atas teka-teki demokratis yang berkembang di barat. Internet dianggap
sebagai solusi aspirasi demokratis rakyat yang hidup di bawah rezim otoriter.
Karena itu, komunikasi melalui jaringan internet yang dilakukan oleh komunitas
Indonesia Berkebun diperkiarakan mampu menghapus perbedaan dan diskrimasi
lelaki dan perempuan.
Meskipun
terdapat perbedaan antara gaya berkomunikasi pria dan perempuan, namun
perbedaan tersebut relative kecil. Misalnya, baik perempuan maupun pria
memiliki perilaku yang berusaha untuk tetap akrab, agresif, berfokus pada
tugas, atau sentimental. Namun, terdapat hal penting dari perbedaan tersebut,
yakni perempuan dan pria kadang-kadang memberikan makna yang berbeda ketika
melihat pesan yang sama.
Perempuan
biasanya lebih mengharapkan hubungan yang didasarkan pada saling ketergantungan
(saling ketergantungan) dan kerjasama. Perempuan lebih sering menekankan
kesamaan antara dirinya dan orang lain, dan mencoba untuk membuat keputusan
yang membuat semua orang bahagia. Sebaliknya, pria berharap hubungan harus
didasarkan pada kemerdekaan dan persaingan. Pria lebih sering menekankan
perbedaan antara dirinya dan orang lain, dan sering membuat keputusan
berdasarkan kebutuhan pribadi mereka atau keinginan (Tannen, 1990; Wood, 2009).
Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih menuntut; cenderung
mendominasi, otoriter, langsung ke inti masalah, tumpul, kuat, agresif,
sombong, militan, dan sering menggunakan kata-kata yang sifatnya memberikan
janji dan bahasa gaul. Perempuan diyakini menggunakan tata bahasa yang baik dan
mengatakan dengan jelas, berbicara sopan, lembut, cepat, dan emosional; banyak
bicara, sering membicarakan hal-hal yang sepele, dan menikmati gosip dan omong
kosong (Edelsky, 1976; Kramarae, 1981; Lakoff , 1973; Siegler & Siegler,
1976; Spender, 1979).
Dari
perspektif komunikasi yang luas, terdapat perbedaan sistematis dalam komunikasi
berdasarkan gender. Perempuan memiliki kecenderungan berusaha keras untuk
mempertahankan situasi ketika berlangsung percakapan tatap muka lebih
menghargai koneksi dan kerjasama daripada pria (Meyers et al, 1997).
Internet
dianggap tidak netral gender (Heimrath dan Goulding, 2001). Dikatakan demikian
karena kondisi sosial dan stereotip di masyarakat dan internet itu masih
melekat pada karakter laki-laki karena faktor budaya. Namun, jika melihat
kesempatan pendidikan hari ini dan kemajuan teknologi, ketidaksembangan akses
Internet karena gender tidak signifikan karena pada dasarnya internet terbuka
pada siapapun baik laki-laki maupun perempuan. Dengan kata lain, ada ruang
demokratis bagi kedua gender memiliki akses yang sama ke Internet. Namun,
meskipun memiliki kesempatan yang sama, perbedaan gender masih jelas dalam
lingkup dan tujuan penggunaannya.
Perempuan
biasanya menggunakan internet lebih pada untuk kepentingan berkomunikasi dan
pendidikan (Weiser, 2000), dan menemukan "informasi pribadi"
dibandingkan pria. Sebuah studi di Internet Relay Chat (IRC) menunjukkan bahwa
pria mengirim pesan lebih banyak dari perempuan, selalu yang memulai dan
menutup chatting online, sementara
perempuan biasanya mengirimkan pesan yang lebih pendek dari pria
(Stewart, et.all, 1999). Hal ini memberikan indikasi bahwa perempuan lebih
cenderung untuk tidak memulai kontak dengan orang yang menggunakan perangkat
lunak pesan instan daripada pria.
Fokus
Penelitian
Berdasarkan
identifikasi pemasalahan tadi, beberapa persoalan penelitian yang muncul antara
lain soal pembagian pekerjaan (siapa sebenarnya petani perkotaan, apakah
pembagian kerja dalam rumah tangga berkaitan dengan keamanan pangan -- misalnya
menanam, mengumpulkan, memperdagangkan, belanja, menyiapkan, dan
mendistribusikan makanan, berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk setiap
aktivitas, siapa yang bertanggung jawab dalam rumah tangga untuk memenuhi
kebutuhan pangan anggota keluarga, bagaimana peran yang anak-anak laki-laki
pria/ perempuan dalam rumah tangga? Berapa banyak waktu mereka dihabiskan untuk
mengamankan makanan dan / atau menghasilkan pendapatan, dan sebagainya.
Dalam
kaitannya dengan teknologi dan komunikasi, pertanyaan-pertanyaan tentang berapa
banyak waktu yang dihabiskan untuk berkebun, peternakan, pemeliharaan ikan,
dll, siapa yang banyak menghabiskan waktu dan melakukan kegiatan apa, apakah
ada konflik kegiatan karena kekurangan waktu, kegiatan apa, situasi atau
masalah muncul karena konflik tersebut, anak-anak misalnya tidak bersekolah
untuk membantu dengan pekerjaan rumah tangga; gangguan kesehatan yang diderita
oleh pria / perempuan karena beban kerja yang besar, alternatif yang ada untuk
mengatasi konflik tersebut, siapa yang dan memainkan peran apa dalam
pengambilan keputusan resolusi konflik proses?
Siapa
yang memiliki akses informasi tentang kegiatan pertaniaan perkotaan, seperti
pengenalan teknologi baru, metode baru dalam penanaman, apakah koperasi ada,
apakah ini jaringan informal atau kelompok formal? Siapa saja anggota?
Bagaimana tanggung jawab, kegiatan, proses pengambilan keputusan, pembagian
pendapatan antara anggota koperasi pria/perempuan.
Bagaimana
dengan keberadaan LSM, apakah mereka membantu petani perkotaan, bagaimana
komposisi gender dari staf organisasi dan kepemimpinan LSM tersebut, siapa yang
dilayani (misalnya pria / perempuan,
kepala rumah tangga, anak-anak)? Apakah benar ada perlawanan formal/ aktivisme
tentang hak-hak petani perkotaan '? Siapa atau tidak terlibat? Apa platform?
Tujuan
Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah untuk menyelidiki apakah ada perbedaan dalam komunikasi
dan berperilaku antara pria dan perempuan. Isu gender dalam komunikasi terutama
yang berkaitan dengan pemahaman tentang strategi, posisi, identitas, peran di
tempat kerja dan wacana genre yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh jenis
kelamin. Interaksi dari semua faktor ini harus diperhitungkan ketika kita ingin
memahami bagaimana perempuan mungkin masih tidak berdaya di tempat kerja dan
juga bagaimana mereka dapat mengakses cara-cara baru untuk menjadi dan
bertindak sehingga dapat mengurangi mereka dari berbagai hambatan di tempat
kerja. Dengan kata lain, pemahaman tentang keberagaman cara berkomunikasi
penting sepenting pengetahuan dan pengelolaan gender di tempat kerja.
Manfaat
Penelitian
Adalah
sesuatu yang penting memantau dampak positif (keunggulan, potensi) dan negatif
(kerugian, risiko) dari kegiatan pertanian perkotaan dalam konteks gender di
lokasi dan dalam kondisi tertentu, serta bagaimana hubungan antara gender dan
dinamika pertanian perkotaan. Ketika melihat manfaat sebenarnya dari pertanian
perkotaan bagi lelaki atau perempuan, perlu dilakukan pembedaan terlebih dulu
antara kebutuhan praktis dibandingkan kebutuhan strategis.
Palacios
(2003: 2) menggambarkan kebutuhan praktis sebagai "kebutuhan mendesak yang
berhubungan dengan kondisi ketidakcukupan kehidupan mereka, seperti penyediaan
makanan, perawatan air, kesehatan dan lapangan kerja". Pemenuhan kebutuah
ini tidak menyiratkan perubahan dalam kaitannya dengan masalah gender.
Di
sisi lain, kebutuhan strategis "terkait dengan pembagian kerja, kekuasaan
dan kontrol oleh jenis kelamin, dan isu-isu seperti hak-hak dan kewajiban,
pemberantasan kekerasan rumah tangga, dan kesetaraan upah." Memuaskan
kebutuhan gender strategis ini membantu perempuan mencapai kesetaraan yang
lebih besar dan menjadi titik awal dari pergeseran peran yang ada. Meskipun
mereka dapat diidentifikasi dan dikonsep secara individual, persoalan kebutuhan
praktis dan strategis biasanya muncul dan harus diatas secara simultan.
Keterlibatan
dalam pertanian perkotaan dapat mencukupi baik kebutuhan praktis maupun
strategis. Meskipun ide mempromosikan pertanian perkotaan sebagai alat untuk
mencapai kemandirian ekonomi dan harga diri perempuan dapat direpresentasikan
oleh sebagian besar atribut untuk
kebutuhan strategis mereka.
Tempat
kerja merupakan tempat yang representative untuk mengamati interaksi nyata
antara pria dan perempuan (Kendall dan Tannen, 1997). Ini karena ketika orang berada
dalam ruang yang sama dalam suatu organisasi untuk menyelesaikan sesuatu di
tempat kerja, mereka harus berkomunikasi. Dengan kata lain, berkomunikasi adalah
nyawa dari semua organisasi (Boden, 1994).
Jadi,
pekerjaan yang berhubungan dengan komunikasi memainkan peran penting dalam
organisasi. Ada beberapa topik penting yang berkaitan dengan dugaan perbedaan
dalam komunikasi dan gaya kerja pria dan perempuan (Gray, 1992). Dalam konteks
pertanian perkotaan, isu-isu yang muncul antara lain soal pembagian pekerjaan,
faktor ekonomi, akses dan kepemilikan sumber daya,
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, A. H. (2012) .The Power of Social
Media in Developing Nations. Harvard Human Rights Journal Vol. 24
Badan Pusat Statistik Jakarta
(2010). Jakarta dalam angka (Jakarta).
Baumgartner, N, and H. Belevi (2007).
A Systematic Overview of Urban Agriculture in
Developing
Countries AWAG – Swiss Federal Institute for Environmental Science &
Technology. SANDEC – Dept. of Water
& Sanitation in Developing Countries
Boden, D. (1994). The Business of
Talk: Organizations in Action, Polity Press, London.
Gossieaux, F. and Moran, KE (2010).
The Hyper-social Organization: Eclipse Your
Competition
by Leveraging Social Media. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Gray, J. (1992). Men are from Mars and women are from Venus: A
practical guide for
improving
communication and getting what you want in your relationship. New York: Harper
Collins.
Hardy J, Diana M, and Scallerthwaite D
(1996). Environmental Problems in Third World
Cities. Earthscan.
London.
Heimrath, R., & Goulding, A.
(2001). Internet perception and use: a gender perspective,
Program, 35 (2),
119-134.
Hovorka, A. (1998). Gender resources
for urban agriculture research: Methodology,
Directory
& Annotated Bibliography. In: Cities Feeding People Series, Report 26.
Ottawa: IDRC
Hovorka, A. (2001) Gender and urban
agriculture: emerging trends and areas for future
research. Graduate
School of Geography, Clark University, Worcester MA, USA
International Food Policy Research
Institute (IFPRI)(2000); Achieving urban Food and
Nutrition Security in
the Development World.
Irianto, G (2003). Perempuan pada
Pertanian Lahan Kering. Kompas, 17 Nopember.
Jago-on, K. A. B., Kaneko, S.,
Fujikura, R., Fujiwara, A., Imai, T., Matsumoto, T.,
Zhang,
J., Tanikawa, H., Tanaka, K. & Taniguchi, M. (2009) Urbanization and
subsurface environmental issues: an attempt at DPSIR model application in Asian
cities. Sci. Total Environ. (in press)
Kramarae, C. (1981). Women and men
speaking. Rowley, MA: Newbury House.
Kramer, C. (1977). Perceptions of
female and male speech. Language and Speech, 20,
151-161.
Kendall, S. & Tannen, D. (1997). Gender
and language in the workplace. In Kotthoff, H.,
Wodak, R. (Eds),
Communicating Gender in Context, Benjamins, Amsterdam.
Lakoff, R. (1975). Language and
woman's place. New York: Harper & Row.
Maxwell, D. (1995) Alternative food
security strategy: a household analysis of urban
agriculture in
Kampala. In: World Development, 23 (10): 1669-1681.
Meyers, R.A., Brashers, D.E., Winston,
L. and Grob, L. (1997), "Sex differences and
group
argument: a theoretical framework and empirical investigation",
Communication Studies, Vol. 48, pp. 19-41.
Muchlis, I dan Sutan Eries Adlin.
(1998). Pemanfaatan Lahan Tidur Untuk Pertanian.
Harian Bisnis
Indonesia, 10 Mei.
Palacios, P. (2002). Why and how
should a gender perspective be included in
participatory
processes in urban agriculture. In: Latin American Training Course on urban
agriculture, Session 2, Proceedings. Quito: PGU-LAC
Rocha , C (2000). An Integrated
Program for Urban Food Security: The Case of Belo
Horizonte,
Brazil. Department of Economics. Ryerson Polytechnic University. Toronto
Santika, A., et al., 1997. Perbaikan
Sistem Usahatani Sayuran di Daerah Urban dan
Peri-Urban Menuju
Sistem Produksi Berkelanjutan. Puslitbang Hortikultura.
Siegler, D. M., & Siegler, R. S.
(1976). Stereotypes of males' and females' speech.
Psychological
Reports, 39, 167-170.
Smit, J. (1996), "Urban
Agriculture - Food, Jobs and Sustainable
Cities", UNDP
United Nations
Development Program, New York.
Spender, D. (1979). Language and sex
differences. In H. Andresen (Ed.), Osnabrucker
Beitrage
zur Sprachtheorie: Sprache und Geschlecht II (pp. 38-59). Oldenburg, Germany:
Red.
Stewart, C., Shields, S., Monolescu,
D., & Taylor, J. (1999). Gender and participation in
synchronous
CMC: an IRC case study. Interpersonal Computing and Technology: An Electronic
Journal for the 21st Century, 7, 1-41.
Tannen, D. (1990). You just don’t
understand: Women and men in conversation. New
York: Ballantine
Books.
UNDP (1996). Urban Agriculture; Food,
Jobs and Sustainable Cities. UNDP. New York.
Weiser, E. (2000). Gender differences
in Internet use patterns and Internet application
preferences:
A two-sample comparison. CyberPsychology & Behavior, 3, 167-178.
Wood, J. (2009). Gendered lives:
Communication, gender, and culture (8th Edition).
Belmont, CA:
Wadsworth Publishing.