Dalam beberapa tahun terkahir terjadi
perubahan paradigma target market perguruan tinggi. Ada yang melihat mahasiswa
sebagai pelanggan. Ini mengasumsikan bahwa pendidikan tinggi sama dengan
industri jasa lainnya. Namun di sisi lain lain ada yang melihat mahasiswa
sebagai produk. Benarkah mahasiswa itu pelanggan? Apa konsekuensinya?
Praktek
manajemen lembaga pendidikan tinggi kini mengalami perubahan paradigma mendasar
dengan makin pentingnya manajemen kualitas (total quality management) untuk
memastikan bahwa “pelanggan”nya puas.
Dengan kata lain, sebagian besar perguruan tinggi belakangan mengadopsi konsep
mahasiswa sebagai pelanggan. Mereka harus dipuaskan sehingga mereka bisa
menyuarakan kepuasannya kepada yang lain sehingga perguruan tinggi tersebut
menjadi pilihan bagi “adik-adik” mereka atau calon peserta didik lainnya.
Namun
demikian, banyak pihak yang memperdebatkan konsep tersebut. Pendidikan tinggi
bisa jadi merupakan lembaga penyedia layanan, namun tidak sepenuhnya mengikuti
hukum-hukum industri jasa. Benar bahwa semua konsumen, mahasiswa, pasien,
klien, dan sebagainya adalah pelanggan. Akan tetapi, agar suatu jasa memenuhi
harapan, pelanggan harus ikut memikul tanggung jawab yang berbeda tergantung
pada produk atau jasa yang dibeli. Artinya, janji yang diberikan oleh pemasar
tidak akan terpenuhi bila kondisi tertentu yang harus terjadi tidak terpenuhi.
Sebagai
contoh, seseorang yang membeli mobil memiliki tanggung jawab seperti harus
memastikan bahwa minyak pelumasnya diganti secara periodik, melakukan
pemeliharaan rutin, dan mobil dioperasikan dengan cara yang aman. Kegagalan
untuk memenuhi tanggung jawab ini dapat memperpendek masa manfaat mobil yang dibelinya.
Mahasiswa
juga memiliki tanggung jawab untuk menghadiri kelas, penelitian, menyelesaikan
proyek, ujian atau tes, dan sebagainya. Seperti diketahui, ada dua jenis produk
yang ditawarkan perguruan tinggi. Pertama adalah produk nyata dari pendidikan
tinggi adalah sertifikat atau ijazah yang diterima mahasiswa sesuai dengan
tingkatannya. Kedua, produk tidak berwujud pendidikan tinggi adalah proses
belajar mengajar dimana terjadi interaksi nyata dalam bentuk gagasan
(inteletual) maupun fisik (Felix dan Gibbs, 2009; 34). Hasil dari proses
interaksi ini berupa lulusan yang berkualitas kemudian ditawarkan kepada
industri atau masyarakat. Seperti halnya di dunia industri lainnya, kegagalan
dalam memenuhi tanggung jawab ini berakbiat pada rendahnya kualitas atau bahkan
kegagalan akademis.
Dengan kata
lain, seberapa baik seorang mahasiswa memenuhi tanggung jawab ini akan
berdampak secara signifikan terhadap kualitas pencapaiannya. Besar kecilnya
tanggung jawab itu sangat bervariasi, misalnya bervariasi dari kelas ke kelas
lainnya. Satu kelas mungkin membutuhkan sebuah proyek khusus, sementara kelas
lainnya tidak. Variasi tanggung jawab dapat pula terjadi sebagai persyaratan
seseorang bisa lulus atau tidak. Misalnya, mahasiswa dinyatakan lulus untuk
suatu mata kuliah atau tugas tertentu bila mendapatkan nilai C. Atau
tanggungjawab mahasiswa untuk mencapai nilai C bisa berbeda dengan tangungjawab
yang dibutuhkan untuk mendapatkan nilai B.
Dalam konteks
pengguna, ada beberapa perbedaan mendasar antara pendidikan tinggi dan industri
jasa lainnya. Pertama, pada industri jasa, semua orang yang membayar untuk
mendapatkan layanan adalah pelanggan. Sedangkan pada pendidikan tinggi tidak
ada pelanggan spesifik yang harus dilayani. Ini karena sebenarnya, yang
termasuk “pelanggan” perguruan tinggi menurut Bay dan Daniel (2001) adalah
mahasiswa, orang tua, lembaga pemerintah, pengusaha dan masyarakat pada
umumnya.
Di dalam
pendidikan tinggi, masing-masing jenis pelanggan memiliki kebutuhan dan peran
sendiri. Karena itu, persoalan pilihan kelompok yang ditarget membuat lembaga
pendidikan pada umumnya kurang bisa mengembangkan strategi yang fokus untuk
pelanggan yang spesifik secara efektif (Sirvanci, 1996).
Selain itu,
pelanggan juga dianggap sebagai mitra karena keterlibatannya di setiap titik
layanan. Dalam konteks ini masing-masing mitra berpartisipasi dalam
pengembangan, peningkatan penyediaan, dan perubahan layanan. Misalnya, bila
dalam bisnis jasa, kinerja pelayanan umumnya dinilai oleh konsumen eksternal
sementara karya mahasiswa dinilai oleh dosen internal. Karya mahasiswa – ujian
atau test misalnya -- disini bisa jadi merupakan hasil dari proses interaksi
kemitraan antara dosen dan mahasiswa.
Meski benar
bahwa mahasiswa menentukan pilihannya atas pendidikan tinggi dan membayar untuk
mendapatkan kesempatan pendidikan, akan tetapi mereka tidak sepenuhnya bisa
dianggap pelanggan biasa. Yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa tugas
pendidikan tidak semata menyenangkan para mahasiswa - setidaknya tidak dalam
jangka pendek. Pendidikan tinggi memerlukan lebih dari sekadar kemasan dan
memberikan pengetahuan kepada konsumen yang pasif. Dalam pendidikan, mahasiswa
menjadi bagian integral dan berperan aktif dalam proses pendidikan.
Mahasiswa
memiliki berbagai peran dalam proses pembelajaran. Proses ini berbeda dari industri jasa lainnya, dan peran
siswa tidak dapat disederhanakan dengan menyamakan mereka sebagaimana pelanggan
industri jasa lainnya. Mahasiswa memiliki tanggung jawab untuk adalah belajar.
Dalam konteks ini, belajar merupakan konsekuensi dari pilihan mahasiswa, bukan
layanan yang dibeli. Di sisi lain, perguruan tinggi tidak menjual sebuah
komoditas yang disebut belajar, melainkan memberikan mahasiswa suatu lingkungan
yang memungkinkan mahasiswa bisa belajar dengan baik (Groccia, 1997).
Namun
demikian, perguruan tinggi bukanlah sebuah organisasi yang berada di atas
masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perubahan yang memungkinkan
mahasiswa yang tidak puas diam dan sekadar bertanya, "Apa yang bisa saya
dapatkan?" (Lomas, 2007; 43). Mereka kini tak takut untuk bertanya,
"Apa yang harus saya lakukan?" Dan ketika jawabanya tidak memuaskan,
mereka akan melakukan sesuatu.
Pada industri
jasa, dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar dan
keuntungan, perusahaan memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan pelanggan sesuai
dengan keinginan mereka. Pada pendidikan tinggi, pengelola perguruan tinggi
ingin memenuhi kebutuhan pelanggannya, namun di sisi lain kebutuhan mahasiswa
seringkali tidak simetris dengan keinginannya.
Dalam bisnis,
ada adegium bahwa pelanggan selalu benar. Sementara itu perguruan tinggi,
layanan ditujukan lebih pada pemenuhan kebutuhan kebutuhan ketimbang keinginan.
Disini, program pendidikan ditentukan sesuai dengan tuntutan pada kebutuhan
lapangan pekerjaan atau lembaga pemerintahan misalnya, yang mungkin tidak
sesuai dengan keinginan mahasiswa.
Dalam bisnis
layanan, benefit dari layanan biasanya dirasakan pelanggan dalam jangka pendek
begitu mereka membayar. Di lingkungan perguruan tinggi, mahasiswa mendapatkan
benefit dalam waktu yang relative lama karena benefit dari layanan tersebut
diterima setelah mahasiswa selesai menjalani proses pendidikan yang biasanya
berangsung lebih dari tiga tahun. Degan kata lain, manfaat dari jasa yang
diterima berupa ilmu baru dirasakan mahassiwa setelah masuk ke dunia kerja.
Pendidikan tinggi merupakan investasi jangka panjang dengan manfaat ganda.
Mahasiswa sebagai penerima manfaat utama akan menyadari manfaat dari pendidikan
mereka di kemudian hari. Disini, kepuasan yang sebenarnya dapat diukur.
(Sirvanci, 1996).
Dari sisi
model pembayaran, antara bisnis bisnis jasa dan perguruan tinggi juga dapat
dibedakan. Bila dalam bisnis jasa pelanggan membayar penuh dengan dana sendiri.
Sementara untuk mendapatkan layanan, mahasiswa dapat membayar sebagian karena
sebagian lainnya dibayar melalui beasiswa atau subsidi dari pemerintah atau
lembaga swasta. Ini karena pada kenyataannya, terutama untuk perguruan tinggi,
biayayang dibayar mahasiswa umumnya di bawah biaya yang dikeluarkan perguruan
tinggi.
Dalam hal-hal
tertentu, ketika mahasiswa menghadapi kenyataan bahwa perguruan tinggi tidak
memberikan layanan seestinya atau karena alasan akademis, mahasiiswa harus
pindah ke perguruan tinggi lainnya, mahasiswa kehilangan dana yang telah
dibayarkan. Karena ketentuan, mahasiswa juga hars menunggu semester berikutnya
untuk mendapatkan perguruan tinggi bila gagal. Di bisnis layanan, bisa saja,
konsumen mendapatkan kembali uangnya begitu menghadapi kenyataan bahwa
layanannya tak sesuai dengan yang dijanjikan. Pelangggan bisnis jasa juga dapat
dengan mudah mengubah atau mengganti penyedia jasa layanan.
Pertanyaannya,
jika mahasiswa bukan pelanggan, lalu siapa “pelanggan” perguruan tinggi? Apakah orang tua yang membayar pendidikan
anak-anak mereka, pemodal yang mempekerjakan lulusan perguruan tinggi, ataukah
lembaga internal atau eksternal yang mengawasi perguruan tinggi? Dalam konteks
inilah, ada yang menyarankan bahwa pelanggan perguruan tinggi itu sebenarnya
adalah masyarakat.
Seperti
diketahui, tugas pendidikan adalah untuk membekali peserta didik untuk menjadi
peserta efektif dalam dinamika masyarakat. Jika pendidikan berjalan baik,
kebutuhan seluruh pemangku kepentingan
dipenuhi. Jika pendidikan tidak mencapai tujuan ini, tidak satupun dari
para pemangku kepentingan akan puas. Tapi ini adalah tujuan jangka panjang. Tak
ada yang mengetahui, apakah suatu perguruan tinggi mencapai tujuan tersebut.
Sebagian
orang berpendapat bahwa mahasiswa bukanlah pelanggan melainkan produk.
Ibaratnya, mereka masuk ke perguruan tinggi bahan baku yang penuh potensi,
membutuhkan pembentukan dan pemolesan sehingga menjadi sesuatu yang berguna.
Dalam konteks ini pendidikan dimaknai sebagai upaya mengembangkan peserta didik
menjadi dewasa, terampil dan efektif. Terampil memerlukan spesialisasi dan atau
keahlian. Efektif berarti kompetensi pribadi dan interpersonal untuk mencapai
tujuan seseorang, sementara dewasa memiliki konotasi jatuh tempo, yang tidak
ada hubungannya dengan usia.
Menjadi
dewasa berarti memiliki kematangan jiwa dan memiliki rasa tanggung jawab
pribadi, sadar diri, dan memahami secara baik kemerdekaan seseorang serta
saling ketergantungan dengan sesama seseorang. Kematangan memerlukan
seperangkat nilai dan perlengapan yang diartikulasikan dengan baik ketika
diperlukan untuk hidup mereka. Singkatnya, pendidikan adalah tentang
pengembangan karakter.
Implikasinya,
calon peserta didik dipilih sesuai dengan standar kelulusan. Hanya calon
peserta yang memenuhi syarat bisa hadir dalam pekuliahan. Kuliah-kuliah
diberikan sesuai dengan prosedur pengajaran lembaga itu sendiri. Persoalannya,
suatu perguruan tinggi harus tetap eksis. Karena itu, ia harus terus
mengembangkan diri antara lain dengan merekrut mahasiswa baik dilihat sebagai
“bahan baku” maupun sebagai mitra pembiayaan. Disinilah pentingnya marketing
dan branding. Ketika keduanya dilakukan, perguruan tinggi mau tak mau harus
memilih siapa pelanggan yang dibidik.
Disinilah
dibutuhkan upaya untuk mengidentifikasi dan mendefinikan siapa pelanggan.
Mengidentifikasi dan mendefinisikan pelanggan adalah dua hal yang berbeda.
Mengidentifikasi menghasilkan suatu gambaran tentang siapa yang bersedia
membayar jasa, sementara mendefinisikan akan menghasilkan gambaran tentang
siapa dan apa tanggung jawab pelanggan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar