Dunia
media anak-anak berubah dramatis. Penetrasi TV di kalangan anak-anak mencapai
98%. Namun, penetrasi media baru seperti handphone dan internet juga tinggi.
Apa implikasinya?
Ketika Sesame Street tayang pertama kali di media
televisi pada 10 November 1969, landscape
media untuk anak-anak usia pra-sekolah sangat terbatas. Saat itu, media
yang tersedia – yang kemudian oleh anak-anak sekarang disebut sebagai
"media teknologi lama" hanya televisi, radio, dan media cetak.
Design program acara yang inovatif, animasi yang
terintegrasi, adegan live action di jalanan, dan segmen yang menampilkan
Muppets, ditampilkan stasiun TV untuk mendorong akuisisi awal bahasa,
matematika, dan keterampilan sosial. Sesame Street juga ditujukan untuk – salah
satunya -- gerakan melek media pada 1970-an. Target yang ingin dicapai adalah mendorong
anak untuk lebih aktif menggunakan dan beriteraksi dengan media.
Ketika landsape media masih berpola lama, interaktivitas
seperti bagaimana anak-anak merespon karakter yang muncul di layar pada layar
karakter dan pengalaman mereka, dimediasi secara televisual. Agar lebih akrab, secara
bersamaan, para “tokoh” berinteraksi dengan audiensenya di toko, teras, atau
bahkan pinggiran jalan.
Sejak kemunculan Sesame Street, dunia media
anak-anak berubah dramatis, dan menghasilkan formulasi ulang tentang bagaimana
anak-anak sebagai konsumen media mempersepsikannya dan engage. Contoh paling menarik dari
transformasi ini adalah program TV sangat populer untuk anak-anak prasekolah,
Dora the Explorer. Dora yang dilaunch pada 1999 dan menjadi program dasar dari
jaringan kabel televisi Nickelodeon pada 2000.
Acara ini muncul dalam bentuk yang biasanya disebut
sebagai lanskap "media baru". Bentangannya meliputi digital,
informasi terkomputerisasi, atau jaringan dan teknologi komunikasi yang memuncukan
mode baru dalam pengiriman konten. Disini anak-anak bisa mendownload dan
sharing, memperoleh pengalaman media melalui iPod atau DVD interaktif, dan
memproduksi media melalui video dan blog.
Teori mengatakan bahwa sumber utama pembelajaran anak-anak
dalam berperilaku sebagai konsumen adalah orangtua. Setelah itu, baru ada agen
pembelajar lainnya, yakni teman sebaya, teman sekolah, toko, produk itu sendiri
dan kemasan, dan sudah tentu media massa (Moschis, 1987).
Pengaruh media terhadap anak-anak terutama karena
dua dimensi, yakni iklan dan editorial/program content (O'Guinn dan Shrum,
1997). Secara khusus, iklan ditujukan untuk menginformasikan produk kepada
konsumen dan mendorong mereka untuk membeli. Sedangkan program TV mungkin
memiliki niat bersayap, mungkin mendidik tapi bisa juga membujuk, dan mungkin pula
tidak berniat membujuk tapi cukup mempengaruhi (Moschis, 1987).
Penelitian yang dilakukan James Sargent dari Geisel
School of Medicine Darthmouth, New Hampshire, AS, baru-baru memberikan gambaran tentang dampak anak-anak
yang sering menonton film dengan
karakter orang merokok. Anak-anak itu cenderung merokok bukan karena bujukan
orang lain, melainkan atas dorongan sendiri. Ini menunjukkan bahwa meski secara
langsung tak ditujukan kepada anak-anak, namun pesan yang disampaikan melalui
adegan merokok secara langsung mempengaruhi anak-anak untuk merokok.
Diakui atau tidak, selain mempengaruhi perilaku
konsumsi anak-anak, baik iklan maupun editorial/isi program media massa,
informasi yang bersifat pengetahuan dan bimbingan sejatinya dapat pula
membimbing perilaku anak dalam mengkonsumsi. Namun, dua hal tersebut sulit
dipisahkan.
Tapi yang pasti, interaksi anak dengan media
berhubungan positif dengan proses pembelajaran anak berperilaku konsumen. Artinya,
semakin banyak seorang anak berinteraksi dengan media massa, sosialisasi
konsumen makin terjadi (Moschis, 1987). Ini berarti, melalui media massa
anak-anak belajar tentang produk, merek mereka, dan gerai ritel di mana
konsumen dapat membeli produk tersebut (Ward, 1974).
Itu sebabnya, kata Medina Latief Harjani --
President Director Pasaraya – dalam hal fashion misalnya, karena banyaknya
saluran TV asing yang channelnya mudah diakses dan murah, banyak anak-anak yang
mengikuti trend fashion dunia. “Anak-anak modern sekarang sudah tidak perlu
dipilihkan baju-bajunya lagi oleh orangtua, mereka bisa memilihnya
sendiri. Begitu pula dengan tempat
berkumpul atau entertainment, mereka tahu kemana dan kapan harus pergi. Mereka
tahu tempat yang nyaman untuk mereka ‘hang out’ bagi remaja dan bermain,” kata
Medina.
Anak-anak Indonesia usia 10-14 tahun, menurut Yudi
Suryanata, Executive Director untuk Consumer Research di Nielsen, mengkonsumsi
media khususnya televisi dan internet,
lebih tinggi daripada populasi pada umumnya. Riset yang dilakukan Nielsen
menunjukkan bahwa penetrasi TV di kalangan anak-anak mencapai 98%. Penetrasi TV
pada umumnya (95%). Penonton TV anak laki-laki sedikit lebih banyak daripada
perempuan (51% vs 49%). Berepa lama mereka menonton TV, anak-anak menonton TV
rata-rata 4 jam setiap hari. Dilihat dari jenis kelaminnya, anak perempuan
menonton TV lebih lama daripada anak laki-laki (4,75 jam vs. 4,2 jam).
Acara TV yang paling banyak ditonton oleh anak-anak juga
berbeda menurut usia dan jenis kelamin. Anak-anak usia 5-9 misalnya, berbeda dengan
anak usia 10-14, dan antara anak laki-laki juga berbeda dengan perempuan. Dalam
sebulan terakhir, acara TV yang paling banyak ditonton anak-anak usia 5-9 tahun
baik laki-laki mapun perempuan adalah sinetron Aladdin. Meski demikian, anak
laki-laki cenderung menonton kartun anak, seperti Chaplin and Co., atau
Minuscule, dan anak perempuan cenderung
menonton sinetron, seperti Putih Abu-abu atau Dewi Bintari, atau acara mencari
bakat, seperti Cherrybelle Cari Chibi.
Sekadar mengingatkan sinetron PUTIH ABU-ABU (PAA)
yang tayangan perdananya pada 12 Februari 2012 menuai protes pemirsa di Lombok,
Nusa Tenggara Barat. Diprotes karena ceritanya dinilai sarat muatan kekerasan
dan penggambaran kehidupan pelajar sekolah yang tidak pantas.
Dalam hal media baru, tidak seperti pada awal-awal
pertumbuhannya saat internet dicurigai, kini internet seakan menjadi bagian
“kehidupan” anak-anak. Hal ini terlihat dari tingkat konsumsi internet di
kalangan anak-anak yang mencapai 43% atau jauh lebih tinggi daripada konsumsi pada
umumnya (25%). Apalagi bila dilihat dari jenis kelaminnya. Internet cenderung
lebih banyak dikonsumsi oleh anak-anak laki-laki (54%) dibandingkan perempuan
(46%) dengan frekuensi akses internet lebih sering di kelompok anak laki-laki
daripada perempuan. Sementara penggunaan
radio, suratkabar dan majalah di kalangan anak-anak relatif lebih rendah
daripada konsumen pada umumnya dengan Radio 19%, Suratkabar 6% dan Majalah 10%.
Tahun lalu, AXA merilis sebuah studi menarik
mengenai bagaimana anak-anak menggunakan media sosial untuk membangun online
brand pribadi mereka. Ini memberikan gambaran makin sadarnya anak-anak terhadap
kekuatan media sosial guna membentuk image. Hasil studi tadi menunjukkan bahwa
86% anak berusia 11, percaya pada kekuatan media sosial untuk membuat diri
mereka terlihat baik kepada orang lain.
Ini merupakan perkembangan yang dramatis karena
sejatinya, konsep personal brand di kalangan orang dewasa baru mulai
mendapatkan perhatian. Akan tetapi, bagi generasi muda tersebut, konsep ini
terbentuk lebih awal karena mereka menjadi sadar akan kekuatan penciptaan image
dan bagaimana Anda dapat mengontrol teknologi sosial untuk mempengaruhi cara di
mana mereka dipersepsikan.
Yang tak kalah menariknya adalah 48% anak-anak usia
10-14 tahun di 9 kota survey Nielsen memiliki handphone, dengan anak-anak
perempuan yang memiliki handphone lebih banyak daripada anak-anak laki-laki
(54% vs. 46%). Ipsos melaporkan bahwa 12% anak-anak usia 12-16 tahun telah
memiliki akun Twitter. Pada musim panas lalu, The Pew Research Center's
Internet & American Life Project melaporkan bahwa terdapat 16% anak-anak usia
12 sampai 17 yang yang menggunakan handphone mereka untuk mengakses Twitter.
Ini berarti jumlah mereka naik dua kali lipat jumlah dari dua tahun sebelumnya.
Kepemilikian handphone di kalangan anak-anak telah
tumbuh dari 34% di tahun 2010. Alasan utamanya, supaya dapat berkomunikasi
dengan atau dihubungi oleh orang lain (41%) dan untuk keperluan yang penting
dan mendesak (28%). Alasan berikutnya berbeda antara anak laki-laki dan
perempuan. Anak laki-laki cenderung memiliki handphone untuk alasan
mendengarkan musik, modelnya bagus dan untuk bermain games. Sementara anak
perempuan memiliki handphone karena teman-temannya mempunyai handphone, untuk
mendengarkan musik dan mendapatkan informasi terbaru secara cepat.
Feature handphone yang paling sering digunakan oleh
anak laki-laki dan perempuan juga berbeda, meskipun feature utama yang mereka
gunakan sama-sama Layanan Pesan Singkat (SMS). Namun feature lainnya yang
paling banyak digunakan oleh anak laki-laki, berturut-turut adalah games dan
MP3 player. Sementara di kalangan anak perempuan, MP3 player dan kamera. Inilah era yang ditandai dengan pergeseran pola
komunikasi di kalangan anak-anak. Mereka memang tetap menyintai komunikasi
langsung. Namun kalau itu bisa dilakukan dengan komunikasi melalui teks, mereka
lebih memilih komunikasi dengan teks (seperti sms, BBMessanger, email, dan
sebagainya).
Akhirnya, bagi anak-anak, pengalaman mengkonsumsi
media ibaratnya tidak seperti ruang hampa. Beberapa penelitian tentang dampak media
televisi menjelaskan bahwa keluarga dekat, seperti orang tua dan saudara
kandung, sangat mempengaruhi pencerapan pengalaman anak dalam menyaksikan acara
televisi.
Lingkungan keluarga juga menentukan pengalaman
anak-anak dalam menggunakan computer. Suatu studi terbaru menemukan bahwa
persepsi orang tua mereka sangat menentukan anak-anak dalam mempelajari dan
menggunakan komputer. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak
sulit membedakan kenyataan dari fantasi, dan program reguler dengan
advertising (Furger, 1995). Ini
mengharuskan peran orang tua mendampingi anak-anak mereka saat menonton TV.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar