Anda mungkin sering menyaksikan
pernah iklan kartu debit yang selalu diputar menjelang pemutaran film utama di
cinema XXI atau 21? Disitu ada
pasangan suami isteri dengan dua anaknya, lelaki dan perempuan. Sampai disitu taka
da yang istimewa. Yang menarik kemudian, usai membeli tiket, mereka
masing-masing memutuskan acaranya sendiri sambil menunggu pemutaran jadwal masuk
pemutaran film yang mereka tonton.
Disitu sang anak perempuan
jalan-jalan ke tempat snack dan minuman, sementara sang anak lelaki ke tempat games. Sementara bapak ibunya makan
bersama di sebuah resto di studio. Keceriahan dan kebahagian terpancar di wajah
mereka. Menjelang masuk jadwal, mereka sama-sama memasuki gedung studio.
Selain pesan kemudahan,
keceriahan dan kebahagiaan yang cukup kena, ada pesan lain yang dikemukakan
oleh iklan tersebut, yakni kebebasan yang diberikan kedua orangtua kepada anak-anak
untuk memilih kegiatan yang mereka sukai. Yang dimaksud dengan “mereka” disini,
bisa jadi bapak dan ibunya, serta anak-anak mereka.
Dulu, fenomena ini bisa bisa
ditafsirkan lain. Saya mencoba menganalogkan kegiatan orangtua dan kedua
anaknya itu dengan belanja di mall. Menurut Jones (1999), ketika seseorang berbelanja
bersama dengan orang lain di sebuah mall -- bila orang lain itu memiliki
kepentingan yang berbeda -- bagi orang tadi situasi tersebut bisa jadi
merupakan suatu hal yang dipersepsikan negatif.
Bayangkan misalnya, Anda ke
mall bersama seorang teman. Anda dan teman Anda tadi memang ingin meluangkan
waktu bersama di sebuah di mall. Sampai di suatu departemen store mungkin Anda
masih ada kesefahaman dengan teman Anda tadi. Bisa jadi karena ada kesamaan
kepentingan, yakni ketika melihat sebuah iklan sale sebuah departemen store,
Anda dan teman Anda memutuskan masuk ke department store itu.
Tapi apa yang terjadi
sesampai di dalam departemen store? Disini perbedaan kepentingan mulai mencuat.
Bisa jadi kepentingan Anda berbeda dengan kepentingan teman Anda. Anda ingin
mengejar sepatu yang Anda incar sejak lama, sedangkan teman Anda ingin busana
bawahan yang memang tengah dia butuhkan. Kemana Anda dan teman Anda memutuskan?
Apakah mengikuti teman dan bersama-sama ke koridor busana, teman Anda mengikuti
Anda ke koridor sepatu, atau Anda berdua ke salah satu koridor giliran?
Dalam konteks dunia anak,
kebutuhan seorang anak seringkali sangat berbeda dengan orang tua. Kebutuhan
anak sebagian besar adalah hedonistik sedangkan kebutuhan orang tua lebih
utilitarian. Simak iklan kartu debit dan XXI tadi.
Bila kondisinya demikian,
kebutuhan anak bisa bertindak sebagai penghalang untuk pemenuhan orang tua
mereka. Seperti dikemukakan di awal, tujuan utama orang tua adalah dengan
membeli semua kebutuhan belanja mereka, suasana hati dan perilaku anak mereka
akan berdampak pada pencapaian tujuan dan persepsi pengalaman mereka. Jika
seorang anak tidak menikmati pengalaman berbelanja, mereka kecewa dan
mengganggu orangtua yang mengejar tujuan utilitarian mereka. Ini yang seringkali
membuat orangtua menjadi kesal karena keasyikannya melihat dan memilih-milih
barang terganggu.
Bila konsep ini diterima,
maka memenuhi kebutuhan anak sangatlah penting artinya. Ini karena dengan
memenuhi kebutuhan anak secara tidak langsung akan memenuhi kebutuhan orang tua
dengan menghapus potensi konflik kepentingan. Itu sebabnya di toko-toko mainan
dan busana misalnya, secara eksplisit pengecer menempatkan kebutuhan anak-anak
sebagai fokus utama dari lingkungan berbelanja. Ini karena mereka menyadari bahwa orang tua
membawa anak-anak mereka sebagai "penentu sebelum memilih produk lainnya.”
Sebaliknya, toko grosir menempatkan kebutuhan orang tua di barisan pertama,
dengan fokus pada desain toko cocok untuk pembeli dewasa (Nicholls & Cullen,
2004).
Dalam dua dekade terakhir terjadi
banyak perubahan dalam keluarga. Kini makin banyak dijumpai keluarga
berpendapatan ganda – suami isteri bekerja atau memperoleh pendapatan.
Implikasinya, meningkatnya kekuatan ekonomi orang tua yang siap memanjakan
anak-anak mereka. Akan tetapi, dengan semakin banyak perempuan mengambil untuk
bekerja, sementara pendapatan meningkat, waktu yang dihabiskan orangtua untuk
anak-anak mereka menurun. Pembagian pekerjaan dan peran masing-masing anggota rumah
tangga menjadi masalah negosiasi dan karenanya peran anak dalam pengambilan
keputusan telah meningkat.
Dengan kata lain, kini terjadi
pergeseran peran anak dalam proses pembelian. “Saat ini anak-anak sudah semakin
pintar dan mandiri. Bahkan di kelompok usia sekolah dasar, mereka sudah bisa memutuskan produk yang akan
mereka beli. Biasanya di toko kami anak-anak berbelanja di temani oleh
orangtuanya, dan beberapa ada juga yang sudah mandiri berbelanja sendiri atau
berbelanja bersama teman-temannya saat pulang sekolah. Biasanya kalau datang
sendiri, produk yang dibeli terbatas pada produk snack, candy dan beverages,”
kata Velina Yulianti, Marketing Director PT Sumber Alfaria Trijaya, Tbk –
pemilik merek minimarket Alfamart, seperti dikutip Majalah MIX, Juli 2012.
Anak merupakan pasar yang
unik dan sangat potensial. Unik karena uang yang mereka belanjakan sering kali
bukan uang mereka sendiri, tetapi mereka memiliki kekuatan beli yang besar.
Potensial karena dari sisi jumlah anak dan besarnya pengeluaran, mereka
merupakan pasar yang besar dan menjanjikan.
Anak-anak juga memiliki pengaruh yang kuat pada keputusan alokasi
anggaran dan pilihan pembelian yang dibuat keluarga. Peran itu sejak lama
diketahui. Yang belum banyak tergambar saat ini adalah perubahan besar yang
terjadi pada peran anak dalam proses pembelian tersebut.
“Seirig degan banyaknya
saluran TV asing yang channelnya mudah diakses dan murah, anak-anak sekarang
banyak yang mengikuti trend fashion dunia. Anak-anak modern sekarang sudah
tidak perlu dipilihkan baju-bajunya lagi oleh orangtua, mereka bisa memilihnya
sendiri. Begitupun dengan tempat
berkumpul atau entertainment, mereka tahu kemana dan kapan harus pergi,” kata Medina
Latief Harjani, President Director Pasaraya.
Dalam beberapa tahun terakhir,
pasar pada segmen anak di Indonesia makin menunjukkan perkembangan yang
menakjubkan. Bisa jadi hal ini merupakan dampak dari perkembangan teknologi
yang memungkinkan anak-anak mengakses media massa dengan mudah. Dalam beberapa
tahun terakhir, anak-anak Indonesia telah menjadi pengguna internet dan media
digital lainnya, termasuk handphone, bahkan ke sosial media.
Anak-anak Indonesia usia 10-14
tahun, menurut Yudi Suryanata, Executive Director untuk Consumer Research di
Nielsen, mengkonsumsi media khususnya televisi dan internet, lebih tinggi
daripada populasi pada umumnya. Konsumsi internet di kalangan anak-anak (43%)
juga jauh lebih tinggi daripada konsumsi pada umumnya (25%). Bila dilihat dari
jenis kelaminnya, internet cenderung lebih banyak dikonsumsi oleh anak-anak
laki-laki (54%) dibandingkan perempuan (46%) dengan frekuensi akses internet
lebih sering di kelompok anak laki-laki daripada perempuan. Sementara penggunaan radio, suratkabar dan majalah di
kalangan anak-anak relatif lebih rendah daripada konsumen pada umumnya dengan
Radio 19%, Suratkabar 6% dan Majalah 10%.
Yang tak kalah menariknya
adalah 48% anak-anak usia 10-14 tahun di 9 kota survey Nielsen memiliki
handphone, dengan anak-anak perempuan yang memiliki handphone lebih banyak
daripada anak-anak laki-laki (54% vs. 46%). Kepemilikian handphone di kalangan
anak-anak telah tumbuh dari 34% di tahun 2010. Karena itu, “Kami percaya bahwa
anak-anak nantinya akan berperan sebagai decision maker dan menjadi pelanggan setia kami. Untuk itu sejak
3 tahun terakhir ini kami rutin menjalankan program “Shopping Experience for Kids”. Program ini bertujuan untuk
mengedukasi anak-anak sejak usia dini untuk melakukan smart shopping, yaitu
berlatih shopping dengan dana terbatas. Kami berikan knowledge kepada anak-anak
ini saat memilih barang, hal apa saja yang perlu diperhatikan, seperti kondisi
kemasan barang masih baik atau tidak dan
batas kadaluwarsanya,” kata Velina Yulianti.
Kini banyak perusahaan makanan
dan minuman yang memanfaatkan trend tersebut untuk mendapatkan keuntungan
melalui perluasan dengan menjadi anak-anak sebagaitarget pemasaran. Mereka
memasang iklan di situs web komersial, Internet (yaitu penempatan iklan banner
di situs Web perusahaan lain), video online, media sosial, atau advergames. Pada
tahun 2006, perusahaan makanan di AS menghabiskan $ 76,6 juta untuk iklan
Internet yang diarahkan untuk anak dan remaja (FTC, 2008).
Setiap tahun, situs
perusahaan makanan dan minuman diperkirakan mampu menyedot 49 juta anak
pengunjung setiap tahu, dengan pengguna menghabiskan sebanyak 1 jam atau lebih
di situs tersebut (Moore & Rideout, 2007).
Website makanan anak
bertarget perusahaan umum fitur Advergames, atau online game yang dirancang
untuk memasarkan sebuah merek dengan cara yang menyenangkan dan menarik dan
untuk meningkatkan eksposur dan asosiasi positif merek (Winkler & Buckner, 2006). Mereka
biasanya menyertakan fitur yang bisa mendorong anak untuk kembali ke situs web
dan main game beberapa kali (Santos, Gonzalo, & Gisbert, 2007).
Pada tahun 2009, perusahaan
menghabiskan $ 676.000.000 diproyeksikan untuk menghasilkan Advergames (Lee,
Choi, Quilliam, & Cole, 2009). Lebih dari 540 Advergames ditemukan di situs
Web perusahaan makanan, dan beberapa website yang terdapat sebanyak enam puluh
tujuh game (Moore & Rideout, 2007). Lebih dari 97% Advergames makanan dan
minuman tersebut memuat setidaknya satu identifier merek, seperti gambar
makanan atau paket, karakter merek, atau logo perusahaan / merek (Culp et al,
2010;. Moore, 2006).
Sekarang banyak produsen yang
memproduksi produk splash cologne untuk anak, baik untuk anak laki-laki dan
perempuan. PT Citra Nusa Insan Cemerlang (CNI) memperluas penguasaan pasar
dengan menambah varian produk yang menyasar segmen anak-anak. Head of Branch
CNI Surabaya Yudi Setiawan mengatakan, saat ini pihaknya berupaya memperbanyak
varian produk untuk anak dalam bentuk food supplement. "Selama ini pasar
anak-anak memang sudah tergarap, tapi belum optimal. Untuk market anak, CNI
sudah ada produk seperti vitamin C anak dan food supplement lain untuk
keseimbangan gizi dan peningkatan daya konsentrasi anak," katanya saat
dihubungi Surya, Senin (21/5/2012).
Di pasar pasta gigi, Unilever
harus bersaing ketat dengan merek lain seerti Kodomo yang diproduksi oleh Lion
Indonesia dan Enzim Anak-Anak produksi PT. Enzym Bioteknologi Internusa. Merek
lain yang juga memasuki segmen anak-anak adalah Zwitsal, Cussons Kids, Dee Dee,
Formula Junior, Chicco, dan Total Care Junior. Selain iklannya yang masif,
produsen juga mengembangkan gimmick, in-store promo dan berbagai bentuk kemasan
yang menarik bagi anak-anak.
Perusahaan berusaha
memanfaatkan semua contact point untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Time
Book Store misalnya, memanfaatkan media sosial, Facebook Time Indonesia, dan Twitter
@TimeIndonesia, untuk berkomunikasi dengan orangtua. Juga ada event lomab. “Lomba
untuk mendekatkan anak dengan keluarga,” kata Fernando Repi, Corporate
Communication Manager, PT Matahari Putra Prima, Tbk.
Pemasaran yang membidik anak-anak
merupakan pekerjaan yang sulit, terutama ketika perusahaan atau merek menawarkan
kepada mereka sesuatu yang menyehatkan, seperti susu. Namun pemasar tak perlu
terlalu khawatir karena ada seseuatu yang bisa membantu mengatasi persoalan
itu. Dalam banyak kasus, grafis pada kemasan,
rasa dan mengemasnya dalam satu botol bisa membantu.
Ini menjungkirbalikkan asumsi
yang selama ini hampir menjadi dogma bahwa ketika pasar berbicara tentang
kemasan, fokusnya pada ukuran kemasan. Sebuah studi yang dilakukan pada 300
siswa sekolah di St Louis, mengungkapkan bahwa ketika ditawari susu dengan
berbagai rasa seperti vanilla dan strawberry, kemasan yang berwarna-warni,
kemasan yang kid-friendly, dan promosi yang berfokus pada anak-anak, mereka
semakin sering mengkonsumsi susu. "Siswa yang diuji di St. Louis memilih
susu karena grafis dan kemasan baru, selain rasa dan varian baru,” kata Tom Nagle, vice president of marketing
for the International Dairy Foods Association (IDFA). Bagaimana dengan merek
Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar