Jika perlu dibuat aturan tentang bagaimana komunikasi yang jarus dilakukan saat perusahaan atau institusi lainnya berada dalam situasi, maka chief executive officer (CEO) harus ditempatkan pada posisi yang penting dan sentral.
Dalam beberapa literature, peran CEO ketika perusahaan menghadapi krisis adalah penanggung jawab dalam upaya perusahaan mengatasi krisis. Selain menetapkan arah bagi perusahaan, CEO harus bisa mengukuhkan kembali kepercayaan di antara stakeholder.
Boin et al. (2005) menyebut
lima tugas-tugas penting kepemimpinan -- termasuk CEO. Pertama adalah
menciptakan perasaan bahwa perusahaan berada dalam sitausi krisis (sense of
crisis), membuat keputusan untuk menangani krisis, membingkai dan memaknai krisis
kepada para pemangku kepentingan, mengakhiri krisis dan mengembalikan situasi
yang normal bagi perusahaan, serta mengarahkan organisasi untuk belajar dari
krisis.
Selain itu, salah
satu peran eksplisit yang harus dimainkan oleh seorang CEO adalah menegaskan kepemimpinannya dengan berperan sebagai
juru bicara perusahaan. (Englehardt et al, 2004;. Littlefield dan Quenette,
2007; Mintzberg, 1998; Nadler, 2006; Petersen dan Martin, 1996).
Tahun 2010 bisa jadi memberikan makna tersendiri pada Toyota. Betapa tidak, karena recall
(penarikan kembali) 9 juta unit produknya dari pasar akibat kesalahan pada
pedal gas, kepercayaan publik terhadap Toyota nyaris terkikis. “Cukup menyakitkan. Ini adalah tugas
berat kami untuk memulihkan ekuitas merek dan membangun kembali kepercayaan
konsumen,”
kata Akio Toyoda, CEO Toyota.
Berdasarkan riset GfK
MRI’s
Starch Advertising Research Brand Disposition, terungkap bahwa sebelum recall, lebih
dari tiga perempat (83%) orang dewasa AS yang disurvei mempunyai penilaian yang
positif terhadap merek Toyota. Sementara kurang dari 1 dalam 5 (17%) adalah
negatif. Akan tetapi, setelah recall, sikap
konsumen terhadap Toyota mulai berubah. Disposisi merek positif
anjlok lima poin menjadi 78%, sedangkan
disposisi merek negatif naik lima poin menjadi 22%.
Penarikan Toyota
belum berakhir. Pada April 2010, setelah
menerima keluhan pelanggan, Toyota menarik lagi jutaan unit kendaraan karena masalah dengan pedal akselerator. Termasuk
pula me-recall Camry karena masalah rem potensial, truk Tacoma yang cacat poros
baling-baling depan dan minivan Sienna untuk korosi cadang-ban operator. Selama
itu, perasaan positif konsumen terhadap brand anjlok lagi jadi 59%, sedangkan
perasaan negatif terus meningkat jadi 41%.
Saat itu, Toyota
masuk ke dalam situasi krisis. Selain biayanya mahal, recall menghambat
penjualan Toyota dan hilangnya reputasi. Ini benar-benar tragedy mengingat
Toyota merupakan sebuah merek yang begitu lama identik dengan keandalan, fokus
pada pelanggan, bertanggungjawab pada lingkungan, dan kualitasnya yang berkelas
dunia.
“Tiba-tiba saja, Toyota digambarkan dalam cara yang paling negatif oleh para analis dan pers,” tulis Ángel Cabrera, President dari Thunderbird School of Global Management, dalam pengantar buku Toyota Under Fire: Lessons for Turning Crisis into Opportunity karya Jeffrey K. Liker dan Timothy N. Ogden. Liker adalah penulis buku laris The Toyota Way.
“Tiba-tiba saja, Toyota digambarkan dalam cara yang paling negatif oleh para analis dan pers,” tulis Ángel Cabrera, President dari Thunderbird School of Global Management, dalam pengantar buku Toyota Under Fire: Lessons for Turning Crisis into Opportunity karya Jeffrey K. Liker dan Timothy N. Ogden. Liker adalah penulis buku laris The Toyota Way.
Banyak analis dan
ahli, tulis Cabrera, menuduh para pemimpin Toyota lambat merespon krisis,
cenderung menyangkal atau bahkan mencoba untuk menyembunyikan fakta-fakta, dan
lebih mengutamakan keuntungan sebelum melakukan pengamanan. Tapi ujian terakhir
tidak terletak pada apa yang para pemimpin senior Toyota katakan dan lakukan
pada hari-hari dan minggu-minggu setelah kejadian itu, tetapi pada bagaimana
budaya Toyota menanggapinya dalam minggu-minggu dan bulan-bulan setelahnya.
Sejatinya, ketika
krisis berlangsung, respon Toyota bukanlah dengan memberikan pernyataan oleh
seorang eksekutif di Jepang atau Amerika Serikat, tapi bagaimana staf Toyota
mencurahkan enerninya untuk menemukan cara memperbaiki, bagaimana ratusan
perwakilan layanan pelanggan Toyota menanggapi puluhan ribu panggilan yang
diterima setiap hari dari pelanggan, dan bagaimana dealer bekerja tanpa henti
untuk membangun kembali kepercayaan pelanggan Toyota.
Keputusan untuk tidak
melakukan outsourcing layanan pelanggan
ke call center berupah rendah ternyata berperan penting dalam membangun
kemampuan Toyota menangani krisis. Karena itu, memungkinkan sumber daya yang
paling berharga, yakni budaya, untuk mengambil alih sitausai pada saat yang
paling dibutuhkan.
Disini peran CEO
sangat makin penting. Saat itu, Akio Toyoda berupaya membangun kembali
kepercayaan konsumen. Setidaknya ada tiga strategi yang dilakukan. Pertama,
meluncurkan slogan baru “Moving Forward” dan menggantikan slogan “I
Love What You Do For Me, Toyota!”
yang lama. Langkah ini, menurut Akio, sangat penting untuk membuka “lembaran baru” tentang image brand Toyota.
“Perlu berkomunikasi kembali dengan
konsumen dengan motto baru. Kami ingin bangun kembali image untuk memulai
sesuatu yang baru dari awal dan sama-sama melihat ke arah masa depan yang lebih
baik,”
jelasnya. Sosialisasi motto
baru tersebut dilakukan secara global, baik lewat event maupun
iklan, termasuk merambah social media.
Hasilnya, kepercayaan konsumen
terhadap brand Toyota perlahan-lahan mulai terangkat. Sejak Mei-Desember 2011, disposisi positif
konsumen terhadap Toyota pulih 11 poin (70%).
Hasil ini menekan angka konsumen negatif
turun 11 poin menjadi 30%.
Strategi kedua,
melakukan approach jaringan distribusi mulai showroom, bengkel hingga tenaga
sales dan meng-create orang-orang yang terlibat di dalamnya seperti mekanik,
tenaga sales hingga pemilik Toyota untuk dijadikan brand ambassador. Membangun
kepercayaan dapat menjadi efektif jika dimulai dari orang-orag mekanik yang
memang benar-benar mengerti tentang mesin.
Akio Toyoda, bahkan
terjun langsung mengunjungi dealer, selain untuk menenangkan para penjual, juga
karena ia percaya bahwa kinerja dealer penting bagi pemulihan ini. Ia juga
mendatangi bengkel-bengkel resmi Toyota ntuk
memeriksa kesiapan bila pelanggan datang memeriksakan mobil mereka. Seluruh
lini di dalam dan di luar perusahaan digerakkan.
Toyota tidak bekerja
sendiri dalam mengatasi krisis kepercayaan, melainkan melibatkan jejaring
bisnisnya. Sumberdaya luar dimanfaatkan betul agar upaya pemulihan berjalan
efektif. Begitu pula, simpul-simpul dalam jejaring juga berkepentingan agar
pemulihan ini berjalan lancar, sebab kehancuran merek Toyota berarti kehancuran
bisnis mereka juga.
Cukup berhasil
melancarkan strategi mengembalikan kepercayaan konsumen dar sisi image,
selanjutnya dilakukan strategi ketiga yang diarahkan pada penjualan. Caranya
adalah, memberikan iming-iming mulai dari diskon harga hingga pemberian gratis
biaya asuransi kendaran selama setahun. Tentu saja ini dibarengi peningkatan kualitas produk agar tidak terulang kasus
recall.
Bagamana hasilnya?
Buah kerja keras yang dilandasi pemikiran yang matang berakhir sukses.
Laporan GfK MRI’s Starch Advertising Research Brand
Disposition terhadap riset yang digelar akhir tahun lalu menyebutkan, tigkat
kepercayaan konsumen terhadap brand Toyota makin meningkat. Bahkan, sejumlah
kalangan menilai khalayak seakan-akan “lupa” dengan kasus recall yang menimpa
Toyota.
“Kuncinya satu, kepiawaan tim Toyota
meng-create image khalayak untuk mengikuti keinginan perusahaan bahwa kesalahan
adalah hal wajar yang bisa dialami siapa saja. Terutama adalah, menebus
kesalahan dan mengantinya dengan sesuatu
yang lebih bernilai bagi konsumen,” demikian peryataan sejumlah kalangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar