Dua minggu lalu, seorang mahasiswa datang kepada saya. Dia meminta saya untuk memberi komentar tentang kegiatan corporate social responsibility
(CSR) sebuah perusahaan. Dia menunjukkan beberapa video dan gambar dan
menceritakan hasil wawancaranya dengan eksekutif perusahaan tersebut kepada
saya. Ia juga menperlihatkan video iklan yang memperlihatkan kegiatan CSR
perusahaan tersebut.
Saya kemudian bertanya kepada mahasiswa tadi, “Jadi apa
tujuan dari kegiatan CSR dia?”
“Murni sosial…membantu Pak.”
“Untuk membangun image?”
“Managernya bilang nggak Pak.”
“Lalu…apa peran wartawan di acara tersebut? Kenapa
beriklan?”
Saya menanyakan itu kepada mahasiswa tadi karena saya lihat
di foto tersebut ada beberapa wartawan yang kebetulan saya kenal. Kedua, dalam
beberapa hari terakhir iklan-iklan CSR banyak bermunculan di media cetak dan
elektronik.
Dalam hati saya bertanya-tanya, “Jadi CSR itu tanggung jawab siapa?
PR atau marketing? Kalau CSR itu tanggung jawab PR, kenapa dikomunikasikan
melalui iklan? Kenapa tidak publisitas?”
Salah satu faktor pembeda utama dan jelas antara iklan dari
publisitas adalah bahwa iklan – untuk penempatannya – harus bayar, sedangkan publisitas gratis.
Disini persoalannya bukan apakah suatu perusahaan mampu atau tidak mampu
membayar space atau waktu, melainkan menyangkut persoalan kredibilitas.
Karena
berbayar, sudah tentu pemasang iklan boleh menyampaikan informasi saja dan
tidak akan diedit oleh media. Sementara itu, publisitas gratis sehingga apa
yang disampaikan ke public, sepenuhnya bergantung pada media.
Coba simak perbedaan berikut. Iklan menginformasikan kepada
konsumen betapa hebatnya Anda, yang belum tentu dimaklumi audiens, sedangkan
publisitas dilakukan oleh pihak ketiga (biasanya beberapa media) yang isinya
seringkali memuji, atau mencela Anda.
Memuji dan mencela karena pada dasarnya,
berbeda dengan iklan yang berbayar, perusahaan tidak memiliki kontrol atas
informasi yang bakal disampaikan media tentang Anda. Karena ketidaan control
perusahaan, informasi yang disampaikan media dianggap objektif. Karenanyanya
publisitas dianggap lebih kredibel ketimbang iklan.
Dua hal itu cukup menjelaskan bahwa dampak relatif dan
tujuan dari masing-masing sangat berbeda. Seperti diketahui, fokus utama dari
PR adalah pada kepercayaan dari media dan kualitas berita. Karena PR biasanya
melibatkan liputan media dalam sebuah cerita, cerita-cerita ini bisa bertahan
dalam jangka lebih lama ketimbang dampak langsung dari iklan.
Lalu kenapa perusahaan memilih beriklan? Pertama, perusahaan
ingin memastikan bahwa kegiatan CSR-nya terkomunikasikan ke public. Kedua,
perusahaan tidak ingin ada bias antara objektif dia melakukan CSR dan yang
tersampaikan ke publik.
Ketiga, perusahaan ingin memastikan semua tersampaikan sesuai dengan konteks, waktu misalnya. Adakalanya perusahaan ingin kegiatan CSR-nya tersampaikan pada event-event atau moment-momen tertentu.
Ketiga, perusahaan ingin memastikan semua tersampaikan sesuai dengan konteks, waktu misalnya. Adakalanya perusahaan ingin kegiatan CSR-nya tersampaikan pada event-event atau moment-momen tertentu.
Tapi bukankah itu makin menggeser PR dan memperkuat peran
marketing? Seperti diketahui, pada awal-awal perkembangan public relations, ada
dorongan bahwa tanggungjawab pelaksanaan pelaksanaan CSR ada pada praktisi
public relations.
Arthur Page, bapak pendiri sebuah perusahaan PR, perusahaan, mengatakan bahwa dalam sebuah masyarakat yang demokratis, semua bisnis dimulai dengan izin umum dan pesetujuan public.
Arthur Page, bapak pendiri sebuah perusahaan PR, perusahaan, mengatakan bahwa dalam sebuah masyarakat yang demokratis, semua bisnis dimulai dengan izin umum dan pesetujuan public.
Sementara itu, Harold Burson, salah satu pendiri Burson-Marsteller,
mengatakan bahwa peran seorang eksekutif public relations pada CSR adalah
memberikan evaluasi kualitatif tren sosial, yang bisa membantu praktisi
mengembangkan kebijakan yang mengarah pada tanggapan public terhadap
perusahaan.
Pada 1980, Edward L. Bernays mencatat bahwa, "public
relations memegang peran kunci dalam CSR.”
Grunig dan Hunt menulis bahwa "Tanggung jawab publik, atau sosial,
menjadi alasan utama bagi suatu organisasi untuk memiliki fungsi public
relations." Selain itu, “ ... tanggung jawab publik adalah prinsip dasar
public relations.
Jika organisasi tidak merasa perlu memiliki tanggung jawab kepada publik, perusahaan itu tidak akan membutuhkan fungsi PR." Kemudian, Grunig, Grunig, dan Dozier juga mencatat nilai tanggung jawab sosial untuk efektibitas perusahaan. Gambaran tadi memperkuat argument bahwa CSR dipahami dan ditekankan sebagai dasar bagi konsep public relations.
Jika organisasi tidak merasa perlu memiliki tanggung jawab kepada publik, perusahaan itu tidak akan membutuhkan fungsi PR." Kemudian, Grunig, Grunig, dan Dozier juga mencatat nilai tanggung jawab sosial untuk efektibitas perusahaan. Gambaran tadi memperkuat argument bahwa CSR dipahami dan ditekankan sebagai dasar bagi konsep public relations.
Dalam perkembangannya, CSR lebih dipahami sebagai alat
pemasaran ketimbang PR (lihat Tom J. Brown dan Peter A. Darin, 1997; dan
Minette E. Drumwright, 1994) Dari perspektif pemasaran, hal penting dalam CSR
adalah ekonomi. SR dipahami sebagai investasi yang menguntungkandengan fokus --
biasanya -- pada konsumen.
Ketika corporate citizenship dipahami sebagai bentuk
pemasaran konsumen, "corporate citizenship diakui oleh pebisnis sebagai
investasi yang berharga jika kegiatannya jelas memicu dukungan aktif
konsumen." Selain itu, stakeholder didefinisikan sebagai "setiap
kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh
tercapainya tujuan organisasi." Masih banyak lagi penelitian yang mencoba
memahami CSR dari teori stakeholder dalam business. Jadi apakah peran PR makin
tergeser?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar