Lebaran kali ini mengingatkan saya pada tulisan-tulisan tentang ritual marketing yang pernah dimuat di Tabloid Marketing pada awal 2000-an. Fenomena yang muncul setiap peringatan hari raya keagamaan selalu berulang dan konsisten. Orang ramai-ramau berbelanja. Saat itu berbelanja seakan bagian dari ritual relijius itu sendiri. Ritual disini dimaknai sebagai tindakan-tindakan yang selalu dilakukan pada suatu waktu yang tetap (at a fixed time) dan dalam cara yang sama (in the same way) (Crowther [ed.], 1995).
Banyak perusahaan yang berhasil memasarkan produk dengan mendompleng ritual di masyarakat. Ada pula yang justru menciptakan ritual untuk meningkatkan pasar. http://edhy-aruman.blogspot.com/2011/09/ritual-marketing.html
Bagi para perokok berat, khususnya rokok kretek era 1980-an, ritual
membuka bungkus Dji Sam Soe memang agak khusus. Ada yang membuka dengan jalan
merobek bagian tengah bungkus dengan kuku. Namun ada sebagian lain yang membuka
bungkus dengan cara merobek hanya bagian sisi atasnya saja. Itu pun tidak
merobek seluruhnya, namun hanya melubangi sebagian untuk mengeluarkan satu dua
batang rokok saja.
Ritual konsumen rokok kretek Dji Sam Soe, rupanya tidak
hanya menyangkut robek merobek bungkusnya saja. Ketika perokok hendak
menghisapnya pun ada perilaku tersendiri. Seperti mengetok-ngetokkan dan
mengoleskan (maaf) sedikit air liur ke sambungan rokok, baru dihisap
dalam-dalam. Atau ada yang menggepeng-gepengkan ujung rokok, melumuri dengan
air liur pada bagian sambungan, lantas baru dihisap.
Rupanya ritual para perokok Dji Sam Soe yang
berkembang di masyarakat, dengan jeli
dimanfaatkan oleh manajemen PT HM Sampoerna. Dalam salah satu versi iklannya,
HM Sampoerna membuat komunikasi yang tema sentralnya seputar ritual
mengkonsumsi rokok kretek yang tengah berkembang di masyarakat konsumennya. Saat ini, memang
versi iklan ini jarang dijumpai lagi di layar kaca.
Masih di era yang sama, merek biskuit seperti Toddler (Milna) dan Oreo (Nabisco)
juga berpolah serupa. Dengan cerdik, mereka usung komunikasi mereknya dengan
pendekatan ritual. Anda masih ingat, bagaimana dalam iklannya, Toddler menggunakan
kehebatan daya imajinasi seorang balita ketika tengah menyantap merek biskuit
itu. Imaginasi balita berkembang hingga potongan biskuitnya bisa mirip bulan
sabit, atau lingkaran yang dipakai dalam pertunjukkan lumba-lumba.
Sedangkan Oreo, termasuk yang paling fenomenal. Dalam
versi televisinya, Oreo berkisah tentah ayah dan anak yang saling bertukar rahasia. Hingga, keluarlah sebuah
ritual khas ketika hendak makan Oreo seperti ‘’diputar, dibuka, dijilat dan
dicelupin’’ yang sangat kondang hingga saat ini.
Memperkenalkan produk atau jasa dengan pendekatan ritual
mengkonsumsi (Consuming Rituals/ CR), memang bukan barang baru.
Di pasaran lokal, diawali Dji Sam Soe, lalu disusul Oreo, Toddler dan Kit Kat
dan beberapa merek lain.Tapi, yang tak bisa dipungkiri, jumlah kasus di dalam
negeri masih bisa dihitung dengan jari.
Masih
minimnya merek yang memanfaatkan RC untuk mempopulerkan produk atau jasanya,
memang patut disayangkan. Seperti dikemukakan Harry Susianto, PhD., pengamat
dari ImeDe, banyak pemasar yang masih terjebak dalam paradigma 4P saja dan
tidak mencoba berpaling apakah penyebabnya karena prilaku konsumen yang luput
dari perhatian. ‘’Jadi ketika ada masalah dengan penjualan, si pemasar hanya
mengevaluasi dari sisi 4 P saja,’’ tandasnya. Seperti kita tahu, 4P adalah
menyangkut Price (harga), Product (produk), Promotion
(promosi) dan Placement (distribusi).
Kalau
mau jeli, jelas Harry, evalusi kasus yang berkaitan dengan sales bisa
lewat pengamatan prilaku konsumennya saja. Dengan kejelian membaca prilaku
masyarakat konsumennya, lalu diimplentasikan dalam bentuk-bentuk komunikasi
(lini atas maupun lini bawah) maka kemungkinan produk atau jasa bisa diterima
konsumennya jauh lebih menjanjikan. Tak perlu jauh-jauh melakukan koreksi pada
harga, distribusi maupun produk yang biasanya justru sangat digemari pemasar.
Penjelasan
yang masuk akal. Ambil contoh Dji Sam Soe dan Oreo. Ketika membuat iklan yang
mengkomunikasikan ritual mengkonsumsi rotok kretek itu, menajemen HM Sampoerna
tentu mengadopsi dari kenyataan yang terjadi pada prilaku masayarakat
konsumennya.
Begitu
juga dengan Oreo. Iklan khasnya yang diberi label twisting the magic itu
justru diterjemahkan dari hasil riset yang telah mereka lakukan. Sebelumnya
Nabisco memang melakukan riset prilaku yang mereka namakan U&A (Usage
& Attitude). Dalam riset itu, dijelaskan Yuliana Agung, mantan
eksekutif Nabisco - pemegang merek Oreo, ditemukan prilaku anak-anak yang hanya
memakan bagian tengah Oreo, bagian yang diolesi krim manis. Setelah itu baru
dicelupkan ke susu. Selain anak-anak, mahasiswa di Amerika pun bertindak serupa
dalam memakan Oreo.
Di
dalam negeri, uniknya Oreo merupakan gabungan antara twisting the magic
dan hubungan antara ayah dan anak. Ini dilakukan agar lebih pas dengan kultur
Indonesia, dimana hubungan erat antara ayah dan anak memang agak jarang
diekspose ke permukaan. Sekaligus ini menyampaikan pesan, bahwa memakan biskuit
– sesuatu yang jarang dilakukan lelaki dewasa – adalah sesuatu yang
mengasyikkan. Apalagi bila mengkonsumsinya bersama sang anak.
Berangkat
dari fenomena Oreo dan Dji Sam Soe itu tadi, jelas CR pada dasarnya bisa
diciptakan oleh pemasar. Cara menggagasnya bisa bermacam-macam. Bisa dengan
mengobservasi prilaku konsumennya atau melakukan internal sayembara untuk menciptakan
prilaku yang unik. Yang pasti, seperti disarankan Harry, ritual yang
dikomunikasikan sebaiknya tak hanya menarik dan unik namun juga gampang atau
tidak terlalu sulit ditiru.
Sedangkan
pengamat pemasaran Renald Kasali memberi sebuah tip. Katanya, untuk menciptakan
dan menggagas ritual berdasarkan kebiasaan-kebiasaan lama jauh lebih mudah
daripada mengagas ritual yang sama sekali baru. Karena ritual yang sama sekali
baru biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama.
Bisa Mendongrak Pasar
Ritual
mengkonsumsi, dilanjutkan Harry, sebetulnya dapat dipakai sebagai alat
mendiferensiasi. Di tengah kondisi pasar yang sudah dipenuhi tidak hanya oleh
produk mee too namun juga iklan mee too, maka memasarkan produk
dan jasa lewat ritual bisa membuatnya memiliki kepribadian di tengah kerumunan.
‘’Hasilnya, produk atau jasa itu jadi susah ditiru oleh kompetitor,’’ tambahnya
lagi.
Lebih
jauh, tentu saja RC bisa diharapkan untuk mendongkrak pasar merek yang
bersangkutan. Sebab bukti otentik ke arah itu, ada juga. Ketika Oreo melempar
komunikasi ritual, kabarnya mengimbas
pada kompetitor terdekatnya Khong Guan. Jika penjualan Oreo secara dahsyat bisa
meroket hingga 400% lantaran jargon ‘’diputar, dibuka, dijilat, dicelupin’’,
maka sebaliknya penjualan Khong Guan malah melorot 25% hingga 60%.
Kesuksesan
Oreo, memang pantas diacungi jempol tinggi-tinggi. Karena dari sisi produk,
biskuit ini memang agak ‘’meragukan’’. Bayangkan, warnanya yang hitam, yang
bisa diartikan pahit, pasti tidak terlalu menarik bagi mata anak-anak yang
doyan sesuatu yang manis. Tapi ya itu tadi, lewat pendekatan ritual yang unik,
menarik dan mudah ditiru mereka bisa balikkan semua anggapan tersebut.
Walau
banyak punya kekuatan dahsyat, ternyata CR juga tak luput dari titik lemah.
‘’Cepat usang dan membuat orang bosan,’’ jelas Yuliana, tentang kelemahan CR.
Oleh sebab itu, eksekusi CR sebaiknya terus berkelanjutan dan tak
putus-putusnya. Agar komunikasinya afektif, juga disarankan Achsan Permas,
pengamat dari PPM Institute of Management, seyogyanya menggunakan endoser yang
kuat dimana citra dan kredibilitasnya diyakini betul oleh masyarat.
Tapi,
bagi produsen yang berkantung cekak, jangan terlalu kuatir. Mengusung CR tak
perlu dana terlampau banyak. Meskipun perlu sarana untuk mengkaji kebiasan
konsumen lewat riset, namun jika ditelisik lebih jauh sesungguhnya ongkos yang
dikeluarkan relatif tidak terlampau tinggi. ‘’Justru dengan iklan biasa, bujet
yang dikeluarkan jatuhnya bisa tinggi.
Soalnya ternyata hasil yang diharapkan sangat tidak efektif,’’ begitu
penjelasan Rhenald Kasali.(Bahan dari Tabloid Marketing, edisi Maret 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar