Seperti
halnya pelanggan akhir, peritel kini posisinya semakin kuat. Benarkah kekuatan
peritel itu membuat produsen takluk kepada tuntutan peritel?
Dua
bulan lalu saya sempat berbincang dengan salah seorang manajer perusahaan
rokok. Menurut sang manajer, ke depan, bagi industri rokok, peran peritel atau
pedagang toko dalam penjualan rokok menjadi sangat penting. Ini karena ruang
gerak promosi rokok dari hari ke hari makin dibatasi. Tahun depan misalnya,
Pemkot Bogor – seperti yang disampaikan Dinas Pendapatan Derah (Dispenda) Kota
Bogor – tak lagi mengizinkan spanduk atau banner merek atau produk rokok di fasilitas
umum, seperti taman kota dan bahu jalan.
Pelarangan
itu terkait Peraturan Daerah (Perda) No 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa
Rokok (KTR). “Pada 2013 tidak akan ada lagi iklan rokok yang terpampang di
jalan,” ujar Kepala Bidang Penetapan Dispenda Kota Bogor, Lia Kania Dewi. Apabila
masih ada spanduk yang mempromosikan rokok, lanjut dia, pihaknya tidak segan-segan
mencopotnya. Untuk itu, demi menegakkan Perda KTR, warga harus mendukung
program pemerintah menuju Bogor Bebas Asap Rokok. “Apabila warga melihat masih
ada baliho atau spanduk rokok, jangan sungkan untuk melaporkan kepada kami,”
ucapnya.
Itu
sebabnya, saluran distribusi bakal memasuki babak baru. Ke depan, saluran bukan
hanya untuk menjamin ketersediaan produk, tapi juga untuk kepentingan lainnya,
yaitu sebagai medium membangun merek. Dengan kata lain, ke depan, jangan heran
bila melihat -- selain memajang produk rokok di etalase (blocking display) -- warung atau toko makin
“dihiasai” dengan spanduk berikut nama toko (shop blind with name), poster, dan
sebagainya. Saat ini saja, ada kecenderungan produsen memberi insentif baik
eruoa uang maupun produk untuk membujuk peritel, termasuk pengecer tradisional,
untuk memberi ruang khusus bagi merek produsen tersebut.
Apakah
ini sekaligus menandai pergeseran kekuatan dari produsen ke pengecer? Seperti
diketahui, salah satu kompetisi utama yang memaksa -- menurut model lima
kekuatan dari Porter -- adalah kekuatan negosiasi dari pelanggan. Pelanggan
yang kuat memiliki kemungkinan untuk menetapkan kerjasama yang mereka inginkan
dan karenanya mereka ingin mengatur dan memperoleh kondisi yang menguntungkan (Porter,
1999). Dalam konteks pemasaran, pelanggan disini bisa konsumen akhir, bisa juga
perantara yang dalam hal ini adalah peritel.
Jadi, apakah
sekarang ini pengecer mendapatkan kekuatan atau posisi yang lebih besar dibandingkan
produsen? Pertanyaan ini relevan karena bila salah satu dari pelaku bisnis
tersebut memiliki “kekuasaan” yang lebih besar, kecenderungannya adalah memiliki
margin keuntungan terbesar. Dengan kata lain, pemain yang memiliki daya yang
lebih besar memiliki kemungkinan untuk mengubah perilaku orang lain (Ailawadi,
Borin, Farris, 1995, hlm 211-248).
Dalam
beberapa tahun terakhir, makin kuatnya peran pengecer tersebut diakui oleh
produsen. Makin banyaknya dan makin mudahnya public mengakses infornasi
tersebut membuat konsumen makin menuntut. Ini yang membat terjadinya
transformas dari pasar produksi ke pasar permintaan pelanggan makin kuat. Di
sisi lain, karena kontaknya dengan konsumen langsung, pengecer makin mengetahui
kebutuhan konsumen tersebut. Artinya,
dalam saluran distribusi, pengecer lebih dekat dengan konsumen akhir sebagai
produsen.
Perkembangan
teknologi, seperti scanner atau program loyalitas pelanggan terkomputerisasi
memungkinkan pengecer mendapatkan informasi lebih banyak tentang pelanggan,
kebutuhan mereka, kebiasaan serta preferensi mereka. Sebuah analisis
menunjukkan bahwa pengecer yang lebih dekat dengan pelanggan memiliki kekuatan
untuk memutuskan produk yang akan dijual di toko, di mana mereka ditempatkan,
mana yang harus dipromosikan atau direkomendasikan kepada pelanggan akhir,
berapa harganya, dan sebagainya.
Jadi
pengecer semakin mengenal pelanggan mereka dan memiliki pengaruh lebih besar
pada mereka sebagaimana yang produsen
lakukan. Kekuatan informasi seperti yang kini dibangun dan dimiliki oleh
peritel modern. Beberapa peritel tradisional yang memiliki sekala besar juga
memiliki kekuatan ini. Toko-toko mereka kini tak lagi kumuh.
“Di
Sumenep, ada anggota Sampoerna Retail Community yang sudah dilengkapi dengan
AC. Jadi sudah tidak kalah kenyamanannya dengan ritel moderen. Di Baturaja,
Sumatra lengkap dengan ATM dari bank nasional terkemuka. Demikian juga dengan
anggota di Cianjur, Tulungagung dan banyak lagi. Ini tentunya melengkapi daya
saing mereka dalam memberikan pelayanan terbaik untuk pelanggan,” kata Ivan
Cahyadi, Head of Sales Operations
Central PT HM Sampoerna Tbk. Karena itu,
produsen kini melihat peritel bukan lagi sebagai pelanggan melainkan sebagai
mitra (Zentes, Janz, Morschett, 2005, hal 5).
Sampoerna
Retail Community adalah suatu program pembinaan terhadap outlet retail
potensial yang terpilih sebagai partner bagi Sampoerna. Mereka tergabung dalam suatu
komunitas yang bertujuan untuk melakukan aktivitas promosi dan distribusi
produk A Mild secara lebih agresif dan exclusive. Konsep program ini sendiri
adalah membuat outlet retail menjadi semi modern outlet plus entertainment
corner.
Seperti
dimaklumi, pengecer (retailer) adalah salah satu komponan dari saluran
distribusi dan merupakan tahap akhir dari suatu saluran distribusi. Dengan demikian,
di tingkat pengecer terjadi perpindahan fisik dan transfer kepemilikan barang
dan jasa dari produsen ke pelanggan. Menurut
Kotler (2000:592), pengecer (retailer) adalah usaha penjualan eceran meliputi
semua kegiatan yang terlibat dalam penjualan barang dan jasa secara langsung ke
konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis. Pengecer atau toko
adalah usaha bisnis yang volume penjualannya berasal dari penjualan eceran.
Salah
satu studi yang dilakukan Ailawadi, Borin dan Farris terhadap 909 produsen dan
274 pengecer di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada pergeseran
kekuasaan dari produsen ke pengecer. Yang terjadi adalah makin intensifnya
persaingan di antara pengecer. Hal yang terakhir ini juga terjadi di Indonesia.
Banyak pendapat mengatakan bahwa peritel tradisional saat ini posisinya makin
tergencet oleh peritel modern.
Salah
satu penyebabnya adalah pertumbuhan peritel modern yang makin agresif. Di sisi
lain, jumlah peritel tradisional juga terus tumbuh. Dengan demikian, dalam satu wilayah, mereka
saling bersaing. “Pertumbuhan pengecer yang tinggi, terutama pengecer modern,
merupakan refleksi pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pendapatan masyarakat
yang berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan untuk belanja dengan cara modern
yang nyaman, Hal ini akan berdampak akan semakin ketatnya persaingan antar pengecer
sehingga menuntut pengecer menemukan diferensiasinya agar tidak harus bertarung
harga,” kata FM. Siddharta, konsultan Trade Marketing Indonesia.
Di
daerah-daerah atau kantong-kantong tertentu yang dinilai produsen prospektif
untuk produk atau merek mereka, produsen berani memberi insentif lebih agar
pengecer tersebut bersedia melebihkan perlakuannya terhadap merek mereka.
Tujuannya, agar merek yang berada di tengah-tengah kerumunan merek pesaing,
merek tersebut bisa menjadi pilihan pelanggan.
Dengan
kata lain, yang terjadi sebenarnya adalah sikap produsen yang melihat pengecer sebagai salah satu pelanggan yang
harus diyakinkan untuk menjual dan mempromosikan produk-produk mereka. Karenanya,
sebagian besar produsen melihat bahwa tantangan utama adalah memperoleh
kerjasama dengan peritel. Untuk itu mereka sering menggunakan motivator positif
, seperti marjin yang lebih tinggi, transaksi khusus, premium, tunjangan iklan
bersama, tunjangan pajangan (display allowance), dan kontes penjualan. Bilamana mereka puas dengan semua layanan
itu, mereka tidak akan segan-segan untuk memenuhi kebutuhan produsen tadi.
Sehingga
tak diragukan lagi bahwa kepuasan peritel, merupakan faktor utama yang dapat membuat
makin tinggi komitmen mereka. Kepuasan
disini didefinisikan sebagai pernyataan positif secara keseluruhan yang
dihasilkan dari penilaian dari semua aspek hubungan produsen dan peritel (Frazier,
Gill dan Kale 1989, Gaski dan Nevin 1985).
Tahun
ini, untuk yang keempat kalinya, Majalah MIX-Marketing Communication
bekerjasama dengan QASA melakukan survey tentang kinerja produsen dalam
memperlakukan peritelnya. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi tolok ukur
atau evaluasi bagi produsen apakah mereka sudah on the track dalam peritel yang notabenenya adalah pelanggan juga.
Bagaimana hasilnya, baca Majalah MIX-MarketingCommunications edisi Agustus 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar