Sebagian besar perusahaan
berhasil menginformasikan inisiatif CSR-nya melalui media konvensional. Namun,
ketika perusahaan menginginkan citra positif dari inisiatif CSR, perusahaan harus
mengubah paradigm komunikasinya. Apa yang harus dilakukan?
Omah
Kendeng adalah situs yang memuat aneka ragam berita, informasi dan peraturan
terkait penambangan karst, terutama batu kapur. Menurut pengelola situs, Mokh.
Sobirin, Omah Kendeng bersama Desantara
Foundation memberikan informasi kepada publik tentang upaya masyarakat
melestarikan Pegunungan Kendeng Utara, Kabupaten Grobogan.
Ini
merupakan salah satu langkah masyarakat Pegunungan Kendeng Utama untuk
mendapatkan dukungan public. Ini karena kawasan itu kini menjadi incaran tiga
investor besar di bidang tambang. Padahal kawasan itu merupakan daerah resapan
air dan mata air yang dimanfaatkan masyarakat utuk air minum dan pengairan
sawah. Dngan kata lain, melalui media sosial, masyarakat itu menggalang
dukungan penolakan rencana pembangunan pabrik semen di daerah itu.
Maret
2010, Greenpeace melancarkan kampanye yang menuduh Nestle terlibat dalam
penghancuran habitat orang utan di Indonesia. Ini karena Nestle menggunakan
minyak sawit dari beberapa perusahaan Indonesia yang areal tanam sawitnya
merupakan konversi dari hutan, habitat orang utan.
Untuk
melancarkan kampanyenya itu, Geenpeace membuat sebuah iklan parodi Nestle Kit
Kat. Iklan itu menggambarkan seorang
lelaki pekerja kantor mengkonsumsi Kit Kat. Video iklan itu diposting
Greenpeace di YouTube. Kemudian diunduh dan diupload ulang pengguna YouTube
lainnya dan menghasilkan komentar luas di seluruh platform media sosial.
Komentarnya, posisitif untuk Greenpeace dan negatif untuk Nestle. Nestle pun
akhirnya “mengalah’ dan tidak memperpanjang kontrak pembelian minyak sawit dari
perusahaan tersebut.
Nike
merupakan market leader untuk kategori sepatu atletik dan pasar garmen global.
Pada 1990-an, Nike dituduh sweatshop dan eksploitasi pekerja. Banyak organisasi
non pemerintah (LSM), seperti Global Exchange dan Watch Sweatshop, mengeluhkan
perlakuan Nike fasilitas pekerja yang disediakan Nike, mulai dari hukuman
fisik, upah rendah, lembur paksa, kondisi kerja yang tidak manusiawi, dan
pekerja anak.
Dengan
menggabungkan atara Internet dan media konvensional, LSM-LSM menekan Nike untuk
segera mereformasi praktek perlakuan tenaga kerja para pemasoknya. Kampanye itu
menciptakan publisitas negatif dan tekanan pada Nike. Kampanye itu juga
mentarget LSM lainnya dan kalangan perguruan tinggi, termasuk mahasiswa.
Mahasiswa kemudian menekan pengelola perguruan tinggi untuk membatalkan
kontraknya bila Nike tidak mematuhi seruan memperbaiki perlakuan para pemasok
terhadap pekerjanya. Nike pun mengalah.
Fenomena
diatas mengilustrasikan, pertama, bagaimana public relations menterjemahkan
tekanan politik melalui ancaman keuangan. Sorotan negatif pada rantai pemasok menciptakan
perubahan kebijakan (Bullert, 2000). Kedua, penggunaan sosial media oleh para
penggiat sosial berpengaruh besar pada daya dorong kampanye itu. Menurut
O'Rourke (2005), LSM menggunakan public relations dan kampanye pemasaran untuk
mengubah paradigm produksi dan konsumsi global.
Dalam
konteks fenomena diatas, public relations menggeser “permintaan” dari
“problematika sosial” ke perbaikan system produksi (O'Rourke, 2005, hal. 116). Disini,
public relations berperan sangat besar dalam memberdayakan tanggung jawab
sosial konsumen untuk mendorong perusahaan berperilaku lebih bertanggungjawab.
Dengan kata lain, praktek public relation para penggiat sosial itu mendorong
konsumen untuk menekan perusshaan untuk membangun dan melaksanakan inisiatif
corporate social responsisbility (CSR).
Ketiga,
fenomena itu makin mempertegas pentingnya membangun hubungan dengan para
pemangku kepentingan perusahaan, termasuk diantaranya adalah para penggiat
sosial. Dengan kata lain, posisi stakeholder menjadi semakin penting begitu
teknologi komunikasi baru makin mempermudah mereka untuk menyuarakan
keprihatinan dan tuntutan mereka. Realitas bahwa penggiat sosial memanfaatkan
sosial media untuk melancarkan kampanye mereka sekaligus memberikan informasi
bahwa sejatinya mereka juga aktif memantau
aktivitas sosial – dalam hal ini adalah tanggung jawab sosialnya. Mereka
memantau tidak hanya melalui media
konvensional tapi juga media sosial.
Karena
itu mengkomunikasikan inisiatif CSR makin penting guna mempengaruhi opinion
leader, menjawab skeptisisme yang tumbuh tumbuh belakangan ini tentang
CSR, khususnya perusahaan yang melebih-lebihkan
perilaku sosial mereka (Holme dan Watts, 2000). Selain itu, kecenderungan ini
dipicu oleh kondisi global yang mendorong organisasi menjadi lebih terbuka
untuk memenuhi harapan pihak luar.
Masyarakat
kini menjadi makin galak pada perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas
biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat (Beltratti, 2005). Karena itu, CSR
dapat memaberikan keuntungan kompetitif karena mampu mendeskripsikan sebagai perusahaan
atau merek yang berperilaku berbeda dengan praktek-praktek umum dari bisnis
yang cenderung untuk menguras sumber daya alam dan mengeksploitasi masyarakat.
Dengan melaksanakan CSR sekaligus menenujukkan kepada masyarakat bahwa perusahaan
tidak lagi melepaskan diri dari lingkungan eksternal mereka dan pandangan
konservatif bahwa, "yang penting bagi perusahaan hanyalah saing,
kelangsungan hidup dan keuntungan" melemah. Namun, argumen berlanjut
sampai semua usaha telah terintegrasi ke dalam ekonomi CSR mereka, operasi
lingkungan, dan sosial.
Perusahaan
dapat mengkomunikasikan inisiatif CSR-nya melalui berbagai saluran, termasuk social
report, laporan yang ersifat tematik, kode etik, situs web, konsultasi
stakeholder, saluran internal, cause marketing, kemasan produk, media massa dan
di TV, dan tempat penjualan. Namun, tiga saluran khususnya social report, situs
web, dan iklan - memainkan peran yang sangat penting. Dalam lingkungan stakeholder
yang berubah tersebut, membangun dan memelihara modal relasi sosial tidak hanya
bergantung media komunikasi klasik, melainkan juga pada berbagai saluran komunikasi
atau "media sosial."
Persoalannya
adalah komunikasi CSR yang efektif seringkali terkendala oleh asumsi bahwa
komunikasi hanyalah transmisi informasi CSR dari perusahaan kepada para
pemangku kepentingan. Stakeholder memang menginginkan informasi tentang CSR.
Apalagi secara resmi, pemerintah Indonesia – melalui undang-undang –
memerintahkan perusahaan tambang misalnya untuk melaksanakan inisiatif CSR. Ini
mengimplikasikan bahwa setiap perusahaan – selain melaksanakan inisiatif
CSR-nya – perusahaan harus melaporkan atau mengkomunikasikan inisiatif
tersebut. Ihlen (2010) mendefinisikan komunikasi CSR sebagai cara perusahaan
mengkomunikasikan proses yang berdampak pada lingkungan, sosial dan ekonomi
dengan menggunakan media, symbol dan retorika atau pesan.
Komunikasi
SCR adalah proses yang membutuhkan pemahaman tentang para pemangku kepentingan,
termasuk informasi yang mereka butuhkan, dan saluran komunikasi yang bisa
engage dengan mereka. Ini karena setiap elemen stakeholder memiliki karakteristik,
kepentingan dan agenda yang berbeda-beda. Suatu pesan perusahaan dapat
menciptakan reaksi negatif ketika stakeholder melihat pesan tersebut terlalu
berpromosi.
Lain
itu, tidak semua stakeholder menginginkan informasi yang sama tentang suatu
kegiatan CSR. Karena itu, komunikasi CSR, termasuk pesannya, harus disesuaikan
dengan masing-masing stakeholder. (Pomering & Dolnicar, 2008). Misalnya,
investor bisa jadi lebih tertarik pada informasi yang pesannya bisa memberikan
efek keuangan pada perusahaan (misalnya,
ROI), sedangkan masyarakat setempat ingin mengetahui tentang bagaimana kegiatan
SCR yang dilakukan perusahaan berpengaruh langsung pada kehidupan mereka
(misalnya, dampak pada kesehatan dan lingkungan).
Komunikasi CSR juga bisa menjadi masalah jika
perusahaan dianggap menyampaikan suatu pesan untuk stakeholder tertentu, hanya
untuk menyenangkan para penerima dan menyampaikan apa yang ingin mereka dengar.
Dengan kata lain, pesan yang disampaikan, meskipun tujuannya baik dan dirancang
untuk memenuhi kebutuhan penerima khusus , mungkin menjadi bumerang dan
dianggap sebagai ketidakjujuran. Ketidakkonsistenan dapat membangkitkan
keraguan publik terhadap ketulusan atau komitmen perusahaan dalam melaksanakan inisiatif
CSR.
Disinilah biasanya para manajer, misalnya manajer
CSR menghadapi persoalan yang disebut Coombs dan Holladay (2012) sebagai dilema komunikasi CSR.
Disini para manajer ditantang untuk mengembangkan rencana komunikasi CSR untuk
masing-masing stakeholder, saluran (media) yang akan digunakan untuk menjangkau
mereka, dan pesan utama yang akan dikirimkan ke masing-masing kelompok
stakeholder. Selama proses ini, manajer dituntut untuk mengedepankan empaty
kepada para pemangku kepentingan, dan pesan harus disesuaikan dan diseimbangkan
antara kepentingan stakeholder dan inisiatif CSR.
Ingenhoff
dan Kölling (2010) menyebutkan dua aspek komunikasi SCR. Yang pertama adalah komunikasi tentang tanggung jawab sosial
perusahaan. Kedua, tentang target audience dari pesan komunikasi tersebut.
Dalam konteks target audience, mereka menyebut stakeholder internal dan
eksternal yang mesti digarap.
Target
audience stakeholder internal menjadi penting karena mereka bisa berperan
sebagai saluran komunikasi lanjutan. Karyawan misalnya, dapat menjadi saluran
komunikasi yang penting. Sebab di era sosial media, banyak orang – termasuk
karyawan – yang memiliki akun media sosial. Melalui komunikasi yang tepat,
perusahaan dapat mendorong para karyawannya untuk meng-echo inisiatif CSR
mereka melalui media sosial yag dimiliki karyawan.
Sementara
itu stakeholder eksternal terdiri atas mereka yang terkena dampak CSR. Secara
khusus, stakeholder eksternal bisa masyarakat lokal, LSM, media tradisional dan
online, pemasok, pelanggan, investor, dan pengecer. Berhadapan dengan audience
ini, pesan komunikasi SCR yang dilakukan perusahaan tidak lagi ditafsirkan
sebagai sesuatu yang independen. Pesan yang disampaikan bisa berimplikasi pada
peluang dan ancaman.
Beberapa
ahli mencatat bahwa, begitu stakeholder menjadi semakin aktif mengawasi
tanggungjawab perusahaan atas dampak yang ditimbulkannya, perusahaan harus
mempertimbangkan interaksi dua arah dan engagement dengan para pemangku
kepentingan (Schneider, Stieglitz, & Lattemann, 2007; Fieseler, Fleck,
& Meckel, 2010). Realitasnya, muncul semacam paradox. Sementara semakin
banyak lembaga-lembaga, misalnya LSM (Schneider, Stieglitz, & Lattemann,
2007) seperti Greenpeace, memanfaatkan teknologi dan saluran informasi baru
-- terutama Web 2.0, beberapa penelitian
menunjukkan masih sedikitnya perusahaan yang memanfaatkan teknologi Web 2.0
untuk mengkomunikasikan inisiatif CSR-nya (Schneider, Stieglitz, & Lattemann,
2007; Fieseler, Fleck, & Meckel, 2010).
Tahun
ini, untuk kali ke lima, Majalah MIX menyelenggarakan kontes program public
relations, yang alah dianyaranya adalah proigramyang terkait dengan CSR. Dari
sekian entry program CSR, tidak sampai 50% yang menginfromasikan bahwa
komunikasi SCR yang mereka jalankan memanfaatkan media sosial. Ini
mengindikasikan masih sedikitnya perusahaan yang memanfaatkan media interaktif
tersebut.
Padahal,
keberadaan Web menawarkan peluang kepada perusahaan atau organisasi untuk
merancang pesan yang tidak harus mengikuti keinginan gatekeepers seperti yang
terjadi pada media cetak dan elektronik. Oleh karena itu, Web dianggap sebagai
pilihan yang pas bagi perusahaan untuk menentukan dan menyajikan agenda CSR. Dengan kata lain,
manfaat strategis dari Internet untuk komunikasi CSR adalah bahwa web
memungkinkan proses yang berkelanjutan dan interaktif daripada produk tahunan
statis.
Perkembangan
ini mengakibatkan perubahan di kalangan konsumen sehingga memunculkan evolusi
yang memunculkan konsumen generasi baru mulai dari crossumer, prossumer,
fansumer dan persumer. Ini sekaligus membangun paradigm baru tentang pasar
dengan menyatakan bahwa pasar adalah percakapan.
Seperti
diketahui, secara umum, tujuan dari komunikasi CSR adalah menyebarluaskan
informasi terkait inisiatif CSR perusahaan kepada para stakeholder yang
berbeda. Sebagian besar perusahaan bisa mencapai tujuan melalui komunikasi
tradisional searah, berbasis kertas atau Web 1.0. Dalam beberapa waktu
terakhir, makin banyak perusahaan di Indonesia yang mengkomunikasikan inisiatif
CSR-nya melalui iklan. Ini memunculkan pertanyaan tentang peran public
relations dalam membangun kredibilitas perusahaan atau merek. Kedua, ada
pertanyaan menyangkut performance. Maksudnya, sejauh mana iklan bisa membangun
citra positif dari pegiklan CSR tersebut.
Sebab
seperti diketahui, untuk mencapai tujuan selain menginformasikan, diperlukan praktek
komunikasi lain yang berbeda dari sekadar beriklan. Misalnya, komunikasi CSR yang
bertujuan untuk mendapatkan efek citra positif dari bisnis atau merek dari pelanggan
dan stakeholder lainnya (Morsing & Schultz, 2006), dalam era media sosial,
penggunaan media tradisional tak lagi seefektif pada era Web 1.0. Ini karena
citra positif baru bisa terbentuk manakala pelanggan melakukan interaksi dengan
merek atau perusahaan tersebut.
Pada era
web 2.0, penerima pesan atau audience adalah konsumen profesional (prosumer),
yang sekaligus menjabat sebagai co-produser dan distributor (crossumer),
penggemar merek (fansumer) dan konsumen sebagai person (persumer). Namun
demikian, apapun istilahnya, semua mengindikasikan dimensi interaktif dari
pengguna yang memetaforfosis konsep audience ke dalam lingkungan teknologi yang
kolaboratif dan partisipatif.
Learning for All
Sejak 2009 lalu, PT Sari Husada melaksanakan Program Ayo
Melek Gizi, suatu program edukasi untuk menigkatkan pengetahuan tentang gizi
kepada kader-kader Posyandu dan ibu-ibu. Hingga tahun 2010, Program Ayo Melek
Gizi berhasil melakukan edukasi kepada kader Posyandu sebanyak 1.670 orang dan
35.866 Ibu di Posyandu di area Jawa Barat.
Untukmeningkatkan efektivitasnya, Sari Husada juga
menyelenggarakan program yang disebut sebagai Learning for All yang ditujukan
untuk karyawan. Jadi ini semacam turunan program edukasi serupa yang ditujukan
kepada kader Posyandu dan ibu-ibu tadi. Jadi program ini menyertakan karyawan sendiri dan keluarganya.
Target primer dari program ini adalah seluruh karyawan Sari Husada di Indonesia yang berjumlah 1.048 orang. Sementara target skundernya adalah 1.000 keluarga mereka, 1.200 frontliners, dan 4.000 konsumen Sari Husada.
Untuk mencapai tujuan program secara maksimal, perusahaan menciptakan beberapa tahap strategi. Pertama sosialisasi dengan top manajemen (jajaran direksi) yang dilanjutkan menjadi komunikasi top down berupa perintah sederhana kepada karyawan. Kedua pengemasan program secara menarik ketika dikemas dalam bentuk training. Ketiga mengembangkan materi presentasi yang memiliki key message kuat dan menghindari penggunaan istilah sulit untuk meminimalisir salah tafsir peserta. Keempat pemilihan media komunikasi yang efektif. Kelima, ada penghargaan dan pengakuan melalui sertifikat. Karyawan yang lulus akan diangkat sebagai AMG ambassadors, dan AMG Expert bagi yang memenuhi syarat. Keenam, diadakan kelas penyegaran untuk mengingatkan kembali materi-materi yang telah diserap karyawan.
Program in class training Ayo Melek Gizi for All membutuhkan bujet lebih kurang Rp500 juta untuk pelaksanaan sejak Desember 2011 hingga akir 2012. Lokasi pelaksanaan program di seluruh kantor Sari Husada Jakarta, Yogyakarta dan area seluruh Indonesia. Selama program berlangsung, internal komunikasi Sari Husada terus menyokong melalui berbagai aspek. Terutama dalam memfasilitasi komunikasi antara pimpinan dengan bawahan dan sebaliknya, dan juga antara rekan sesame jabatan. Proses komunikasi berwujud antar pribadi, komunikasi kelompok, dan juga menggunakan media komunikasi.
Prorgam AMG for All dicatat memberikan hasil yang sangat memuaskan. Sebagian besar karyawan Sari Husada dinilai telah memahami pentingnya gizi. Kesuksesan program ini juga dilihat dari berbagai indikator. Misalnya, jumlah peserta yang mencapai 312 karyawan dengan nilai rata-rata 86 pada training tahun 2011. Melampaui target sejumlah 250 peserta dengan rata-rata nilai kelulusan sebesar 70. Ini membuktikan bahwa karyawan Sari Husada sangat bersemangat dan antusias mengikuti program tersebut. Nilai tersebut sekaligus menjadi indictor pemahaman mereka terhadap materi yang diajarkan.
Ke depan, program ini akan ditindaklanjuti dengan training
Tidak ada komentar:
Posting Komentar