Tahun ini tiga BUMN masuk ke bisnis retail. Akankah dibiarkan saling bersaing? Kenapa tidak bersinerga, toh mereka masing-masing punya kompetensi yang berbeda.
Dua
minggu lalu (pertengahan Januari 2013), saya mengobrol dengan seorang teman yang kebetulan duduk di Dewan
Pengawas LPP (LKBN) Antara. Saya tak langsung bertanya tentang yang dilakukan LPP Antara
paska maraknya media sosial dan online. Saya cuma mengatakan bahwa yang harus
dilakukan Antara adalah memikirkan bisnisnya karena SDM untuk pemberitaan
sangat-sangat luar biasa. Pembicaraan
selesai karena acara yang yang hadiri itu dimulai.
Akhir pekan
lalu, saya membaca berita bahwa tahun ini PT Pos Indonesia (Persero) menargetkan
memperoleh pendapatan hingga Rp4,3 triliun. Wuih… bagaimana bisa? Pertama, bukankah
bisnis kirim mengirim apa saja – mulai dari uang hingga barang, apalagi surat –
sudah tak membutuhkan jasa PT Pos Indonesia. Surat misalnya, selain ada email,
kalau malas buka leqat laptop (karena kelamaan start-up-nya misalnya), bisa
pakai handphone. Juga makin cepat lewat sms, atau pesan melalui BB. Bisa pakai
foto lagi, bahkan Twitter pun kini menyediakan fasilitas pengiriman video walau
6 detik.
Kedua, Undang-Undang
No. 38 tentang Pos. UU yang diluncurkan pada 15 September 2009 itu telah
mengubah kompetisi di industri pos. Sejak undang-undang tersebut diberlakukan, pemerintah
telah membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapapun, termasuk pihak swasta,
untuk bergerak di bidang layanan jasa pos.
Lalu
bagaimana model bisnis PT Pos Indonesia sekarang. Menurut Direktur Utama PT Pos
Indonesia, I Ketut Mardjana, pihaknya tengah mengembangkan berbagai layanan
bisnis. “Tahun ini adalah tahun kick off PT Pos Indonesia. Sebelumnya selama 2012
banyak yang kami benahi seperti sistem bisnis, infrastruktur bisnis dan mindset
[karyawan],” ujarnya seperti dikutip Bisnis.com, akhir pekan (26 Januari 2013) kemarin.
Tahun
lalu, menurut Manajer Posmart Kantor Area VII Jatim, PT Pos Indonesia
(Persero), Moh Nurbagio, mulai menggarap bisnis retail minimarket guna memanfaatkan
ruang dan properti yang dimiliki oleh PT Pos Indonesia. Dengan melihat pasar
dan potensi pelanggan maka minimarket bisa meningkatkan utilitas aset.
Bayangkan,
saat ini terdapat 3.740 kantor cabang serta 24.000 gerai pos yang tersebar di
seantero Indonesia. Sementara, sekitar 62,3%-nya atau 2.330 kantor yang
kebanyakan berada di wilayah rural, merugi!
Tentu sangat disayangkan, jika aset sebesar itu harus diabaikan begitu
saja. Sebab, belum ada satu perusahaan pun di Tanah Air yang mempunyai jaringan
hingga pelosok terpencil laiknya Pos Indonesia. Ini merupakan potensi besar
untuk mengembangkan bisnis retail.
Dalam
mengembangkan bisnis retail tersebut, PT Pos Indonesia tidak sendirian. Pos
Indonesia menggandeng kerjasama dengan pemain bisnis minimarket, salah satunya
dengan Indomaret. Menurut Nurbagio, kerja sama dengan Indomaret dalam
pengelolaan Post Shop menggunakan pola sharing. Pihak PT Pos Indonesia sifatnya
menyediakan ruang saja.
Selain
menjual kebutuhan masyarakat layaknya di minimarket Indomaret, layanan di Post
Shop disinergikan dengan layanan pos. "Jadi, nantinya masyarakat bisa
melakukan pengiriman surat atau lainnya sekaligus berbelanja di Post Shop,"
paparnya. Post Shop pertama yang hadir di Jatim, adalah di Malang, Batu, dan di
Kantor Pos Surabaya Selatan, yang diresmikan pada 28 Desember 2012.
Direktur
Utama PT Pos Indonesia, I Ketut Mardjana menjelaskan pada 2012 pihaknya
memperoleh pendapatan senilai Rp3,3 triliun dan tahun ini menargetkan
memperoleh pendapatan Rp4,3 triliun dari berbagai pengembangan bisnis yang akan dilakukan perseroan pada 2013.Salah
satunya, selain pada Desember 2012, membuka 15 post shop di berbagai daerah di
Jabodetabek, pada 2013 ini mendirikan 300-400 post shop di seluruh Indoensia. Adanya
Postshop di beberapa kantor pos di sejumlah daerah, layanan PT Pos Indonesia
bisa dinikmati selama 24 jam.
Dia
menjelaskan dalam mengembangkan post shop itu pihaknya bekerja sama dengan
perusahaan ritel waralaba seperti PT Indomarco Prismatama (Indomaret) dan PT
Sumber Alfaria Trijaya, Tbk (Alfamart). Dia menambahkan pihaknya juga
menargetkan dapat bekerja sama dengan perusahaan ritel seperti PT Circle K
Indonesia Utama (Circle K). Satu gerai post shop, tuturnya, PT Pos Indonesia
menargetkan pendapatan Rp250 juta per tahun. Bersama program Post Mall (Post
Masuk Mall) dan Post Agent, Post Shop dikembangkan sebagai upaya
mendekatkan kantor pos dengan
masyarakat. “Ini adalah salah satu bentuk perwujudan dari 'Pos Sahabat
Rakyat'," tambahnya.
Tahun
ini, bisnis minimarket makin ramai. Selain ekspansi yang dilakukan oleh peritel
yang ada, tiga BUMN masuk ke bisnis ini. BUMN-BUMN tersebut mulai
mengintegrasikan aset produksi yang mereka miliki ke lini distribusi langsung
ke konsumen melalui pembukaan outlet minimarket. Tahun ini, selain Pos
Indonesia, Bulog yang selama ini menguasai atau setidaknya berpengalaman di
bidang distribusi pangan dan PT Rajawali Nusantara Indonesia yang memiliki
bisnis perkebunan dan penggilingan tebu, minyak goring dan sebagainya mendirikan
minimarket. Bulog Mart ditempatkan minimal di setiap gudang Bulog, yang terdiri
atas 1.751 unit di 132 Sub Divre di 26 Divre seluruh Indonesia. Target 1.800
Bulog Mart.
Sementara
itu PT RNI, mulai 15 Januari 2013, melalui anak perusahaan PT Rajawali Mart, menargetkan membuka 150
gerai dengan investasi sekitar Rp 150 miliar. "Kami akan beroperasi di
Jakarta, Semarang, Surabaya, Malang, Jogja, Cirebon, Bandung dan Bali,"
ungkap Dirut RNI, Ismed Hasan Putro saat launching gerai di Kuta, Bali,
beberapa waktu lalu. "Raja Gula dan kondom akan jadi andalan kami." Sampai
akhir 2013, target RNI adalah membangun 500 gerai Rajawali Mart di Jawa dan
Bali dan mulai Semester II-2013, membuka franchise untuk masyarakat.
Rajawali
Mart siap menampung pasokan produk dari usaha skala kecil (UMKM), petani dan
peternak. Selain itu, memperkuat sinergi produk BUMN seperti garam produksi PT
Garam, air mineral dari Perhutani, dan beras dari Bulog. Untuk memenuhi
kebutuhan kelas menengah, minimarket ini menggaet 82 item produk seperti
Unilever dan Philips. "Kami coba beri kelebihan di layanan, seperti
sistem, manajemen, rak, dan produk, tapi yang paling penting, Rajawali Mart itu
milik masyarakat dan untuk masyarakat," papar Ismed.
Sebaliknya,
Perum Bulog menargetkan membuka 100 Bulog Mart, toko ritel modern sejak 2012.
Fokus awal pasarnya bahan pokok, terutama beras, gula, dan minyak goreng.
Sekarang sudah mulai menjual sembako lainnya. Di sejumlah lokasi, pembangunan
fisik Bulog Mart memanfaatkan kantor divre regional (divre), subdivre.
Kebetulan, aset Bulog sebagian besar berada di lokasi strategis, dan gudang.
Direktur
Perum Bulog, Soetarto Alimuso menyebutkan, Bulog Mart mulai bergerak dari
Bandung, Semarang, Malang, Makassar dan Bandar Lampung. "Kami mengusung
konsep stabilisasi harga pangan dalam mengembangkan ritel ini. Beras premium
dan beras medium serta gula dan minyak goreng disediakan dalam porsi lebih
banyak," jelasnya.
Dengan
motto "Menjangkau Kepuasan Anda", Bulog Mart diharapkan sebagai
layanan terbaru untuk lebih mendekatkan Bulog kepada masyarakat. Bahkan,
nantinya, bisa saja, lewat minimarket ini, Bulog melakukan operasi pasar di
Bulog Mart yang lokasinya berada di daerah dan strategis. Semua kelas beras
dijual disana.
Sebagai konsumen,
tentu saya senang dengan makin banyaknya BUMN yang masuk ke bisnis retail ini.
Setidaknya, harapan saya adalah bahwa para pemain ritel dari BUMN bisa
memangkas rantai distribusi barang – terutama sembako – yang selama ini
berliku-liku. Dengan demikian, konsumen akan diuntungkan setidaknya dari sisi
harga. Dari beberapa penelitian yang saya lakukan, di bisnis ritel -- faktor
harga menjadi salah satu keunggulan bersaing utama.
Setelah
harga baru kemudian layanan dan kelengkapan produk yang dijual. Lokasi? Salah
satu yang penting cuma untuk kelas menengah yang rentan terhadap harga, mereka
akan membandingkan dengan benefit yang diperoeh. Jadi misalnya kalau seseorang
berbelanja di lokasi yang agak jauh, dia akan menghitung potongan harga yang
diperoleh dengan biaya yang harus dikeluarkan, plus beneftit lain misalnya dia
bisa mengajak anak-anaknya bermain dan sebagainya. Kedua, kelas menengah –
terutama usia muda – berbelanja mingguan. Tapi sekali lagi, ini adalah dalam konteks
belanja mingguan.
Untuk
belanja harian, selain harga lokasi ikut menentukan. Bayangkan kalau saya di
jalan atau mau bepergian dari Jakarta ke Bogor dengan kereta misalnya, saya membutuhkan
minuman tentu saya cari minimarket terdekat dan membeli tanpa harus
mempertimbangkan harga. Dari sisi seyogyanya – untuk ekspansi – Bulog, RNI atau
Posmart bekerjasama dengan BUMN lain, PT KAI? Atau kenapa Bulog, RNI, Posmart
dan BUMN lain, termasuk Kimia Farma, Biofarma, dan sebagainya saling
bekerjasama untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia melalui penjualan produk
mereka dengan harga terjangkau?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar