Media sosial tak bisa bekerja
sendirian. Dia harus diintegrasikan dengan saluran komunikasi lain, termasuk
media konvensional. Inilah yang disebut sebagai era post-social media, era
dimana pemasar tidak hanya memikirkan tentang media sosial tapi juga media
konvensional.
Minggu
kedua Desember lalu, dalam suatu presentasi di depan peserta Konvensi Nasional
Humas 2012 yang diselenggarakan Perhumas Indonesia, guru besar UI Dr. Rhenald
Kasali memaparkan sesuatu yang menarik, Dia mempertotonkan video tentang protes
warga di suatu negara Eropa tentang jalan yang rusak. Intinya, awalnya, warga
disitu protes melalui media sosial. Namun, tetap saja pemerintah daerah
setempat tak menggubrisnya. Baru setelah protes – dengan mural – itu
diberitakan televisi, pemerintah bertindak.
Beberapa
bulan lalu, bangsa Indonesia menyaksikan kelahiran pemimpin “nasional” baru
Joko Widodo yang terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta. Banyak orang mengakui
peran media sosial dalam mengangkat popularitas Jokowi. Namun, orang melupakan
adanya kekuatan komunikasi tatap muka berupa blusukan Joko Widodo ke
kampung-kampung dan berdialog langsung dengan rakyat itulah yang membuat media
sosial “gaduh.” Kegaduhan itu makin menjadi setelah media konvensional –
termasuk televisi – memberitakannya.
Tak bisa
dipungkiri, hampir sepuluh tahun sejak pertama kali blog diluncurkan, media
sosial mendominasi percakapan yang dilakukan para professional di bidang pemasaran.
Pengaruh media sosial di pemasaran tidak perlu dipertanyakan lagi. Sudah lima
atau enam tahun, pemasar menikmati media yang dikenal dengan media sosial.
Secara fundamental, platform ini telah mengubah cara perusahaan berinteraksi
dengan pelanggannya.
Nyatanya,
studi terbaru mengungkapkan bahwa sementara media sosial banyak diberitakan
karena peluang yang diciptakannya, banyak juga perusahaan yang masih menganggap
media sosial seperti mentega. Ia hanya menjadi pelengkap dari PR tradisional,
periklanan, dan pemasaran langsung. Akhir 2011, CMO Council mengeluarkan
laporan yang mengungkapkan hanya 34 persen dari anggotanya yang benar-benar
mengintegrasikan media sosial ke dalam strategi besar pemasaran mereka. Studi
lainnya, yang dilakukan IBM terhadap 1.700 CMO mengungkapkan hanya sebagian
kecil dari mereka yang memonitor percakapan pelanggan mereka (48 persen) di
media sosial dan postingan yang relevan dengan perusahaan dalam blog (26
persen).
Saya
kutip data lain. Survey yang dilakukan Software Pitney Bowes pada September
lalu terhadap pengguna internet dewasa dan para pengambil keputusan pemasaran
di AS, Inggris, Perancis, Jerman dan Australia menemukan sebuah paradox. Temuan
inilah yang membuat mereka mengingatkan pemasar untuk berhati-hati agar mereka
terlalu berkomitmen pada media sosial tertentu.
Hasil
jajak pendapat itu juga seakan mengingatkan bahwa penggunaan media sosial
hendaknya dilakukan selaras dengan preferensi konsumen. Kenapa? Survei itu
menemukan adanya perbedaan yang mencolok
antara konsentrasi konsumen di beberapa jaringan media sosial dan persentase
pemasar yang menggunakan jaringan sosial itu. Namun dalam kasus lain, jumlah
pemasar di platform yang tersedia justru melampaui pelanggan potensial yang
ada.
Di
Twitter, misalnya, 57% pemasar dilaporkan menggunakan situs tersebut. Di sisi
lain, hanya 31% konsumen yang
menggunakan situs yang yang sama. Twitter diakui sebagai pendorong utama di
balik fenomena yang relatif baru, televisi sosial. Menurut sebuah study terbaru
yang dilakukan NM Incite dan Nielsen,
selama Juni 2012, sepertiga dari pengguna Twitter mentweet secara aktif
konten TV atau naik 27 persen dibandingkan
Januari. Seperempat dari pengguna sosial media adalah mereka yang
berusia 18-24 yang selalu memberikan komen atas konten TV sosial yang
dilihatnya. Karena itu, muncul hipotesis bahwa menggunakan dengan Twitter
strategi pemasaran beralan lancar.
Informasi
lainnya menunjukkan ada 51% pemasar
memanfaatkan kehadiran Google+, padahal hanya 21% konsumen yang menggunakannya.
Sementara itu di bagian lain, survey menemukan 53% dari konsumen memanfaatkan
YouTube, tetapi di lain pihak hanya 41%
pemasar yang memanfaatkannya. Artinya, sementara banyak pengguna
internet yang melototi YouTube, tapi di sisi lain jarang pemasar yang melongok
jejaring itu. Mereka menyukai menggunakan mikroblog.
Artinya
apa? Fenomena-fenomena diatas menunjukkan betapa marketer sibuk memposting tapi
tak menghiraukan tanggapan yang diberikan oleh member akun media sosial
miliknya. Ini jelas bukan sesuatu yang ideal, karena pada dasarnya posting
perusahaan seyogyanya mendorong pubik berkomentar dan membicarakannya secara
positif sehingga brand-nya menjadi hidup.
Itulah
alasan Gini Dietrich dan Geoff Livingston menulis Marketing in the Round. Dalam
konteks ini mereka ingin menunjukkan realitas sebenarnya dari fenomena
perluasan saluran komunukasi tersebut.
Mereka menyadari, memahami bagaimana mengintegrasikan dan memilih taktik
yang beragam, memadukan media tradisional dan online – bukan bagaimana memulai
Twitter -- adalah tantangan besar yang dihadapi pemasar.
Saat
ini, kata Gini Dietrich dan Geoff Livingston -- penulis buku Marketing in the
Round -- hampir setiap buku pemasaran kontemporer membahas media sosial, apakah
itu Facebook, ROI, konten, atau customer relationship. Secara langsung, ini
merupakan bentuk pengakuan penulis literatur tersebut bahwa mereka telah
membawa perubahan media yang sejatinya bersifat sosial ke ranah pemasaran.
Karenanya, buku-buku tersebut gagal untuk menyadari tantangan pemasar
sebenarnya. Bukan dalam pemanfaatan media sosial, tetapi tantangan mentransformasi
diri menjadi organisasi modern yang bekerja di media dan taktik untuk mencapai
tujuannya.
Tetapi,
hal itu bukan berarti mereka membenci media sosial. Melalui buku ini, mereka
ingin menunjukkan bagaimana pemasaran multichannel bekerja di abad kedua puluh
satu atau di era paska media sosial seperti sekarang ini. Sebab bagaimana pun media
baru – media sosial – telah menggeser pergeseran paradigma praktik pemasaran di
banyak perusahaan. Sebelumnya, dalam berkomunikasi, perusahaan menggunakan pendekatan
product-driven, kini mereka mengaplikasikan metode "customer-driven"
marketing dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Saat
ini, konsumen memang telah begitu menyatu dengan media sosial sehingga saluran
baru ini menjadi sesuatu yang sangat penting bagi pemasar. Tapi media sosial
bila sendirian tidak cukup untuk membangun merek Anda. Ada beberapa hal yang
bisa menjelaskan gagasan ini. Pertama, berkomunikasi
melalui jaringan sosial tidak scalable. Seperti diketahui, bahwa media sosial
tidak dapat menjangkau massa kritis dengan cara yang sama dengan yang bisa
dilakukan oleh media penyiaran berbayar. Baru-baru ini Facebook mengingatkan
pengiklan bahwa hanya 16% dari fans-nya yang melihat konten organik yang
diposting oleh merek.
Konten
organik mengacu pada halaman website yang ditulis (dan menemukan) terutama oleh
pengguna dengan mengetik kata kunci ke dalam mesin pencari, seperti Google,
Yahoo! dan Bing. Ini berbeda dari surat kabar online atau e-magazines yang
mengandalkan pada pembaca setia atau pelanggan untuk tampilan halaman mereka.
JetBlue, pendukung terkemuka media sosial, memahami hal ini. Ketika meluncurkan
produk barunya seperti layanan baru ke Dallas, JetBlue measih memanfaatkan
siaran TV untuk mendapatkan awareness yang luas.
Kedua, pesan
melalui media sosial terlalu terfragmentasi. Banyaknya suara yang muncul
melalui media sosial memfragmentasikan pesan merek. Itu sebabnya, paid and
owned media masih penting untuk menentukan pesan merek. Sebauh merek mungkin
perlu mengundang konsumen, tetapi jika terlalu kolaboratif, merek tadi tidak
akan memiliki landasan merek yang kuat. Sebagai contoh, Coca-Cola menggunakan
paid and owned media untuk melakukan kampanye merek "open happiness”
sebelum memperluas kampanyenya melalui media sosial.
Ketiga, sebuah
strategi sosial berhasil baik bila dipandu dengan strategi merek. Merek harus
memimpin konsumen dengan visi yang jelas tentang siapa dan apa yang mereka
perjuangkan. Semua landasan keterlibatan sosial dimasukkan dalam visi merek
tersebut. Misalnya, misi hotel premium Four Seasons untuk menawarkan
"hanya pengalaman bekualitas luar biasa" digemakan melalui strategi
sosial, seperti wine tastings-nya melalui Twitter. Disini, konsumen dapat
menikmati wine tastings virtual di rumah, mereka berbagi deskripsi dan evaluasi
melalui Twitter, atau mereka dapat mencicipi anggurnya di Four Seasons Hotel.
Di
Indonesia, menurut Irawati Pratignyo, Managing Director - Media Nielsen
Indonesia, dari sisi tren konsumsi terhadap media, tahun ini konsumen/pemirsa
TV tetap tinggi sementara konsumen/pembaca pada media cetak (koran dan majalah
versi cetak) dan radio tidak setinggi TV. “Kami melihat ada pengaruh
pertumbuhan kepemilikan cell-phone/mobile phone dan peningkatan jumlah pengguna
internet, serta adanya perubahan konsumsi terhadap media cetak dan radio yang
kini dapat diakses melalui internet,” kata Ira.
Situasi
ini membuat pemasar tak lagi hanya memikirkan apakah melakukan branding melalui
Twitter atau Facebook. Mereka harus berpikir tentang bagaimana mengintegrasikan
semua saluran komunikasi pemasaran, termasuk media konvensional. Inilah yang
disebut sebagai era post-social media, era dimana pemasar tidak hanya
memikirkan tentang media sosial tapi juga media konvensional.
Ini
bukan berarti bahwa media sosial tidak dibutuhkan lagi dalam pemasaran terutama
dalam konteks interaksi. Media sosial masih tetap dan sangat diperlukan. Akan
tetapi, seperti ditulis Dietrich dan Livingston, media sosial tidak bisa bekerja
sendiri, terutama jika digunakan untuk menerobos pasar atau menyampaikan pesan.
Sebab seperti diketahui, tujuan dari penggunaan media sosial adalah membangun engagement. Tujuan ini secara efisien
tercapai bila mengintegrasikan media sosial dengan media konvensional. Beberapa
fenomena membuktikan itu, mulai dari kasus Prita, Cicak Vs Buaya dan
sebagainya.
Engagement
berarti pelanggan atau stakeholder menjadi peserta, bukan sekadar pemirsa. Ini
yang membedakan antara menonton dan berpartisipasi dalam pemutaran film
misalnya. Engagement, dalam koteks bisnis sosial, berarti pelanggan Anda
bersedia meluangkan waktu dan energi mereka untuk berbicara dengan Anda tentang
Anda dalam sutau percakapan dan melalui proses yang mempengaruhi bisnis Anda.
Proses keterlibatan ini merupakan dasar kesuksesan bisnis sosial. Keterlibatan
dalam konteks sosial menyiratkan bahwa pelanggan telah mengambil kepentingan
pribadi dalam apa yang Anda bawa ke pasar.
Dalam
konteks ini, keistimewaan media sosial bagi perusahaan adalah, pertama,
kemampuannya dalam mengidentifikasi
pengguna kunci yang loyal terhadap perusahaan dan berpengaruh terhadap hubungan
mereka. Kedua, media sosial mampu menyebarkan pesan secepat virus. Berdasarkan penelitian,
strategi pemasaran yang paling baik adalah membiarkan pelanggan sendiri untuk
menjadi pemasar. Studi ini mengemukakan bahwa individu-individu dengan
kepentingan bersama berkomunikasi satu sama lain, sehingga mereka memiliki
sikap, keyakinan atau kepentingan yang sama.
Ketika
Nikon merilis kamera DSLR seri D4-nya ke pasar fotografi professional, selain
menggunakan kampanye top-down PR yang konvensional, Nikon melanjutkan tradisi
mereka memberikan DSLRs baru kepada blogger berpengaruh untuk mereview kamera
tersebut disertai dengan foto hasil jepretannya dengan kamera itu. Tujuannya,
membuat para blogger membicarakannya ketika kamera itu dirilis. Peluncuran itu
pun direspon dengan percakapan online yang luas.
Contoh
diatas menginformasikan bahwa target pemasaran melalui jaringan media sosial
bisa menjadi jauh lebih efisien dan hemat biaya ketika pemasar dapat
mengidentifikasi pengguna kuncinya. Dalam konteks ini, kesadaran maksimum
terhadap produk atau jasa dapat ditransfer dengan biaya minimal, jika pengguna
utama telah diidentifikasi dengan benar. Mereka bisa menyebarkan informasi
kepada pengguna lain. Ini akan menjadi cara difusi informasi yang tepat, yang
mempengaruhi tujuan niat pengguna kunci 'berdasarkan kepercayaan dari orang
lain.
Ketika
seorang pengguna kunci puas, kepercayaan mereka kepada perusahaan tumbuh dan
mendorong mereka untuk menggunakan layanan terus dan bertindak seperti seorang
pemasar bagi perusahaan. Dia akan menyebarkan pengalaman-pengalaman positifnya
kepada orang-orang dekat mereka. Karena itu, media sosial adalah tempat yang
sangat eksklusif untuk berbagi pengalaman positif mereka dengan teman-teman
dekat mereka. Disini kepercayaan memainkan peran dalam memfasilitasi dan mempertahankan
hubungan jangka panjang.
Disinilah
pemahaman tentang pengalaman para pengguna atau stakeholder media sosial makin
penting. Pemasaran yang terlalu fokus pada Facebook merupakan contoh klasik
dari pemasaran media sosial masih dipertanyakan. Kenapa? Saat ini, orang tidak
melihat Facebook di rumah. Mereka membaca, menonton TV, online untuk membaca
dan berpartisipasi dalam media sosial lainnya, mengomentari pernyataan orang
atau situasi sosial, mendengarkan musik, dan seterusnya melalui ponsel/mobile
tablet mereka. Pada malam hari, pengalaman media mereka jauh melampaui
penawaran apapun Facebook. Mereka mengkses lebih banyak tawaran atau feature
media.
Tapi di
sisi lain, ketika smartphone dan komputer tablet menjadi bagian dari kehidupan
konsumen, kesempatan bagi peritel untuk membagikan katalognya makin besar dan
cepat. , kesempatan untuk catalogers ritel dan pedagang langsung memperluas
dengan cepat. Bagi pengecer multichannel, percakapan tidak hanya tentang chanel
belanja yang digunakan oleh pembelanhja yang jumlahnya makin tumbuh ini. Mereka
akan menggunakan semua saluran – termasuk saluran tradisional -- tersebut untuk
mendekatkan produknya ke pelanggannya. Itu sebabnya media sosial harus
diintegrasikan ke dalam bauran pemasaran yang lebih besar.
Pemasaran
modern bukanlah suatu fenomena sosial, juga bukan sikap yang telah mengakar
sejak abad ke dua puluh. Ini adalah era yang lahir karena resesi dan masa
pemulihan yang menuntut pelaku pemasaran menjadi lebih bertanggung jawab dalam
setiap anggaran yang dikeluarkan.
Ketika
pendekatan primer dipilih itu biasanya karena sumber daya sudah ada di depan
mata. Tetapi perusahaan sering kali memiliki beberapa sumber daya. Jika
kampanye public relations memadukan acara peluncuran dan PR untuk memasarkan produk
baru, mengapa tidak menggunakan sumber daya media sosial? MAJALAH SWA 27/XXVII/20 Desember 2012 - 9 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar