Sebagai bagian dari media massa, iklan merupakan
cerminan realitas yang ada dalam masyarakat. Realitas yang tercermin dalam
iklan bisa jadi adalah realitas masyarakat yang seksis ataupun realitas
masyarakat yang sedang mengupayakan kesetaraan gender. Dengan fungsi
pencerminannya ini iklanpun akan sekaligus mensosialisasikan kembali apa yang
dicerminkannya itu, baik ketidakadilan (seksisme) maupun keadilan gender
(kesetaraan gender), ke dalam pola pikir khalayaknya. Hal ini akan berimplikasi
pada pengukuhan kembali nilai gender stereotip, bila iklan yang bersangkutan
memuat ideology gender yang seksis, atau upaya dekonstruksi nilai gender
stereotip, bila iklan yang bersangkutan bermuatan ideologi gender yang setara.
Dalam penelitian yang berjudul Relating Hofstede’s masculinity dimension to gender role portrayals in
advertising: A cross-cultural comparison of web advertisements dan dimuat di International Marketing Review Vol.
24 No. 2, 2007 halaman 181-207, Daechun An dan Sanghoon Kim menguji perbedaan lintas-budaya dalam penggambaran peran gender.
Dalam penelituannya itu, Daechun An dan Sanghoon Kim memilih iklan web di Korea
dan Amerika Serikat atas dasar maskulinitas dimensi Hofstede.
Peran gender didefisinikan sebagai seperangkat norma
perilaku budaya terkait dengan laki-laki dan perempuan dalam kelompok sosial
atau system tertentu. Sementara itu, gender sendiri merupakan salah satu
komponen dari sistem jender/jenis kelamin, yang mengacu pada seperangkat
pengaturan dimana masyarakat mengubah seksualitas biologis menjadi produk
aktivitas manusia, dan di mana kebutuhan transformasi ini dipenuhi.
Daechun An dan Sanghoon Kim mengakui bahwa perbincangan
mengenai seksisme dalam iklan sebenarnyalah telah banyak dilakukan. Peneliti
pemasaran juga menunjukkan minatnya dalam masalah ini karena gender merupakan
salah satu variabel segmentasi utama dalam kegiatan pemasaran. Buku Betty
Friedan, yaitu The Feminine Mystique (Craig, 1998) misalnya memaparkan
bagaimana industri telah memperalat perempuan melalui iklan-iklannya, yaitu
dengan terus-terusan menggambarkan perempuan sebagai ibu rumah tangga yang
pekerjaannya melulu hanya berbelanja. Penelitian-penetian juga secara konsisten
menunjukkan bahwa di dalam iklan, perempuan terwakili secara tidak
menguntungkan dan perannya didefinisikan terbatas hanya sebagai memainkan peran
bawahan, tidak penting, dan pendukung. Di sisi lain, laki-laki yang ditampilkan
dalam cara yang jelas berbeda bermain penting, peran profesional, dan otonom.
Pentingnya penggambaran peran gender dalam
iklan-iklan internasional menarik perhatian banyak peneliti untuk mengkaji peran sosial yang
melekat pada perempuan dan laki-laki pada iklan dalam konteks lintas-budaya.
Meskipun terbatas pada majalah dan iklan televisi, lebih dari selusin
penelitian analisis isi lintas-budaya menunjukkan konsensus yang cukup bahwa
penggambaran peran perempuan dan peran laki-laki dalam iklan berbeda menurut
budaya.
Para peneliti juga mengakui bahwa iklan merupakan
lembaga sosial yang penting yang mencermin dan mengirimkan dominasi nilai-nilai
budaya dalam masyarakat. Secara khusus, temuan mereka menunjukkan bahwa dalam
masyarakat di mana nilai-nilai feminin mendominasi pengaruh pada budaya, ada
kecenderungan kurangnya perbedaan antara jenis peran perempuan dan laki-laki
yang digambarkan dalam iklan. Sedangkan dalam masyarakat di mana nilai-nilai
maskulin dominan, ada kecenderungan adanya perbedaan besar dalam peran sosial
yang melekat pada perempuan dan laki-laki dalam iklan.
Hal lain yang disampaikan Daechun An dan Sanghoon
Kim adalah bahwa perkembangan lingkungan sosial belakangan ini banyak
dipengaruhi oleh perkembangan media. Dalam hal ini Daechun An dan Sanghoon Kim
melihat peran internet sebagai media yang bis menembus batasan ruang dan waktu.
Disini norma-norma sosial yang
disampaikan lewat penggambaran peran perempuan dan laki-laki dengan cepat
dikomunikasikan melalui pesan komersial diantara orang-orang dari beragam
budaya. Karena itu, memperbandingkan secara lintas negara tentang penggambaran
peran perempyuan dan laki-laki menjadi lebih penting. Ini karena dengan mengetahui
penggambaran peran secara lintas budaya tersebut, mereka bisa mendapatkan
keuntungan pengiklan internasional dengan segala implikasi praktis dan
teoritisnya.
Untuk memperoleh gambaran lengkap tentang
penggambaran peran perempuan dan laki-laki tersebut, Daechun An dan Sanghoon Kim menggunakan
analisis isi dengan pendekatan kuantitatif. Analisis isi telah digunakan
sebagai metode penelitian utama selama beberapa dekade tentang peran gender
digambarkan dalam iklan. Dalam studi analisis isi pertama mengenai hal ini,
Courtney dan Lockeretz (1971) melaporkan bahwa peran perempuan dalam
iklan-iklan di majalah AS majalah digambarkan hanya sebagai hanya memiliki
tempat di rumah mereka, tidak mampu membuat keputusan penting, dan sepenuhnya
bergantung pada laki-laki.
Dalam kaitan ini, tujuan khusus penelitian Daechun
An dan Sanghoon Kim adalah untuk mendapatkan ringkasan numerik berbasis tema
yang berbeda dan peran digambarkan oleh perempuan dan laki-laki dalam 400 iklan
yang ada pada situs web. Menurut Daechun An dan Sanghoon Kim, selama ini belum
ada studi sistematis yag pernah menyentuh isu peran gender dengan iklan web. Karena itu, studi ini dimaksudkan
sebagai kontribusi baru untuk dunia internasional dengan membandingkan
penggambaran peran gender dalam iklan web dari Korea dan Amerika Serikat.
Dimensi
Maskulinitas Hofstede
Untuk melihat pengambaran peran gender lintas budaya
tersebut, Daechun An dan Sanghoon Kim menbgunakan kerangka dimensi maskulinitas
oleh Hofstede. Menurut Daechun An dan Sanghoon Kim, pada akhir 1980-an,
perhatian para peneliti diperpanjang ke studi banding tentang penggambaran
peran gender di berbagai negara. Sebuah pemahaman budaya umum mengenai peran
sosial yang melekat pada perempuan dan laki-laki adalah bahwa perempuan pada dasarnya
lebih rendah dari pria. Namun, karena beberapa praktik budaya nilai egaliter
menekankan kesetaraan gender, sikap terhadap peran yang tepat bagi perempuan
berbeda menurut lintas budaya.
Di antara kerangka beberapa dimensi yang
komprehensif yang mencoba untuk menemukan dan memverifikasi secara empiris
variasi budaya lintas budaya, Hofstede penawaran Model 5D dengan norma-norma
yang mengatur peran sosial yang melekat pada perempuan dan laki-laki.
Penelitian Hofstede (1980) tentang representasi perbedaan
budaya signifikan dan inovatif, terutama dalam konteks perbandingan lintas
budaya dalam bidang manajemen, sosial psikologi, antropologi, sosiologi,
pemasaran dan komunikasi (Albers, 1994; Kale, 1991). Modelnya lima dimensi
nilai ini dikembangkan berdasarkan data yang luas yang dikumpulkan dari survei
terhadap karyawan IBM di seluruh dunia untuk menemukan penjelasan terhadap
fakta bahwa beberapa konsep motivasi kerja tidak bekerja di semua negara dengan
cara yang sama.
Sebagai karya psikolog pada nilai-nilai budaya, studi
Hofstede menghasilkan struktur yang terdiri dari empat dimensi utama di dalam
masyarakat: pertama, jarak kekuasaan - hierarki atau egalitarianisme keinginan
masyarakat; kedua, individualisme - preferensi sosial untuk kelompok atau
orientasi individu; ketiga, maskulinitas - diferensiasi peran gender; dan
keempat, menghindari ketidakpastian - resistensi masyarakat terhadap
ketidakpastian. Kemudian, dimensi tersebut disempurnakan dengan menambahkan
nilai China yang berkembang di 23 negara oleh Hofstede dan Bond (1984) yang
mengidentifikasi dimensi, kelima orientasi jangka panjang. Model ini telah
divalidasi di ratusan penelitian lintas-budaya
dari berbagai disiplin ilmu termasuk sosiologi, riset pasar, dan
obat-obatan, dan bila dibandingkan dengan model lain, model Hofstede mungkin
adalah salah satu yang telah paling sering diuji dan divalidasi (Dorfman dan
Howell, 1988; Bhagat dan McQuaid, 1982).
Seperti halnya teori, ia tidak lengkap dan memiliki
lubang dan inkonsistensi. Sebuah teori juga banyak mendapat kritik. Pertama,
generalisasi tentang budaya tingkat nasional dari analisis populasi subnasional
yang ukurannya kecil tidak bisa digunakan untuk membuktikan bahwa di dalam
setiap negara ada budaya nasional yang seragam dan pada pernyataan belaka bahwa
data mikro-lokal dari sebagian karyawan IBM merupakan wakil dari keseragaman
secara nasional. (Warneryd, 1988).
Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa penelitian
budaya Hofstede bias karena tim hanya terdiri Eropa dan Amerika, sedangkan
sebuah studi seyogyanya memasukkan banyak negara dari bagian lain dunia
(Roberts dan Boyacigiller, 1984). Selain itu, penelitian budaya Hofstede
dinilai usang karena globalisasi dunia membuat orang muda khususnya, mengumpul
di sekitar seperangkat nilai (Gooderham dan Nordhaug, 2002). Kritik lain
menyangkut keterwakilan sampel (yaitu sampel berasal dari hanya satu
perusahaan) dan metode pengumpulan data (yaitu kuesioner sikap-survei digunakan
sebagai satu-satunya metode) (Gooderham dan Nordhaug, 2002).
Meskipun banyak kritikan, namun teori perbedaan
budaya Hofstede dinilai paling empiris-based dan lengkap. Itu sebabnya, teori
ini diberi bobot begitu banyak dalam penelitian di bidang pemasaran dan iklan.
Menurut Kale (1991), sebagian besar klasifikasi pendekatan untuk perbandingan
lintas-budaya yang baik tidak didukung secara empiris atau gagal dalam
membedakan derajat perbedaan antar budaya. Teori-teori itu juga kurang lengkap,
kerangka, universal bila digunakan untuk memvisualisasikan budaya nasional. Karena
itu, dalam pandangan Daechun An dan Sanghoon Kim, sebagai kerangka berpikir
teori Hofstede memiliki potensi maksimal untuk aplikasi di bidang iklan
lintas-budaya.
Hasil Penelitian
Penelitian yang dilakukan Daechun An dan Sanghoon
Kim mendapati sebuah persentase yang lebih besar dari iklan Korea yang menampilkan
karakter bertema hubungan yang menampilkan perempuan sebagai karakter utama,
dan menggambarkan mereka dalam peran keluarga dan rekreasi. Penelitian ini juga
mendapati bahwa sebagian besar penggunaan taksonomi Hofstede dalajh valid dan mendukung
penerapan kerangka kerja "maskulinitas" dalam penentuan iklan yang
tepat terkait dengan perbadingan peran gender.
Implikasi praktis - pengiklan Internasional yang
sedang merencanakan kampanye global untuk gender terkait mereka produk konsumen
bisa mendapatkan keuntungan dengan menempatkan posisi negara target indeks
maskulinitas Hofstede dan menggunakannya sebagai pedoman untuk membuat gambar
visual dari karakter utama dalam iklan. Studi ini memberikan kontribusi baru di
bidang periklanan internasional terkait web dalam mempertahankan pemahaman yang
komprehensif tentang penggambaran peran gender kontemporer. Ini bisa
menguntungkan pengiklan internasional dengan implikasi praktis dan teoritis,
karena tidak ada studi sistematis pernah menyentuh isu gender peran dengan
iklan web.
Secara keseluruhan, studi ini mengesahkan penggunaan
maskulinitas Hofstede untuk menjelaskan perbedaan dalam penggambaran perempuan
dan laki-laki pada iklan web, khususnya
yang berkaitan dengan penggambaran karakter dalam tema hubungan, jenis kelamin
karakter utama, dan jenis peran tidak bekerja yang digambarkan oleh wanita.
Meskipun hubungan antara jenis kelamin dari sebuah bangsa dan penggambaran
peran kerja masih dipertanyakan, hasil penelitian ini mengkonfirmasi kerangka
kerja Hofstede dalam penelitian gender di bidang pemasaran dan periklanan
terkait iklan perbandingan yang cocok dalam budaya tertentu. Dengan kata lain,
menurut Daechun An dan Sanghoon Kim, para perencana strategi periklanan dapat
memanfaatkan kerangka kerja Hofstede sebagai panduan kasar untuk memberikan
arahan dalam memilih negara tertentu dalam konteks iklan perbandingan.
Strategi iklan, khususnya untuk produk konsumen,
dapat menerapkan temuan studi ini pada tingkat praktis. Misalnya, pengiklan
yang sedang merencanakan kampanye iklan internasional terkait gender terkait
untuk produk konsumen, mereka bisa mendapatkan keuntungan dengan menempatkan
posisi negara target berdasarkan indeks maskulinitas Hofstede dan menggunakannya
sebagai pedoman dalam pembuatan visual karakter utama dalam iklan. Dalam hal
ini, penelitian ini mendukung rekomendasi sebelumnya untuk iklan internasional
bahwa kerangka kerja Hofstede dapat digunakan sebagai panduan yang berguna
dalam memilih iklan perbandingan yang melintasi budaya.
Namun, eksplorasi lebih lanjut diperlukan karena
demografi dan sikap antara perempuan telah berubah secara dramatis selama
dekade terakhir (Whipple dan Courtney, 1985) dan perempuan telah muncul sebagai
kelas konsumen yang kuat, bahkan di
banyak negara-negara yang budaya maskulinnya dominan (Frith, 1997; Mueller,
1987). Sebab seperti diketahui, sejak 1970-an telah terjadi penurunan dukungan
dari peran wanita tradisional dalam masyarakat Amerika, dan dalam tiga decade terakhir
tingkat partisipasi kerja wanita Amerika semakin tinggi.
Pada bagian lain, Daechun An dan Sanghoon Kim mengakui bahwa peran yang dijalankan
perempuan telah berubah dan perubahan itu menyebar ke iklan media di
negara-negara Asia seperti Jepang, Malaysia, dan Taiwan (Buck et al, 1984;.
Ford et al, 1994;. Katsurada dan Sugihara, 1999; Noor, 1999; Bresnahan et al,
2001). Perempuan Korea juga telah
mengalami perubahan dramatis, terutama dalam faktor lingkungan sekitar peran
perempuan dalam masyarakat sejak pemerintah Korea meloloskan “Equal Employment
Act" pada 1987 untuk mencegah praktik-praktik diskriminatif terhadap
pekerja perempuan dalam hal peluang perekrutan dan promosi.
Saat ini, jumlah perempuan Korea yang memasuki
pekerjaan profesional di bidang pendidikan, kedokteran, teknik, beasiswa, seni,
hukum, sastra, dan olahraga juga meningkat. Selama pemerintahan Kim Dae-jung,
kemajuan nyata dalam peraturan perundang-undangan tentang hak-hak perempuan
untuk meletakkan dasar kesetaraan gender telah dibuat. Sementara wanita Korea
secara aktif terlibat dalam berbagai bidang dan membuat kontribusi yang
signifikan kepada masyarakat, di sisi lain tampak bahwa sikap mereka terhadap
orientasi peran tradisional feminin telah berubah beriringan dengan laki-laki.
Implikasinya, dimungkinkan bahwa pengiklan dan aturan tentang tampilan tubuh
dalam iklan diharapkan untuk dapat mengembangkan strategi baru guna menangani
kelompok-kelompok konsumen yang berbeda dengan cara yang berbeda dengan
memperhatikan stereotip gambar seksual.
Masalah lainnya adalah peran media-khusus. Seperti
telah dibahas sebelumnya, web paling dicirikan sebagai informatif, teknologi,
dan global. Variasi lintas-budaya perbandingan iklan antara Korea dan Amerika
Serikat, yang telah ditemukan dalam studi dibidang majalah dan televisi,
mungkin dikuatkan atau dilemahkan oleh strategi umum yang dikejar oleh
pengiklan global. Tujuannya , meminimalkan variasi dalam pesan iklan. Pengiklan
internasional juga mungkin telah memperhatikan kesamaan dalam karakteristik
pengguna web dari kedua negara, seperti tingkat pendidikan, dan status ekonomi
populasi. (Nua, 2002; eMarketers, 2003). Karena itu, iklan mungkin telah dibuat
dengan mentarget kelompok-kelompok penduduk yang selektif. Hal ini yang mungkin
mengakibatkan kegagalan untuk mencerminkan prioritas sistem nilai rata-rata
dari kedua negara, yang terkait dengan maskulinitas dalam iklan web.
Keterbatasan ini harus dipertimbangkan ketika menginterpretasikan hasil.
Penelitian ini memiliki keterbatasan yang bisa
dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut. Pertama, penelitian masa depan
mungkin perlu membuat perbandingan lintas-media untuk melihat apakah perbedaan
tersebut digeneralisasikan di seluruh jenis media yang berbeda. Kedua, negara
tambahan harus dianalisis untuk menentukan klasemen masing-masing dalam
hubungannya dengan negara yang dievaluasi, untuk menguji apakah pengelompokan
negara dapat diidentifikasi dalam pengaturan yang luas, dan untuk lebih
menganalisis konsep tentang jenis kelamin bangsa (Milner dan Collins, 2000).
Ketiga, sebagaimana dengan studi analisis isi
lainnya, hasil penelitian ini tetap deskriptif dan tidak mampu menjawab
pertanyaan tentang respon konsumen terhadap penggambaran peran gender yang
berbeda.
Manipulasi eksperimental dari iklan yang berbeda
menarik untuk posisi gender yang berbeda akan berguna untuk menguji efektivitas
dalam beberapa negara yang berbeda. Akhirnya, dalam rangka untuk menguji
pengaruh dari format yang berbeda dari iklan web seperti situs web, spanduk,
email, iklan mengambang, interstisi, dan pop-up tentang isu-isu peran gender,
maka perlu untuk membuat perbandingan lintas-format untuk menarik kesimpulan
yang lebih digeneralisasikan (Burns dan Lutz, 2006).
Seiring dengan gerakan perempuan, dewasa ini gencar didengung-dengungkan
adanya kesetaraan gender. Beberapa iklanpun mencoba untuk merespon realita ini
dengan cara menggambarkan representasi gender yang setara, seperti yang
diketengahkan oleh iklan-iklan Beneton, The Body Shop, Teh Sari wangi, maupun
Harian Kompas (Kusumastutie, 2003). Demikianlah, iklan ikut berubah seiring
dengan perubahan dalam masyarakat.
Pada dasarnya perjuangan gender ingin melakukan
dekonstruksi terhadap ideologi gender (Fakih, 1996), sehingga dapat
dikembangkan kesadaran akan kesetaraan gender dalam masyarakat. Individu yang
berkesadaran akan kesetaraan gender berkeyakinan bahwa perempuan dan laki-laki
adalah mitra sejajar yang tidak terkotak-kotak ke dalam peran gender
feminin-maskulin (Suratiyah dalam Lailatushifah, 1998). Dengan demikian
seharusnyalah perempuan dan laki-laki dinilai sama, diperlakukan secara
objektif dan setara, serta memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam berbagai
bidang kehidupan.
Dengan keyakinannya ini, maka individu tersebut akan
memerangi ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan, termasuk juga yang
dilakukan oleh iklan televisi. Kesadaran akan kesetaraan gender sebagai sebuah
belief akan menjadi landasan bagi kerangka pikir individu (Fishbein &
Ajzen, 1975), yang akan dipakainya sebagai kacamata saat melihat sebuah iklan
televisi. Dengan kacamatanya ini individu akan bisa melihat ideologi gender
(baik seksis maupun setara) dalam iklan tersebut. Individu ini akan berupaya
untuk menilik lebih jauh sebuah iklan yang dilihatnya guna mendapatkan ideology
gender yang termuat di dalamnya.
Dengan demikian individu tersebut akan menolak nilai
yang tidak sesuai dengan keyakinannya, yang akan berimplikasi pada terpotongnya
proses sosialisasi ketidakadilan gender yang dilakukan oleh televisi melalui
iklan-iklannya yang seksis. Sebaliknya bila yang termuat dalam sebuah iklan
adalah ideologi gender yang setara, nilai ini akan terinternalisasi ke dalam
pola pikir individu, sehingga semakin menguatkan keyakinan akan kesetaraan
gender yang dimilikinya. Dengan upaya ini diharapkan bahaya laten yang
disebarkan oleh iklan seksis dapat ditanggulangi.
Untuk inilah penelitian Daechun An dan Sanghoon Kim
disempurnakan dengan semiotika. Semiotika merupakan studi tentang tanda yang
berusaha untuk mencari makna ideologis dari suatu teks (Berger, 1982). Dengan
semiotika individu berkesadaran akan kesetaraan gender akan memaknai iklan yang
mengandung representasi gender melalui perspektif kesetaraan gender yang
dimilikinya, sehingga individupun akan mendapatkan pemahaman akan iklan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Albers, N.D. 1994. Relating Hofstede’s Dimensions of
Culture to International Variations in Print Advertisements:
A Comparison of Appeals. Unpublished doctoral dissertation, University of Houston, Houston, TX
Bhagat, R.S., and S. J. McQuaid. 1982. Role of
Subjective Culture in Organizations: A Review and Directions for Future Research. Journal of Applied
Psychology, Vol. 67 No. 5, pp. 653-85.
Berger, A. A. 1982. Media Analysis Techniques.
Beverly Hills: Sage Publication
Bresnahan, M., Inoue, Y., Liu, W.Y. and Nishida, T.
2001. Changing Gender Roles in Prime-time Commercials
in Malaysia, Japan, Taiwan, and the United States. Sex Roles, Vol. 45 Nos 1/2,
pp. 117-31.
Burns, K.S. and Lutz, R.J. 2006. The Function of
Format: Consumer Responses to Six Online Advertising Formats. Journal of Advertising, Vol. 35 No. 1, pp. 53-61.
Buck, E.B., Newton, B.J. and Y. Muramatsu. 1984.
Independence and Obedience in the United States and Japan. International Journal of Intercultural Relations,
Vol. 8, pp. 279-300.
Dorfman, P.W. and Howell, J.P. (1988), “Dimensions
of national culture and effective leadership patterns:
Hofstede revisited”, in Farmer, R.N. and McGoon, E.G. (Eds), Advances in International Comparative Management,
JAI press, Greenwich, CT, pp. 127-50.
eMarketers.
2003. North America online: demographics and usage”, available at: www.emarketer.com/products/report.php?2000143
Fakih, M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi
Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fishbein, M. & I. Ajzen. 1975. Belief, Attitude,
Intention and Behavior: An Introduction to Theory and Research. Urbana-Illinois: Addison-Wesley Publishing Company
Ford, J.B., LaTour, M.S., Honeycutt, E.D. and M.
Joseph. 1994. Female Sex Role Portrayals in International
Advertising: Should Advertisers Standardize in the Pacific Rim? American Business Review, Vol. 12 No. 2, pp.
1-10.
Frith, K.T. 1997. Undressing the Ad: Reading Culture
in Advertising in Undressing the Ad: Reading Culture in Advertising, Frith,
K.T. (Ed.). New York, NY: Peter Lang.
Gooderham, P.N. and O. Nordhaug. 2002. The Decline
of Cultural Differences in Europe. EBF, Vol. 8, p.
48-53.
Hofstede, G.H. 1980. Culture’s Consequences:
International Differences in Work-related Values. Beverly Hills, CA:
Sage.
Hofstede, G.H. and M. H. Bond. 1984. Hofstede’s
Cultural Dimensions: An Independent Validation Using
Rokeach’s Value Survey. Journal of Cross-cultural Psychology, Vol. 15, pp.
417-33.
Kale, S.H. 1991. Culture-Specific Marketing Communications:
An Analytical Approach. International Marketing
Review, Vol. 8 No. 1, pp. 18-30.
Katsurada, E., and Y. Sugihara. 1999. A Preliminary
Validation of the Bem Sex Role Inventory in Japanese
Culture. Journal of Cross-Cultural Psychology, Vol. 30, pp. 641-5.
Kusumastutie, N. S. 2003. Pemahaman Iklan Ditinjau
dari Kesadaran akan Kesetaraan Gender. Skripsi (tidak
diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Lailatushifah, S. N. F. 1998. Kesadaran akan
Kesetaraan Gender dan Kepuasan Perkawinan pada Suami Istri dalam Rumah Tangga Pekerja Ganda. Skripsi (tidak
diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada.
Milner, L.M., and J. M. Collins. 2000. Sex-role
portrayals and the gender of nations. Journal of Advertising, Vol. 24 No. 1, pp. 67-79.
Mueller, B. 1987. Reflections of Culture: An Analysis
of American and Japanese Advertising Appeals”, Journal
of Advertising, Vol. 27 No. 3, pp. 51-9.
Noor, M.N. 1999. Roles and Women’s Well-being: Some Preliminary
Findings from Malaysia. Sex Roles,
Vol. 41, pp. 123-45.
NUA. 2002. How many online? Available at:
www.nua.com/surveys/how_many_online/index.html
Warneryd, K.E. 1988. Social Influence on Economic Behavior
in Van Raaij, W.F. and Warneryd, K.E. (Eds). Handbook of Economic Psychology,
Kluwer Academic Publishers, Dordrecht.
Whipple, T.W., and A. E. Courtney. 1985. Female Role
Portrayals in Advertising and Communication Effectiveness:
A Review. Journal of Advertising, Vol.
14 No. 3, pp. 4-17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar