Kredibilitas
sangat menentukan keefektifan MPR sekaligus menunjukkan nilai lebih dari MPR.
Karena itulah seyogyanya MPR merupakan fungsi dari public relations.
Baca juga tentang Siapa Bertanggung Jawab di
MAJALAH MIX-Marcomm, 01/X/Januari
2013
Hari
ini, perusahaan tak bisa lagi menghindari media sosial sebagai bagian integral
dari bisnisnya. Dengan sangat cepat, media sosial berkonvergensi dengan
media-media lainnya mulai dari yang berbasis internet hingga media cetak,
sehingga sebagai platform, media sosial kini sangat diperlukan untuk
menyampaikan pesan-pesan pemasaran kepada khalayak sasaran.
Bahkan
tim dan pemain olahraga di seluruh dunia pun saat ini menggunakan media sosial
untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan fans dan rekan mereka serta pers. Bagi
pemasar, media sosial menawarkan kekuatan untuk mencapai hasil yang besar dengan
biaya yang sangat minim, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Namun demikian,
media sosial juga menciptakan risiko tak terhitung karena banyak bisnis yang
belum siap untuk mengambil. Salah satu risiko tersebut berkaitan dengan masalah
bagaimana membangun keterlibatan (engagement) dengan konsumen melalui media
sosial sehingga bisa mempengaruhi perilaku konsumen berikutnya '.
Anda,
pesaing Anda mungkin sudah mempunyai akun twitter, facebook atau jejaring
sosial media sosial lainnya. Tapi apa yang sudah Anda lakukan? Seberapa banyak
Anda posting pesan setiap hari? Seberapa sering Anda merespon
pertanyaan-pertanyaan yang muncul di akun media sosial Anda. Apakah Anda selalu
menjawab atau berusaha menyelesaikan keluhan pelanggan Anda? Seberapa banyak
pesan Anda yang diteruskan oleh “pengikut” akun media sosial Anda ?
Pesatnya
pertumbuhan Web telah menyebabkan munculnya disiplin komunikasi pemasaran baru
yang disebut "NetRelations" atau irisan dari disiplin pemasaran
langsung tradisional, public relations dan Internet. Dengan kata lain,
net-relations adalah satu perangkat keterampilan baru dalam komunikasi produk
dan jasa yang memanfaatkan jangkauan global, komunikasi seketika dan
fungsionalitas Web untuk mencapai sasaran pemsaran. Konsekuensinya, perusahaan
kini dituntut untuk memahami wilayah komunikasi
baru sehingga dapat mengeksploitasi kekuatan yang luar biasa otot dunia online
ini sebagai media pemasaran.
Harus
diakui, net-relations telah mengaburkan batas antara disiplin pemasaran dan public
relations dengan menawarkan kepada
perusahaan suatu ruang layanan baru yang interaktif guna menjangkau konsumen
yang ditargetkan. Melalui Web baru ini pemasar bisa mengadakan acara promosi
on-line, live chat, sosisalisasi produk, beriklan, membuat media, dan sejumlah
pemasaran dan public relations lainnya untuk membantu mengembangkan bisnis mereka.
Tren ini
mengaburkan batasan yang sudah kabur sejak kemunculan praktek-praktek marketing
public relations - sebuah istilah yang muncul sebagai irisan diantara dua kata
pemasaran dan PR pada 1980-an. Trend ini memunculkan perdebatan soal
marketing-public relations. Ini bisa dirujuk dari surat Norman Hart (1991) dari
Chartered Institute of Marketing (Inggris) yang menyatakan bahwa “Ini saatnya
untuk menempatkan public relations dalam perspektif yang benar dalam kaitannya
dengan pemasaran. Kini harus disadari bahwa PR tidak bisa lagi diperlakukan
sebagai bagian dari fungsi pemasaran. Dalam hal tertentu, pemasaran dapat pula
menjadi bagian dari PR.”
Kotler
(1991a) menggambarkan MPR sebagai anak dari – ibarat dua orang tua -- pemasaran
dan PR. Menurut Harris (1993), MPR muncul sebagai suatu disiplin promosi baru
yang khas pada 1980an yang menawarkan teknik aplikasi khusus yang mendukung
kegiatan pemasaran. Secara konsep dan praktek, menurt Harris, MPR terpisah dari
PR perusahaan, dan bahkan lebih mendekati peasaran ketimbang PR.
MPR
adalah proses perencanaan, melaksanakan dan mengevaluasi program-program yang
mendorong pembelian dan kepuasan konsumen melalui komunikasi informasi yang
kredibel dan kesan bahwa perusahaan dan produk mampu mengenali kebutuhan, keinginan,
perhatian, dan kepentingan konsumen. Khalayak yang dituju dari MPR adalah
masyarakat dan konsumen.
Dua
tahun lalu, ketika Majalah MIX-MarketingCommunication mengadakan focus group
discussion tentang public relation award dengan membuat kategori baru,
teman-teman praktisi social media PR merasa bahwa wilayah itu sebenarnya lebih
banyak menjadi domainnya marketing. Ini membuktikan bahwa perdebatan itu masih
ada bahkan mungkin bertambah karena media sosial makin mengaburkan
batasan-batasan tersebut. PR dan marketing seakan tidak bersekat yang celakanya
makin memperlemah peran PR sendiri.
Ini
makin kentara ketika membicarakan soal word-of-mouth atau content marketing
misalnya. Seperti dimaklumi, dalam
beberapa waktu terakhir ini content marketing menjadi semacam jargon yang
banyak kita dengar. Ini terkait dengan thesis selama ini yang makin memprkokoh
bahwa pada dasarnya pembicaraan tentang suatu merek bisa mengarahkan seseorang
untuk membeli atau tidak membeli merek tersebut. Kemudian kita sering mendengar
adegium bahwa “content is the king, conversation is kingdom.” Artinya apa?
Bahwa content marketing itulah yang menjadi kunci dari publik membicarakannya.
Pertanyaannya
adalah siapa yang harus merancang konten itu? Jadi Content Marketing itu fungsi
public relation atau marketing? Pertanyaan ini makin memperpanjang durasi
diskusi tentang batasan marketing dan public relations yang bisa jadi – dengan
berkembangnya media sosial -- saat ini makin kabur. Sebab seperti diketahui, praktek
PR adalah tentang mempengaruhi opini publik dan menjaga reputasi. PR menyampaikan
pesannya melalui pihak ketiga, seperti pers atau analis industri. Sementara
itu, pemasaran dan periklanan, perusahaan itu sendiri memberikan pesan-pesan.
Pekerjaan
ini tidak jauh bedanya dengan seorang jurnalis yang merancang, mengobyekkan
atau menjadikan fenomena sebagai objek dalam bentuk kata atau bahasa dan
mempublikasikannya sendiri atau melalui pihak lain. Sementara itu, content
marketing difokuskan pada hasil akhirnya, seperti penjualan. Dalam konteks
tahapan proses keputusan pembelian oleh konsumen, sejatinya PR berada di
pangkalnya, yakni membangun kesadaran dan reputasi, sementara content marketing
diposisikan pada area pertimbangan dan pilihan.
Apakah
Anda pernah mengambil brosur atau flyer yang dikeluarkan oleh perusahaan atau
merek? Juga membuka-buka newsletter perusahaan, baca komik secita singkat yang
terdapat di sebungkus permen karet? Semua ini adalah beberapa cara yang
dimanfaatkan oleh perusahaan dalam menggunakan konten untuk memasarkan produk
atau layanan mereka kepada pelanggan dan calon pembeli. Siapa perencana dan
eksekutornya? Dengan kata lain siapa penanggung jawabnya? PR atau marketing?
Content
marketing bukanlah hal baru. Sejak bertahun-tahun lalu perusahaan telah
menciptakan dan mendistribusikan konten untuk menarik bisnis baru dan
mempertahankan pelanggan yang ada. Inilah yang membedakan antara content
marketing dan bentuk-bentuk pemasaran dan iklan tradisional. Disini perusahaan
atau merek tidak menggunakan konten untuk menjual. Isi pesan yang biasa
dimunculkan dalam bungkus permen tadi misalnya, lebih banyak mengandung
informasi yang saat itu relevan dengan kebutuhan konsumen bersifat menidik
sehingga bermanfaat, menarik, dan kadang-kadang menghibur.
Pada
awalnya, public relations dikembangkan sebagai agency pers yang berusaha
memanfaatkan setiap kesempatan untuk
mendapatkan publisitas produk, perusahaan, dan perorangan (personal). Kemudian,
para praktisi PR makin mempertajam perencanaan kegiatan publisitas dengan
melakukan penelitian pendapat public sebelum mempublikasikan kampanyenya.
Begitu perusahaan menyesuaikan rencana kamapnyenya dengan perubahan lingkungan,
mkaa dipandang penting untuk membangun, mengembangkan dan memelihara hubungan
dengan berbagai domain publik untuk membangun keunggulan kompetitif-nya.
PR saat
ini harus melakukan banyak hal. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan
publisitas, manajemen reputasi, dan media. Karena itu, jantung PR adalah selalu
menanamkan cerita di media seperti koran, majalah, televisi, dan radio. Disini
PR tertantang untuk membuat cerita dalam bentuk dokumen pers rilis satu atau
dua halaman singkat, mempersuasi dan meyakinkan wartawan bahwa topik yang
dibuat itu bernilai dan menarik.
Jika diperhatikan,
pasar dan audience hari ini, mereka semuanya memfokuskan perhatiannya pada communicator.
Siapa sebenarnya yang menyampaikan
pesan. Seperti yang kita tahu, pasar saat ini selalu menginginkan komunikator
selalu on, real-time, dan beroperasi sesuai dengan kebutuhan masing-masing
individu pada saat itu juga. Konsumen membeli dan stakeholder bertindak sesuai
dengan frame waktu mereka sendiri. Nah, disini pertanyaannya adalah siapa yang
bertanggungjawab merespon kebutuhan public atau konsumen ini? PR atau
marketing? Saya sendiri melihat bahwa itu seyogyanya dilakukan oleh seorang PR.
Salah
satu peran MPR adalah memperkenalkan produk atau revisi produk pada suatu area.
Dalam konteks ini, MPR diintegrasikan dengan sarana IMC lainnya untuk
menghasilkan exposure tambahan tentang produk, kesan yang layak diberitakan dan
kredibilitas. Faktor yang terakhir ini, yakni kredibilitas, sangat menentukan
keefektifan MPR sekaligus menunjukkan nilai lebih dari MPR. Kenapa? Bila MPR
dilakukan oleh seorang atau organisasi PR, dia harus emnyerahkan pesannya
kepada pihak ketiga, dalam hal ini bisa saja redaksi media massa, blogger, atau
buzzer lainnya untuk diolah dan tidak bisa dikontrol oleh praktisi PR tadi.
Sebaliknya
dengan marketing atau periklanan, mereka langsung menyerahkan pesan tersebut
untuk – dengan membayar biaya tertentu -- langsung dipublikasikan dan isinya
tetap bisa dikontrol oleh pemasang iklan misalnya. Konsekuensinya, dalam
konteks iklan atau promosi lainnya, public mempertanyakan motif pemasang iklan
setelah mengetahui merek mereka memiliki kepentingan pribadi dalam membujuk konsumen.
Dengan kata lain, publikasi oleh editor surat kabar atau penyiar televise lebih
dapat dipercaya. Para konsumen jarang mempertanyakan motivasi yang mendasari editorial-type
ensdorsement.
Karena
itulah publisitas adalah sarana MPR proaktif yang utama. Seperti periklanan dan
penjualan perorangan, tujuan fundamental dari publisitas yang berorientasi
pemasaran adalah untuk meningkatkan ekuitas merek dalam dua cara: pertama,
melalui kesadaran akan merek dan, kedua, menambah citra merek melalui asosiasi
yang kuat dan menguntungkan dengan merek-merek dalam benak para konsumen.
Disinilah peran PR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar