Karman, CEO sebuah perusahaan periklanan menengah sedang duduk di kantornya, ketika dia mendapat telepon dari salah satu vendornya. Seorag sales representatif, Rudy ingin berbicara tentang tawaran barunya. Karman sedang sibuk dan tidak punya waktu untuk berbicara saat itu. Sebenarnya, dia tertarik untuk mendengar lebih banyak, tetapi saat itu tidak punya waktu. Dengan sopan Karman meminta Rudy apakah mereka bisa bicara nanti. Rudy berkata ya, tapi terus bertanya lagi.
Karman mengatakan lagi bahwa ia harus bicara nanti, tapi Rudy tidak membiarkan. Ketika pada akhirnya Karman membuat Rudy berhenti berbicara, dia pergi mengambil handphonenya dan mentweet, "Bagaimana Anda berurusan dengan sales representative? Sales dari perusahaan A itu membuatku gila."
David bekerja di perusahaan pesaing A. Dia mengikuti percakapan Karman di Twitter. Dia melihat tweet Karman dan 10 menit dari Karman mentweet itu, David menelponnya dan meminta
pertemuan. Dia dapatkan itu.
Ini adalah kisah nyata. Sudah sejak lama penjual profesional menggunakan teknologi baik
untuk “membuka pintu” ataupun menutup transaksi. Penemuan mesin cetak pada tahun
1440 yang telah merevolusi dunia, telepon (1870), komputer (1960), adopsi email
dan internet (1990), Google (1996) dan media sosial (2000) masing-masing telah
memainkan peran besar dan penting dalam bagaimana merek memasarkan produk
mereka.
Cerita tentang Rudy adalah salah satu dari
ribuan cerita sukses penjual sosial yang menunjukkan bahwa sosial media kini tidak
lagi berbicara tentang yang seseorang miliki atau untuk makan siang. Media
sosial kini juga lebih dari sekedar tempat orang untuk menumpahkan keluhannya
tentang koneksi internet jelek atau barang yang jelek dam sebagainya. Media
sosial adalah lebih dari sekedar mendengarkan promosi dari sebuah merek baru.
Secara global, seperti yang diinformasikan The
Social Skinny, dalam lima tahun mendatang penjualan melalui social commerce
diperkirakan mencapai $ 30 miliar. Sekitar 45% dari pengguna media sosial
setidaknya merasa 'agak' nyaman memberikan rincian data kartu kredit yang
mereka miliki melalui saluran media sosial. Secara spesisifk, fenomena ini
dijumpai pada pembeli pria usia 18-34 tahun dan berpenghasilan lebih dari $ 35 ribu.
Yang menarik, lebih dari 20% konsumen membeli merek
produk favorit mereka melalui media sosial mereka (sebagai lawan dari website
normal), 34% cenderung berbagi informasi tentang pembelian di situs media
sosial. Juga 74% tidak akan menggunakan
mata uang alternatif (kredit Facebook misalnya) untuk melakukan pembelian di
situs media sosial.
Sosial media kini sebuah platform komunikasi yang
kuat dan komunikasi akan selalu berada di jantung penjualan. April 2012 lalu, Bryant
dan Dudley – peneliti Behavioral Sciences Research Press di Dallas, Texas –
mewawancari 4.768 tenaga penjualan (67% laki-laki, 33% perempuan, rata-rata berusia
40) dari 1.000 perusahaan AS dari berbagai industri tentang bentuk komunikasi yang bisa
mempengaruhi kesuksesan penjualan produk baru.
Hasilnya, sekitar 70% mengatakan bentuk komunikasi tatap
muka dan kontak telepon adalah yang paling membantu untuk menghasilkan
penjualan baru. Hanya sekitar 10% yang menyatakan bahwa email yang paling efektif
dan kurang dari 10% mengatakan bentuk lain dari komunikasi seperti SMS yang
paling efektif.
Jadi social sales tidak berarti mengabaikan praktek
penjualan tradisional. Penjual sosial tidak dan seharusnya tidak meninggalkan
email, telepon atau metode tatap muka. Namun, penggunaan media
sosial akan membuat metode-metode tradisional jauh lebih produktif. Pelanggan
menjadi mendapatkan kontak yang hangat.
Social salespeople adalah tenaga penjual yang
menggunakan platform media sosial untuk mendengarkan, berhubungan, terlibat dan
mengidentifikasi peluang keterlibatan pada waktu yang tepat. Dalam konteks ini,
seorang social sales adalah seseorang yang menunjukkan kemampuan berbaur dengan
teknologi digital, web yang inovatif dan media sosial untuk meningkatkan
jangkauan, kedalaman, dan untuk mempercepat siklus penjualan.
Disini terkait dengan perkembangan teknologi. Teknologi
baru membuat perubahan mendasar pada sifat interaksi sosial dan mempengaruhi
setiap aspek di masyarakat. Secara khusus, transaksi yang didukung media sosial
muncul sebagai dimensi integral dari cara orang membeli produk. Jejaring media
sosial juga menjadi fasilitator penting dalam hubungan dengan pelanggan. Disini
jelas bahwa dalam urusan bisnis, perusahaan dan individu mencari keuntungan
profesional dari media sosial.
Perubahan sosial ini memiliki relevansi khusus dengan
organisasi penjualan, yang berfungsi sebagai jembatan antara organisasi dan
pasar. Tenaga penjual, sering dianggap sebagai mata dan telinga organisasi
mereka. Hubungan sosial mereka ditujukan untuk meningkatkan kinerja penjualan.
Jadi, secara tradisional, tenaga penjualan berada dalam irisan jaringan sosial
dan organisasi penjualan untuk menciptakan nilai bagi pelanggan dan perusahaan.
Kedekatannya dengan pelanggan memungkinkan tenaga
penjualan untuk mendapatkan nilai tambah dalam hubungan. Hubungan pembeli-penjual
memungkinkan penjual untuk mengembangkan hubungan pelanggan yang ditandai
dengan adanya pertukaran informasi, kepercayaan, timbal balik, dan mengurangi
konflik. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami bagaimana media sosial dapat meningkatkan kemampuan
penjual guna menciptakan nilai pelanggan yang unggul.
Penggunaan media sosial oleh tenaga penjualan dapat
digunakan sebagai cara profesional penjualan menghasilkan konten (misalnya,
blog, mikroblog, wiki) dan mengembangkan jaringan (misalnya, jaringan sosial,
komunitas online. Kategorisasi tersebut dapat membantu tenaga penjualan memahami
bagaimana menggunakan media sosial untuk mencapai tujuan strategis dari customer
engagement. Ini dimungkinkan karena konsumen sekarang relatif sudah terkoneksi dengan sosial media.
Dalam laporannya berjudul Worldwide Social Network Users:
2013 Forecast and Comparative Estimates, eMarketer menulis bahwa satu dari empat orang
di seluruh dunia menggunakan jejaring sosial pada tahun 2013. Ini setara dengan
kenaikan sebanyak 1,73 miliar pengguna media sosial dari 1,47 miliar pada 2012,
dan pemirsa global ini diperkirakan melompat menjadi 2,55 miliar dalam lima
tahun ke depan. Di Indonesia, diperkirakan satu dari dua penduduk Indonesia akan menggunakan jejaring sosial media.
Saat ini, customer engagement telah menjadi
"keharusan strategis" bagi bisnis karena customer engagement memainkan
peran kunci dalam kegiatan pemasaran viral melalui arahan dan/atau rekomendasi
untuk produk, jasa, dan atau merek tertentu kepada orang lain. Karena itu, penjual
berorientasi pelanggan sering mencari cara baru untuk berinteraksi dan terlibat
dengan pelanggan untuk
bersama-menciptakan nilai.
Mengadopsi perspektif proses psikologis, Bowden
(2009) menunjukkan bahwa customer engagement melibatkan (1) komitmen yang merupakan dasar perilaku pembelian, (2) mengarahkanke komitmen emosional, yang
merupakan dasar untuk loyalitas pembeli, dan ( 3) meningkatkan keterlibatan dan
kepercayaan. Brodie et al. (2011) mengandaikan bahwa customer engagement dibentuk
oleh pengalaman pelanggan interaktif yang tertanam dalam hubungan pelayanan
yang bertujuan menciptakan nilai.
Customer engagement terjadi melalui interaksi
berulang media sosial antara pembeli dan penjual. Masing-masing memberikan umpan
balik memperkuat (melemah) hubungan pembeli-penjual. Tenaga penjualan dapat
meningkatkan komitmen dengan menegaskan kembali atribut penting dalam
pengambilan keputusan. Konfirmasi tersebut dapat menjadi subjek blog yang
menampilkan keahlian teknis penjual atau forum yang menarik pada kecerdasan
kolektif dari pelanggan yang sudah ada dan pemasok. Pendekatan ini mungkin
sangat berguna bagi penjual produk yang kompleks, yang harus memenuhi kebutuhan
membeli pusat dengan kriteria pembelian ganda.
Platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan
Google dapat digunakan untuk menciptakan, memelihara, dan meningkatkan dimensi
sosial hubungan dengan pelanggan. Ini menawarkan kesempatan untuk membangun
engagement dengan pelanggan satu-satu melalui perhatian sampai ke hal-hal yang
bersifat pribadi mereka. Ini adalah masalah yang kompleks karena penjual harus
berhati-hati dan menghindari pelanggaran batas-batas antara profesional dan
pribadi domain pembeli.
Selanjutnya, keterlibatan pelanggan sering dianggap
sangat berkorelasi dengan kepercayaan dan komitmen dalam hubungan
pembeli-penjual. Mendorong strategi yang memanfaatkan jaringan profesional
besar untuk menyebarkan arahan akan lebih efektif ketika pelanggan sangat
terlibat. Keterlibatan pelanggan dapat ditingkatkan dengan memberikan
kesempatan untuk mencari, memberi, dan mengemukakan pendapat tentang produk dan
layanan di komunitas online, wiki, dan situs karya-sharing kreatif (misalnya,
YouTube, Flickr).
Namun, menggunakan media sosial untuk menciptakan
nilai pelanggan bukan tanpa tantangan. Seperti halnya implementasi strategi
lain atau inisiatif teknologi, media sosial juga rentan terhadap kesalahan
penanganan. Sebuah pendekatan yang terlalu liberal terhadap penggunaan media
sosial oleh tenaga penjual dapat memberikan peluang berkompetisi atau pelanggan
yang tidak puas yang mengambil kendali. Selanjutnya, inkonsistensi dalam hal
tanggapan terhadap permintaan pelanggan dan informasi usang negatif dapat
mempengaruhi hasil yang diinginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar