April lalu, JJ Royal membuat sebuah story telling (dongeng atau cerita). Judul ceritanya “Coffee Talk”, dibesut dalam rangka peluncuran produk baru mereka: Kopi Tubruk.
Dimulai dengan talk show yang menghadirkan novelis Dewi ‘Dee’ Lestari dan peneliti kopi dari
Institut Pertanian Bogor Ade Wahyar,
cerita kemudian dirangkai dengan penampilan Andra And The Backbone yang
menyanyikan lagu reggae milik Bob Marley “One Cup of Coffee” dan pemutaran iklan
baru yang menampilkan adegan permainan biola klasik.
Dalam kisahnya, Dewi ‘Dee’ Lestari menganggap kopi adalah
minuman berkarakter yang harus ‘dihormati’. “Bukan sekadar bubuk hitam dalam
cangkir. Pada setiap seduhan ada kisah, ada kebersamaan dan persaudaraan,”
ujarnya merujuk pada fenomena ‘ngopi’ yang sering dijadikan newspeak pergaulan
sosial.
Dee sendiri punya cerita khusus bersama kopi. Ia mulai
bersahabat—dan mencintai—minuman pekat itu sejak sering butuh lembur waktu
menyelesaikan tugas akhir masa kuliahnya pada 1995. Bonding itu bahkan menjadi
inspirasi untuk dituangkan dalam sebuah novel berjudul “Filosofi Kopi” yang
meski mulai ditulis pada 1996, baru selesai pada 2004.
Namun harap dicatat, si pekat yang dicintai Dee adalah kopi
hitam yang dia sebut lebih berkarakter.
Bukan kopi instan yang hampir tidak memerlukan ritual seduh dalam
penyajian, serta tidak memiliki ciri khas berdasarkan historical product dan
asal-usul bertumbuhnya. Maka tidak heran jika personifikasi dan bonding Dee
pada kopi kemudian dimanfaatkan sebagai story telling oleh JJ Royal untuk
meng-endorse produk barunya.
Wajar bila kemudian pada akhir cerita, audience (wartawan
dan blogger) dilibatkan dalam coffee cupping yang dipandu oleh Brand Manager Chlarissa Halim.
Kopi Tubruk JJ Royal diluncurkan ketika pemain industri kopi
di Indonesia tengah euphoria dengan berkembangnya pasar kopi instan—khususnya
white coffee. Setelah selama beberapa tahun lebih dikenal sebagai pemain kopi
specialty kelas premium—diklaim menguasai market share minimal 60% di modern
market—kali ini mereka mencoba menerobos mass market dengan meluncurkan kopi
premium kemasan sachet yang harganya lebih terjangkau.
Kalau dilihat dari level harganya (Rp2.500/sachet), Kopi
Tubruk JJ Royal tetap jauh lebih tinggi dari berbagai merek kopi yang rata-rata
dibanderol pada harga Rp 1000-an. “Harga
Rp 2.500 masih sangat terjangkau terutama dengan adanya pertumbuhan middle
class. Makanya strategi komunikasi kami juga tetap mempertahankan brand image
premium dengan harga terjangkau agar lebih banyak orang yang bisa minum kopi
grade 1,” papar Yusuf Sumarta, CEO JJ Royal.
Peluncuran kemasan sachet ini dimaksudkan sebagai strategi
untuk memperluas pasar dari sebelumnya yang hanya menjangkau segmen A dan A+
kepada B, B+ bahkan C+. Namun begitu, sebagai pendatang baru dan kategori baru,
Yusuf menyatakan belum berani memasang target penjualan. Untuk memperkuat image premium tersebut Kopi
Tubruk JJ Royal, dalam iklannya, mereka menggunakan adegan permainan violin
yang mantap.
Pemain kopi specialty ini jelas bukan pionir di bisnis kopi
tubruk. Nestle—yang nota bene merupakan pemain asing—sudah mencoba peruntungan
dengan ikut ‘menubruk’ selera khas konsumen lokal. Tiga tahun yang lalu,
tepatnya pada Februari 2010, mereka meluncurkan
Nescafe Tubruk Kopi Susu yang menawarkan experience dalam hal aroma dan rasa
untuk konsumen penggemar kopi.
Namun yang sebenarnya, pasar kopi tubruk Indonesia sudah
dikuasai oleh pemain-pemain lokal yang tangguh bermodalkan loyalitas
konsumennya. Pada skala nasional, Kapal Api adalah pemain terkuat. Selain itu
juga terdengar merek-merek yang tidak asing semacam ABC, Excelso, Liong,
Torabika, Ayam Merak Sidikalang, Singa dan lain-lain. Di beberapa daerah juga
beredar belasan merek kopi tubruk lokal yang memiliki penggemar khusus.
Awal tahun 1950-an merupakan titik balik dari kampanye industri
rokok. Ketika banyak dipublikasikan kampanye yang disertai dengan data ilmiah
yang membuktikan merokok memang berbahaya bagi kesehatan manusia, industri rokok
menggeser fokus dengan mengembangkan dan mempromosikan rokok filter.
Salah satu merek rokok yang diproduksi dengan filter adalah Marlboro. Awal dilaunch, Marlboro sempat
membuat pemegang saham Philip Morris ketar-ketir. Ini karena Marlboro dilihat public
sebagai rokok untuk wanita. Termotivasi untuk membuat Marlboro lebih universal
menarik, Philip Morris meminta kepada biro iklan Leo Burnett untuk menciptakan
citra baru. Sebuah citra yang bisa menempatkan Marlboro diterima pasar yang
lebih luas.
Maka muncullah iklan Marlboro Man yang sampai hari ini masih
dijuluki sebagai salah satu kampanye iklan paling ikonik dan sukses sepanjang
masa. Betapa tidak, iklan yang menampilkan karakter koboi yang kasar dan
maskulin itu mampu menggenjot penjualan dari $ 5 miliar menjadi $ 20 miliar – atau
naik 300% hanya dalam waktu dua tahun.
Sementara pesaingnya yang berfokus pada penjualan, membombardir
masyarakat dengan jargon yang kompleks dan klaim ilmiah seputar filter, Philip
Morris dan Leo Burnett mengambil pendekatan yang sama sekali berbeda. Mereka
menjual cerita. Mereka menciptakan seorang tokoh ikonik yang selaras dengan
jutaan orang di seluruh dunia. Pria yang melihat iklan yang kemudian mendorong
orang untuk melihat diri mereka sendiri.
Dengan merokok Marlboro, mereka adalah Marlboro Man.
Brand storytelling kini seakan bangkit untuk yang kedua
kalinya. Betapa tidak storytelling adalah sebuah tradisi yang berlangsung sejak
jaman dulu. Karena sudah menjadi tradisi seringkali orang lupa akan maknanya.
Mereka sekadar bercerita namun tak bisa membuat audiensenya menangkap pesan di
dalamnya.
Kini setelah sejak kebangkitan pertama pada 50 tahun yang lalu dan
kemudian dilupakan, orang tertarik meski
sedikit yang benar-benar mendapat manfaatnya.
Kebanyakan pemasaran sayangnya tidak cerdas ini. Itu
sebabnya mengapa begitu banyak pesan dari iklan merek yang berseliweran setiap
hari tidak diketahui public.
Mereka menghabiskan jutaan mencoba untuk
mendapatkan perhatian public, kemudian berakhir menggaruk-garuk kepala ketika
tidak ada yang benar-benar membayar mereka. Mereka susah payah menghembuskan
semua anggaran mereka guna menceritakan betapa menakjubkan perusahaan, produk
atau layanan mereka, tapi lupa untuk meninggalkan ruang bagi kita.
Padahal, konsep cerita tentang Marlboro sebenarnya sangat
sederhana, namun menawan, mudah diingat dan inspirasi. Mereka bukan tentang
fakta, angka dan statistik. Mereka memberi ruang kepada public untuk melupakan realitas
dunia dan membawa audience ke tempat yang bisa membuat imajinasinya menjadi
begitu liar. Dalam cerita Marlboro Man public seakan diajak melihat diri sendiri
dan mengidentifikasi dengan karakter utama.
Karena itu, sejatinya seni dari brand storytelling pada
dasarnya bukannya merek bercerita untuk
membanggakan betapa menakjubkan merek itu, tetapi menceritakan sebuah cerita
yang menempatkan pelanggan di jantung realitas dunia.
Itu juga yang dilakukan Nike, merek yang selalu bercerita tentang
keberhasilan Nike merupakan bagian tersendiri dari kebangkitan brand
storytelling. Pesan yang ingin disampaikan dari cerita tentang Nike adalah keberhasilan.
Sebagai pemasok sepatu olahraga dan pakaian, terkemuka di dunia, Nike tidak
hanya menjual barang, itu menjual sikap, yaitu bahwa setiap orang adalah atlet
yang bisa menang.
Sebelum Lance Amstrong bermasalah, Nike selalu mengngkat tema-tema
keberhasilan di dalam komunitas pelari mereka, dan dalam kampanye Livestrong
mereka, yang didasarkan pada prestasi luar biasa yang dicapai pembalap sepeda
Lance Armstrong.
Kampanye yang mereka hadirkan melaui media sosial sangat
sukses. Misalnya, saluran YouTube Livestrong mereka, menceritakan kisah orang
yang terkena kanker dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat melalui pesan bahwa "persatuan adalah
kekuatan, pengetahuan adalah kekuatan dan sikap adalah segalanya!" mendapatkan
apresiasi dari 2 juta pemirsa. The Livestrong Twitter feed memiliki lebih dari
250.000 follower , dan halaman Facebook mereka memiliki lebih dari 1,5 juta “like.”
Ada alasan bahwa Nike menjadi salah satu merek terbaik di
dunia yang paling dicintai dan dihargai. Mereka adalah master di seni brand
storytelling. Mereka menggunakannya sebagai jantung dari setiap bagian dari
komunikasi. Situs web mereka, iklan mereka TV, outlet mereka dan bahkan video
YouTube mereka menempatkan audiensenya, pelanggan mereka berada di pusat pesan.
Nike tidak membual tentang betapa mengagumkan mereka, mereka merayakan betapa
mengagumkan kita.
Storytelling adalah sebuah bentuk seni terkenal dan kuno. Disini
karekater menarik dikiaskan dan diceritakan baik melalui kata-kata verbal atau
tulis secara luas dan bahkan bisa menyebar di seluruh dunia.
Saat ini,
penelitian ilmiah telah meletakkan dasar-dasar untuk pemahaman tentang suatu
cerita secara empiris sebagai bantuan yang jelas untuk memperkaya memori,
sebagai sarana untuk memahami dunia, sebagai cara untuk membuat dan memperkuat
hubungan emosional, sebagai cara mengenali dan mengidentifikasi dengan merek.
Apakah Anda sekarang mengelola merek produk atau merek
perusahaan, mendongeng sangat penting bagi kesuksesan, Ini karena pada dasarnya
merek Anda adalah hasil penjumlahan dari semua perilaku perusahaan Anda dan
komunikasi yang menginformasikan pengalaman pelanggan Anda dengan produk atau
perusahaan Anda.
Sebuah merek yang
menarik dimulai dengan sesuatu yang kuat tentang persona – misalnya dengan menciptakan
koneksi penting antara apa yang perusahaan katakan dan apa yang dilakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar