Kemarin, saya benar-benar terkejut saat membaca tulisan hasil riset Ipsos dan Microsoft yang mengindikasikan masih banyaknya perusahaan yang “memusuhi” media sosial. Saat saya berdiskusikan dengan mahasiswa S2 yang notabenenya adalah para pemasar dan salesperson level atas juga mendapatkan gambaran sinis tentang media sosial.
Mengapa banyak perusahaan besar masih melihat media sosial sebagai sebagai musuh? Simak pengakuan Febri. Formalnya dia itu karyawan accounting sebuah perusahaan minyak. Namun di luar itu ia aktif menjalankan bisnis MLM, memiliki bisnis cupcake (kue) dan penyelenggaraan kursusnya, penulis buku resep, trainer online dan menjalankan berbagai aktivitas bisnis online lainnya.
Menurut dia, melalui media sosial dia merasa nyaman menjalankan bisnis sambilannya itu. “Kalau jualan di kantor, belum-belum sudah risih. Ada saja yang nanya, memang masih kurang gaji dari kantor?” kisahnya sambil tertawa seru.
Posting-nya di Twitter dan Facebook bercampur-campur antara cerita pribadi dengan kepentingan bisnis. Di luar itu ia juga memiliki dua Web pribadi, plus seabreg aktivitas di milis yang berhubungan dengan bisnis-bisnisnya.
Yang ini lain lagi. Beberapa waktu lalu, saat sharing dengan peserta workshop, seorang peserta yang juga pemilik usaha kecil mengeluhkan tentang penggunaan media sosial oleh karyawannya di kantor. Menurut dia, perilaku mereka sudah mengganggu, khususnya perilaku mereka dalam menggunakan media sosial.
Dia mengerti bahwa stafnya sepertinya sangat bergantung pada media sosial, terutama untuk berinteraksi dengan pelanggannya. Banyak diantara karyawannya yang mengandalkan Facebook, Twitter, Pinterest, dan sebagainya, dalam urusan pekerjaan mereka.
Akan tetapi, menurut dia, waktu yang dipergunakan untuk keperluan lainnya jauh lebih banyak. Dia melihat penggunaan situs ini sebagai pemborosan waktu perusahaan. Dia juga ingin perusahaannya tidak diganggu oleh komentar atau publikasi negatif, atau lebih buruk, dari rahasia perusahaannya keluar atau muncul di akun pribadi media sosial karyawannya. "Ini rumit!" katanya.
Mungkin Anda pernah mendengar cerita ini sebelumnya, mungkin puluhan kali. Seorang karyawan, sebut saja Jubrut. Suatu hari dia berkeluh kesah tentang pekerjaannya di medis sosial. "Pekerjaan ini yang terburuk! Aku benci dia (manajer saya)!" tweet Jubrut.
Sehari kemudian, Jubrut dipanggil sang manajer ke ruanganya. Jubrut dipecat karena “perselingkuhan”nya di media sosial nya. Jubrut tidak terima, lagi mentweet soal pemecatannya. Komentar, terutama dari teman-teman dan followernya bertebaran. Meski tak tahu duduk persoalannya, mereka mencela perusahaan tempat Jubrut bekerja.
Jubrut juga membuat semacam release yang diposting ke milist group alumni sekolahnya dan teman-teman seprofesinya. Dia juga mengirimkannya ke beberapa media konvensional dan digital. Beberapa media memuatnya, bahkan ada yang melengkapi dengan komentar beberapa orang. Pemecatan Jubrut pun jadi pembiacaraan banyak orang.
Dalam konteks cerita terakhir, tidak ada yang benar-benar senang. Jubrut sekarang menganggur, perusahaan disorot banyak orang secara negatif (konsekuensi bila diam), perlu mempekerjakan orang baru, dan seluruh situasi bisa semakin buruk.
Lalu apa kesimpulan Anda? Apakah sebaiknya perusahaan tidak mengizinkan karyawannya menggunakan media sosial di kantor? Bagaimana kalau di luar? Apakah juga dilarang? Anda benar bila situasi seperti yang dialami Jubrut tidak terjadi di perusahaan Anda. Tetapi dengan makin berkembangnya media sosial jauh lebih cepat dari yang diperkirakan banyak orang, apakah melarang karyawan menggunakan media sosial itu proporsional?
Pertanyaan itu layak mengemuka karena berdasarkan Ipsos dan Microsoft yang dirilis bulan lalu menyebutkan bahwa dari hampir sepuluh ribu pekerja informasi di 32 negara yang diwawancara, ditemukan bahwa 34 persen responden percaya, manajemen masih meremehkan manfaat dari media sosial di tempat kerja. Padahal, dua dari lima karyawan percaya media sosial mendorong mereka untuk berkolaborasi dan 31 persen mengatakan bahwa mereka bersedia menghabiskan uang mereka sendiri untuk biaya pulsa misalnya, jika itu membuat mereka bisa bekerja lebih efisien.
Survey yang dilakukan Ipsos and Microsoft menunjukkan 46 persen pekerja mengatakan, produktivitas mereka sangat atau agak meningkat karena penggunaan media sosial di kantor. Selain itu, lebih dari sepertiga (37 persen) mengatakan bahwa mereka bisa melakukan pekerjaan mereka dengan lebih baik jika manajemen organisasi mereka lebih memberi keluluasaan karyawannya dalam menggunakan media sosial di tempat kerja.
Sosial media telah merevolusi cara orang terhubung dan berbagi informasi. LinkedIn, Facebook, YouTube, Twitter dan media sosial lainnya mengubah cara orang berinteraksi, dan banyak organisasi yang berjuang untuk meresponnya. Bahkan sekalipun perusahaan berusaha untuk menghindari media sosial, diakui atau tidak banyak karyawan dan pelanggan yang menggunakannya, sehingga secara langsung dapat mempengaruhi organisasi.
Intinya, bila digunakan dengan benar, media sosial dapat menguntungkan organisasi. Namun, jika tidak dikelola secara efektif, dapat menimbulkan berbagai risiko hukum, keuangan dan personil. Mengingat potensi risiko dan manfaat dari media sosial di tempat kerja, sangat penting bagi para manajer untuk mengembangkan kebijakan dan prosedur yang mengatur penggunaan yang sesuai.
Sampai saat ini, tidak ada pedoman standar telah dikembangkan untuk membantu para pemimpin bisnis dalam mengelola media sosial. Teknologi baru muncul dengan cepat, dan masih sedikit preseden hukum atau penelitian yang bisa menuntun bagaimana perusahaan atau seseorang menggunakan media sosial secara tepat dalam konteks kepentingan perusahaan. Bahkan penelitian terbaru yang dilakukan oleh Society for Human Resource Management (SHRM) menemukan bahwa 72 persen perusahaan tidak memiliki tujuan atau strategi yang jelas tentang aktivitas sosial media mereka.
Jadi yang diperlukan disini adalah kebijakan perusahaan tentang media sosial yang tepat. Secara garis besar, kebijakan itu sebaiknya tidak secara tegas melarang "komentar yang tidak pantas". Yang dilarang adalah penyataan yang bernada diskriminatif atau melecehkan. Alih-alih meminta karyawan untuk tidak menyebutkan perusahaan, perusahaan sebaiknya meminta karyawan menghindari menyebutkan proyek-proyek tertentu dan informasi kepemilikan.
Perusahaan multinasional P&G misalnya, melarang karyawannya memposting informasi keuangan atau informasi eksklusif tentang P & G atau proyek yang ditangani oleh karyawannya. Di sisi lain, bila karyawan P&G berbicara tentang Perusahaan atau merek atau bisnisnya – baik menggunakan media sosial untuk tujuan profesional atau pribadi – mereka diwajibkan menyebutkan bahwa dia bekerja untuk P & G di setiap posting yang dia buat.
Yang kedua adalah perusahaan perlu menerapkan program pelatihan media sosial. Menyisihkan beberapa waktu, apakah satu hari atau satu jam, dan meminta karyawan untuk mengikuti pelatihan media sosial, akan membuat karyawan yang bingung tentang pedoman dapat mengajukan pertanyaan secara langsung.
Yang ketiga, memberdayakan karyawan menjadi duta merek. Bayangkan bila Anda memiliki 150 karyawan, misalnya paling sedikit 30% diantaranya memiliki akun media sosial. Ini berarti kalau mereka menjadi duta merek Anda, informasi tentang merek Anda menyebar diantara follower-follower mereka.
Yang keempat adalah beri kepercayaan kepada karyawan Anda untuk menjgment sendiri kapan, bagaimana, dan apa yang diposting melalui akun medis sosialnya. Jika Anda tidak dapat mempercayai karyawan, Anda mungkin tidak seharusnya mempekerjakan mereka di tempat yang penting dan berisiko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar