Tahun
lalu, Wal-Mart menghadapi tuduhan penyuapan setelah The New York Times
menerbitkan dua laporan yang merinci insentif keuangan yang diberikan kepada
pejabat Meksiko oleh perusahaan afiliasi, Wal-Mart de Mexico. Salah satu yang
terbesar adalah suap sebesar $ 52.000 yang dibayarkan untuk mengubah peta
zonasi sehingga pengecer bisa membuka toko berlokasi di dekat piramida kuno di Teotihuacan.
Eksekutif
Wal-Mart, termasuk Chief Executive Officer Mike Duke, menyatakan secara terbuka
bahwa mereka tidak mengetahui soal dugaan suap tersebut. Tetapi,
dokumen-dokumen - termasuk beberapa email – yang dirilis oleh anggota Kongres
dari Demokrat menunjukkan hal yang sebaliknya.
Melihat
perkembangan isu tersebut, pemegang saham merespon dengan meminta
pertanggungjawaban pengelola perusahaan. Sekelompok investor global dan dana
pensiun yang dipimpin the United Auto Workers Retiree Medical Benefits Trust
mengajukan proposal resmi yang meminta Wal-Mart mengungkapkan apakah pembayaran
yang dilakukan oleh eksekutif yang bertanggung jawab tersebut menyalahi aturan
atau tidak, termasuk kode etik perusahaan.
Apa yang
terjadi dengan WalMart tersebut seakan menunjukkan bahwa sejatinya, pemegang
saham tidak hanya mempertimbangkan keuntungan maksimal semata. Pemegang saham
juga memperhatikan bagaimana perusahaan dijalankan dalam konteks tanggung jawab
sosial. Dalam hal ini, CSR seharusnya tidak lagi dianggap hanya dalam hal
maksimalisasi keuntungan. Mereka juga ingin perusahaan berlaku adil dengan mengatakan bahwa perusahaan harus
memiliki tanggung jawab yang lebih luas terhadap masyarakat.
Melalui buku
ini, Adefolake O. Adeyeye berargumen bahwa CSR tidak harus memberi sesuatu
(secara fisik) kepada masyarakat, namun bisa dilakukan secara internal dengan mengatur
diri di internal perusahaan untuk memastikan perusahaan berperilaku dengan cara
yang tepat. Disini berarti perusahaan merancang dan mengimplementasikan
dasar-dasar etika sistem manajemen seluruh perusahaan, melembagakan berbagai praktik
kepatuhan terbaik, dan menerapkannya di seluruh divisi dan pasar mereka.
Adeyeye
adalah asisten dosen di Fakultas Hukum, Universitas Nasional Singapura (NUS).
Dia mengajar modul tanggung jawab sosial perusahaan, yang dia rancang dan
kembangkan. Untuk penulisan buku ini, Adeyeye mengeksplorasi perkembangan CSR yang
kini berubah menjadi suatu gerakan kampanye anti-korupsi. Dengan melakukan
studi terhadap beberapa peraturan tentang pemberantasan korupsi yang
berlaku, khususnya tentang suap, dan menganalisis aturan hukum lokal dan
internasional di Nigeria, Inggris dan
Amerika Serikat yang cukup ketat dalam hal suap, dia melihat adanya kedekatan
antara hukum internasional dan beban perusahaan yang muncul karena suap.
Dia juga
mengeksplorasi tanggung jawab perusahaan langsung dalam konteks korupsi
internasional. Disini Adeyeye memberikan perhatian yang sangat besar pada peran
corporate governance, pemerintahan global dan tanggung jawab perdata dalam
mengendalikan praktek korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Dalam konteks
perusahaan, yang diperlukan disini adalah upaya internal perusahaan untuk membangun
suatu basis pembuktian yang menunjukkan bahwa kegiatan kepatuhan adalah alat
yang efektif tidak hanya untuk mengurangi suap tetapi juga untuk mitigasi
risiko.
Selain
itu, perusahaan harus berusaha memenuhi tantangan untuk mengimplementasikan
program kepatuhan global dengan memperhatikan hukum lokal dan norma-norma etis
dari masing-masing negara di mana mereka beroperasi. Di sisi lain, perusahaan juga
harus konsisten dengan kebijakan dan nilai-nilai perusahaan.
Tanggung
jawab tersebut semakin penting karena bagaimanapun publik mempersepsikan bahwa
motif perusahaan (terutama multinasional) dalam melakukan kegiatannya adalah mengejar
keuntungan. Ini yang membuat publik selalu curiga terhadap tindakan perusahaan.
Mereka selalu mereka-reka konsekuensi dari tindakan perusahaan multinasional
terutama di negara-negara sedang berkembang.
Ada
kesadaran bahwa perusahaan harus berperan dalam pembuatan norma-norma hukum
internasional yang menguntungkan bagi investasi asing. Perusahaan multinasional
harus memiliki lebih banyak tanggung jawab sesuai dengan kekuatan mereka yang
meningkat. Ini karena pada dasarnya perusahaan adalah entitas ekonomi yang dengan
kekuatannya yang besar seharusnya bisa mempengaruhi rezim dalam pembuatan hukum
internasional.
Beberapa
waktu lalu, Sarah Anderson, salah satu penulis pendamping studi berjudul Top 200: The Rise of Power Global Corporate
yang diterbitkan oleh Institut Studi Kebijakan pada 2000, mengilustrasikan itu.
Dalam tulisan itu, Anderson mengatakan perusahaan-perusahaan multinasional
Amerika Serikat berhasil mendorong proses globalisasi perusahaan-perusahaan di
negara-negara sedang berkembang. Di sisi lain, meluasnya liberalisasi perdagangan dan
investasi memberikan kontribusi bagi iklim yang membuat perusahaan-perusahaan
besar menikmati keuntungan politik dan ekonomi yang tidak seimbang dengan
manfaat nyata yang mereka berikan kepada masyarakat.
Harus
diakui bahwa saat ini di hampir semua negara berkembang kebijakan
pembangunannya selalu mempertimbangkan kepentingan perusahaan-perusahaan besar.
Melalui WTO, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional dan juga perjanjian
perdagangan regional, perusahaan besar mendapatkan kekuasaan dan hak lebih
untuk beroperasi seperti yang mereka inginkan di seluruh dunia. Salah satu
ilustrasi peran yang dimainkan perusahaan multinasional adalah penciptaan norma-norma
hukum internasional seperti yang dapat ditemukan dalam undang-undang kekayaan
intelektual.
Ilustrasi
lain dari peran MNCs dalam penciptaan internasional hukum dapat ditemukan dalam hukum investasi
asing. Pada tahun 2000, Kamminga dan Zia-Zarifi, menulis, perusahaan-perusahaan
multinasional secara konsisten sangat aktif dalam menyebarkan standar yang
mengikat secara internasional untuk perlindungan investasi dan daya saing
mereka. Sekarang, melalui system yang diciptakan oleh Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO), peraturan makroekonomi Dana
Moneter Internasional (IMF), dan hampir 2.000 perjanjian investasi bilateral
(BITS) yang ada tersebut, mereka menikmati keuntungan yang luar biasa.
Lalu apa
yang mereka berikan kepada negara tempat mereka beroperasi? Buku ini seakan
berargumen bahwa saatnya kini bagi perusahaan multinasional untuk menjadikan
anti-korupsi sebagai strategi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) secara
proaktif. Sebab bagaimanapun ada beberapa perusahan yang andil dalam mempersubur
budaya korupsi di negara tempat mereka berinvestasi, terutama melalui praktik
suap. Praktik itu harus dihentikan.
Ini
berarti perusahaan harus mengubah paradigm CSR-nya dari mitigasi risiko ke
secara proaktif ikut memecahkan masalah sosial penting dalam bisnis. Dengan
fokus khusus pada negara-negara berkembang, buku ini menunjukkan bahwa
perusahaan dapat membangun model yang ada untuk kepatuhan dan tindakan kolektif
serta mengambil peran kepemimpinan yang lebih besar dalam upaya anti-korupsi
secara lebih luas.
Adeyeye
berargumen bahwa gerakan anti-korupsi seyogyanya tidak dipandang sebagai
kepedulian sosial yang periferi. Sebab dalam melihat pemasalahan sosial seperti
korupsi, perusahaan tidak dapat mengabaikan atau bersikap pasif. Perusahaan
harus pro-aktif karena korupsi merupakan masalah bisnis yang bottom-linenya
secara langsung mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk bersaing.
Dengan kata
lain, korupsi harus dijadikan isu yang semakin penting untuk segera diatasi
oleh perusahaan. Ini karena pada dasarnya, selain mengurangi daya saing
perusahaan itu sendiri, korupsi juga merugikan masyarakat melalui tindakan
pengalihan sumber daya layanan vital seperti pendidikan, air bersih, dan
perawatan kesehatan ke kantong pejabat pemerintah yang tidak jujur. Majalah SWA, 18-28 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar