Harga daging misalnya, produk RNI yang dipasarkan RNI dengan
harga Rp 70.000 per kilogram, sementara harga daging di sejumlah pasar saat ini
sudah menembus Rp100.000 per kilogram, bahkan ada yang sudah mencapai Rp120.000
per kilogram. Produk kedua adalah gula. Dua pekan lalu, RNI memasok gula ritel
ke pasar dengan harga eceran tertinggi Rp13.900 per kilogram. Harga ini masih
lebih murah dibandingkan produk sejenis yang mencapai Rp 15 ribu per kilo.
Dalam diskusi milist, seorang teman saya mengatakan bahwa
sudah saatnya perusahaan BUMN seperti RNI meningkatkan efisiensinya. Disini
teman tadi menekankan bahwa efisiensi bukan hanya ditujukan untuk memperoleh
profit, melainkan bagaimana caranya efisiensi tersebut bisa meningkatkan daya
saing yang didedikasikan untuk kepentingan rakyat. Artinya, bila efisiensi
tercapai maka BUMN bisa bersaing dari sisi harga misalnya. Bila itu tercapai
maka BUMN bisa menjadi price leader yang bisa mendikte pasar.
Kemampuan untuk mendike pasar itulah yang harus
didedikasikan untuk masyarakat sehingga BUMN bisa menjaga agar harga-harga
jangan sampai melambung dan memberatkan masyarakat. Bila peran itu bisa
dijalankan BUMN, maka rakyat bisa merasakan keberadaan BUMN. Peran itu makin
penting dalam kondisi seperti sekarang dimana harga-harga barang – terutama kebutuhan
pokok – tidak terkendali.
Dalam buku The Next
Evolution of Marketing: Connect with Your Customer by Marketing with Meaning
(McGrawHill, 2010) Bob Gilbreath mengatakan bahwa tradisional marketing
kini sudah out-of-date karena
kecanggihan publik yang mengkonsumsi sesuatu untuk menghindari strategi marketing
biasa – bahkan menggunakan media sosial sekalipun.
Dalam konteks ini Gilbreath menyebut strategi yang
diklaimnya sebagai marketing with meaning. Gilbreath mendefinisikan marketing
with meaning sebagai marketing yang memberikan nilai tambah (added value) kepada
masyarakat. Nilai tambah seperti apa? Gilbreath membuat hierarki meaning yang
terdiri atas tiga tingkatan di dalam sebuah segitiga. Konsep ini, menurut
Gilbreath, merupakan perpaduan antara hierarki kebutuhan Abraham Maslow dan
hierarki ekuitas merek dimana merek menempel di hati dan pikiran publik.
Pada level paling bawah, suatu marketing harus bisa
memberikan nilai bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhan untuk hidup (survival
needs). Ini yang disebut Gilbreath sebagai meaningful solutions. Lapis kedua
keatas adalah attachment (cinta, rasa memiliki, pertemanan, dan keluarga) needs
atau sebagai meaningful connections. Kemudian yang paling atas adalah esteem
(rasa percaya diri, kreativitas, problem solving, rasa menghormati kepada dan
oleh sesama) needs. Ini yang disebut sebagai meaningful achievements.
Pada hierarki terbawah atau dasar meaning solution untuk
memenuhi kebutuhan survival, bisa dilakukan dengan memberi benefit dan
informasi langsung seperti menawarkan sesuatu yang bermanfaat, penghematan, dan
reward keras seperti pemberian sample dan reward untuk setiap pembelian. Dalam
sehari-hari ini dikenal dengan promo penjualan. Disini RNI telah memainkan
perannya dengan menjual harga daging dan gula yang lebih murah dibandingkan
yang dijual perusahaan lainnya.
Dalam bukunya itu, Gilbreath tidak menyarankan insentif atau
promo berupa diskon. Sebab selain bisa mendorong terjadinya perang harga, diskon
terlalu sering dan sangat biasa, dalam jangka panjang bisa merusak nilai yang
dipersepsikan dan peringkat ekuitas. Namun demikian, dalam konteks meaning
terutama dalam situasi seperti sekarang, langka itu saya kira efektif dalam
membangun image bahwa BUMN berpihak kepada rakyat.
Tingkatan lebih tingggi, menurut Gilbreath, adalah
meaningful connections. Ini bisa menempa suatu ikatan penting antara merek dan
pelanggan potensial. Bila berhasil dieksekusi, meaningful connection
menempatkan produk, jasa atau merek ke level emosional yang lebih tinggi,
mengikat merek pada sesuatu kepentingan lebih dalam di benak pelanggan.
Biasanya, ini dilakukan melalui entertainment yang dikemas
dengan baik melalui penciptaan suatu pengalaman yang unik, menyediakan outlet
yang kreatif, atau membangun serta mendorong suatu ikatan pertemanan antara
satu dengan yang lain atau kelompok.
Intinya disini adalah menciptakan pengalaman-pengalaman yang dapat
di-share ke orang lain.
Tingkatan yang paling tinggi adalah meaningful
achievements. Bila meaningful
connections mewakili tahapan dalam membangun hubungan (relationship) yang lebih
berarti (meaning) antara orang dan brand, meaningful achievement akan
memperbaiki (improvement) kehidupan pelanggan, membantu orang untuk mewujudkan
mimpi-mimpinya, atau menjadikan mereka mampu mengubah ke arah yang positif
komunitas dan dunia mereka.
Lalu dapatkah kita mengimplementasikan strategi Marketing
with Meaning jika produk barang atau layanan kita “bau”? Tidak, Anda tidak akan
memenangkan pasar jika basis barang atau jasa Anda di bawah rata-rata. Marketer
yang brilian pun tidak pernah membuat produk yang gagal memenuhi ekspektasi
pelanggannya menjadi berhasil. Seperti diketahui, teknik pemasaran yang
dilakukan film-film Hollywood banyak
diakui sebagai brilian. Namun, berapapun anggaran iklan yang dihabiskan untuk
mempromosikan suatu film, jika film itu jelek negatif word of mouth pasti
beredar cepat dan cepat meluas melalui media sosial.
Jadi apa yang harus dilakukan sebuah rumah sakit misalnya,
bila menjadi pembicaraan negatif? “Ya perbaiki apa yang menjadi pembicaraan
negatif itu. Bila layanan perawatnya misalnya, maka layanan perawat itu yang
harus diperbaiki,” tulis Gilbreath dalam blog-nya
(http://www.marketingwithmeaning.com/2010/01/07/how-meaningful-marketing-can-help-a-non-innovative-brand/).
Point ini sekaligus mengingatkan kepada para marketer, tugas
mereka bukan hanya membuat iklan yang meaningful misalnya, marketer juga harus
mulai memberikan arahan kepada konsumen tentang bagaimana menggunakan produk
yang kita jual sehingga mereka memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar