Pemasar saat ini
ditantang untuk menemukan dan menggunakan pendekatan yang memungkinkan
melakukan diferensiasi. Tujuannya, pesan pemasaran yang ingin disampaikan ditangkap target marketnya. Tapi
adakah alternative pendekatan yang tanpa harus biaya besar?
Tahun 2005, sementara McDonald punya tagline yang popular
hingga kini, Lovin 'it, Coca - Cola punya the
real thing dan Nike menginginkan kita agar melakukan saja (just do it), Starbucks meluncurkan
alternatifnya. Kedai kopi berbasis di Seattle menggunakan pendekatan yang tidak
konvensional dalam memasarkan produknya. Ia memilih pesta dan kumpulan
orang-orang sebagai media kampanye besarnya.
"Begitu besar nilai hubungan yang ada antara perusahaan,
Anda dan barista yang lebih sering di belakang bar, kami belum bisa menemukan
cara beriklan yang gencar di TV untuk dapat menangkap hati dan jiwa perusahaan,
" kata Brad Stevens, eksekutif puncak bidang pemasaran Starbucks.
Karena itu, Starbucks hanya sesekali beriklan untuk
produk-produk tertentu dan waktunya dipilih setiap menjelang liburan akhir
tahun. Ada juga iklan satu halaman penuh di The New York Times setiap hari
Minggu, naun fokusnya lebih pada edukasi untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya
pelestarian lingkungan.
Selama itu memang ada paradigm bahwa untuk promosi, yang
paling efektif adalah dengan beriklan. Tetapi Starbuck adalah pengecualian.
Dalam berpromosi, Starbucks menghabiskan belanja iklan yang jauh lebih sedikit
dibandingkan pengecer dan perusahaan produsen produk consumer goods lainnya.
Bahkan Starbucks nyaris tidak membayar untuk product placement dalam film layar
lebar seperti The Devil Wears Prada dan televisi seperti The West Wing.
Pada tahun anggaran 2005, Starbucks menghabiskan $ 87.7 juta
untuk beriklan yang meliputi billboard , iklan online dan signs di lapangan
Safeco . Belanja iklan itu berarti sekitar 1,4 persen pendapatan Starbucks pada
2005. Sebagai perbandingan, pada tahun yang sama Coca - Cola menghabiskan $2,5
miliar, dan Nike menghabiskan $1,7 miliar 00000000 atau sekitar 11 persen dari
pendapatan mereka.
Pada 2011 lalu, penjualan Starbucks melampui penjualan Wendy
dan Burger King dan meenempati peringkat ketiga dalam mencetak penjualan untuk
kategori jeringan restoran dengan nilai penjualan sebesar $9,07 miliar atau
naik 8,7 % dibandingkan tahun 2009. Untuk perusahaan dengan belanja iklan
setnegah hingga seperdelapan pesaingnya, pencapaian itu merupakan prestasi.
Apaagi sebelumnya Starbuck menghadapi penutupan 600 toko dan penjualannya yang
negatif.
Namun demikian, harus diakui bahwa angka-anagka belanja
iklan itu tadi belum termasuk event-event
Starbucks. Tak ada data tentang anggaran untuk event tersebut karena
sebagian lebih bersifat product placement. Beberapa event besar melibatkan
Starbucks seperti pesta luar ruangan samba di Miami untuk perayaan Art Museum
Miami dan peluncuran pertama frappuccinos berbasis jus Starbucks.
Beberapa event cukup mewah, seperti di Trump Tower di New
York City di mana selebriti seperti Miss Universe mencampur kelapa dan pisang
frappuccinos dengan menggunakan sepeda statis dilengkapi dengan blender. Untuk
event-event mewah seperti itu, terkadang Starbucks tidak menjadi tuan
rumah tuan rumah utama. Ia hanya menjadi
co- sponsor acara lokal , seperti Bumbershoot, acara musik tahunan dan festival
seni Seattle. Di setiap acara itu, Starbuck membagikan minuman gratis.
CEO Starbuck Howard Schultz mengaku tidak ada paten dan
"saus rahasia " dalam model bisnis Starbucks. Lalu apa yang membuat
Starbuck berani menganggarkan biaya beriklan yang rendah, Schultz menjawab,
"Bisnia kami ini kan bisnis dalam konteks manusia." Dari sudut
pandang Schultz , keunggulan kompetitif Starbucks adalah kuatnya hubungan
perusahaan dengan karyawannya yang berjumlah lebih 135 ribu dan hubungan antara
karyawan dengan pelanggan mereka.
Kunci keberhasilan komunikasi pemasaran berbasis biaya
rendah adalah memiliki mitra bisnis yang tepat. Peluang lintas-promosi tidak
terbatas jika semua orang di jaringan mitra Anda bekerja menuju tujuan yang
sama. Ini menjadi sumber daya berharga untuk pelanggan Anda.
Starbucks telah membuktikan bahwa perusahaan dapat berhasil
dengan lebih berfokus pada internal (karyawan, lingkungan, pengalaman) daripada
eksternal (iklan). Seperti diketahui, Starbuck memang paling tidak berkalkulasi
bila harus menyediakan anggaran untuk pendidikan guna meningkatkan ketrampilan
karyawannya.
Fenomena ini juga makin mengukuhkan asumsi bahwa beriklan
hanya salah satu alat untuk berpromosi. Ada banyak cara lain dalam berpromosi.
Yang kedua, dalam dalam pemasaran, besarnya anggaran bukanlah yang bisa
mengganjal upaya suatu merek untuk berpromosi.
Banyak cara untuk mencapai sasaran konsumen. Namun demikian,
meski saat ini banyak media yang bisa digunakan, kadang-kadang perlu untuk
menemukan kembali dan menemukan cara inovatif untuk menciptakan media untuk
lebih menarik kelompok sasaran.
Kreativitas dalam promosi belakangan memang berkembang
pesat. Iklan-iklan komersial yang biasa saja akan menjadi semakin tua. Apalagi
dengan makin berkembangnya media sosial. Metode-metode tradisional akan menjadi
tidak efisien bila tidak didukung dengan metode yang lebih konvensional. Selain
itu, orang akan menjadi bosan mendapatkan pesan lama yang sama. Ada kebutuhan
untuk inovasi agar untuk mencapai dasar baru dan pelanggan dengan mudah bosan
dengan cara yang tidak biasa.
Dalam waktu belakangan ini, pendekatan iklan tradisional,
seperti televisi, radio, billboard, menampilkan produk di jendela ritel, dan
signage di bus dan taksi, dianggap berkurang kemampuannya untuk memenuhi tujuan
mengkomunikasikan pesan pemasaran kepada konsumen. Makin berkurangnya
efektivitas pendekatan-pendekatan tersebut karena banyak faktor seperti makin
terfragmentasinya, makin terfragmentasinya media, makin meningkatnya proporsi
khalayak yang enggan menerima pesan komersial, dan sebagainya.
Makin terfragmentasinya konsumen membuat konsep komunikasi
yang pesan-pesan komunikasi terlalu luas dan penggunaan media massa secara umum
menjadi kurang efektif. Demikian pula makin terfragmentasinya media membuat
biaya komunikasi mnjadi semakin mahal.
Situasi ini memaksa pemasar untuk memanfaatkan sebanyak
mungkin titik pertemuan (contact point), termasuk memanfaatkan unsur-unsur
lingkungan kelompok sasaran 'dalam penciptaan media dan materi pemasaran.
Misalnya, troli di supermarket, topi dan tanda-tanda di topi, lubang lapangan
golf, jalur jalan kaki, pin, baskom cuci tangan, kotak pizza, komidi putar
bagasi, bus umum, dan sebagainya.
Intinya, pemasar saat ini ditantang untuk menemukan dan
menggunakan pendekatan yang memungkinkan melakukan diferensiasi secara lebih efektif pesan pemasaran yang ingin
disampaikan ditangkap target marketnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar