Bulan lalu di luar dugaan saya ketemu dengan seorang teman
lama di lounge Bandara Minangkabau Padang. Hampir 15 tahun saya tak pernah ketemu
dia dan dia kini menduduki posisi kepala divisi komunikasi perusahaan di sebuah
kelompok perusahaan besar di Jakarta. Kami ngobrol ke sana kemari, hingga dia
bertanya, “Ada urusan apa Ed ke Padang?”
“Ada training tentang public relations,” jawab saya.
“Menurut kamu, di era media sosial sekarang ini, apakah
sebaiknay perusahaan membolehkan setiap karyawannya berbicara tentang
perusahaannya melalui media sosial?”
Saya belum sempat menjawab, dia langsung melanjutkan, “kalau
menurut saya, sialakn saja, asal bicara yang menjadi urusan dia dan bukan
menyangkut orang lain atau rahasia.”
Saya merenungkan pernyataan itu, dan dalam hatu saya mengakui, mungkin ada benarnya. Akan
tetapi, harus diakui bahwa saat ini perusahaan memang sulit mengontrol arus
informasi. Sangat banyak cara untuk menyebarkankan informasi secara cepat. Persoalannya,
di era dimana kecepatan informasi – hanya Anda yang harus menjadi yang pertama mengetahui
-- dinilai lebih tinggi dibandingkan akurasinya, bagaimana perusahaan berharap menyimpan
pesan secara benar dan konsisten dan bagaimana caranya bisa cepat keluar.
Salah satu jawabannya adalah perusahaan harus memiliki
kebijakan atau aturan khusus dan menegakkannya secara konsisten. Devon Brady,
manajer komunikasi pada Siemens Corporation seperti dikutip PR tactics,
mengatakan bahwa aturan tersebut harus menunjukkan batas yang jelas yang dapat
membuat perbedaan besar. "Ya, orang-orang dapat men-tweet apa saja yang
mereka inginkan - baik atau buruk - tetapi juga ingat bahwa sebagian besar
perusahaan saat ini memiliki kebijakan media sosial yang mencoba untuk mengatur
sekitar tweeting/posting informasi tentang perusahaan dan mengidentifikasikan
diri Anda sebagai seseorang yang bekerja untuk atau berafiliasi pada perusahaan
tersebut," kata Brady .
" Itu bukan untuk mengatakan bahwa tidak boleh melakukannya.
Tetapi dari sudut pandang perusahaan, mereka perlu dilatih dan dibiasakan untuk
memebadakan antaraapa yang bisa dan tidak boleh mereka lakukan, terutama yag
berkaitan dengan informasi tentang perusahaan. "
Biarkan karyawan Anda mengetahui bahwa jika mereka
membocorkan informasi yang bukan wewenangnya dan sebelum Anda mengetahui atau
menyetujuinya, ada konsekuensinya. Seperti diketahui, bila itu dilakukan
karyawan melalui Twitter atau Facebook, hal itu bisa dikenali. Akan tetapi,
bila informasi itu disiarkan melalui email -- meskipun email perusahaan dan
Anda bisa mengawasinya -- atau melalui pesan teks.
Namun demikian, menetapkan konsekuensi dan memberitahukan
kepada semua karyawan akan konsekuensi tersebut merupakan cara yang baik untuk
meyakinkan karyawan bahwa mereka tidak seharusnya menjadi orang-orang yang
menyebarluaskan informasi tentang perusahaan, terutama jika mereka tidak
memiliki informasi yang resmi.
"Jika perusahaan memiliki budaya yang kuat dan karyawan
merasa terkoneksi dengan perusahaan dan menjadi bagian dari keberhasilan
perusahaan, mereka akan lebih cenderung untuk tidak membiarkan sesuatu 'bocor'
sebelum keluar secara resmi kepada pubik," kata Brady . "Jika budaya
perusahaan lemah, Anda mungkin bisa melihat lebih banyak orang tidak peduli pada
perlindungan informasi perusahaan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar