Tragedi itu bisa jadi merupakan umpan baik untuk
meningkatkan perhatian pada praktik bisnis yang sehat dalam kaitannya dengan
lingkungan. Ini merupakan titik awal dimulainya gelombang inisiatif tanggung
jawab sosial perusahaan (CSR), khususnya terhadap lingkungan. Betapa tidak,
menurut perkiraan, kerusakan itu mengakibatkan kerugian sebesar $ 287 juta,
ganti rugi sebesar $ 5 miliar dan garis pantai sepanjang 1.900 kilometer terkena dampaknya.
Tapi sekarang, lebih dari 20 tahun kemudian, CSR mengalami
evolusi redefinisi. Beberapa survey mengungkapkan temuan yang menantang
perusahaan yang secara tradisional memfokuskan CSR-nya pada “green" saja.
Wacana CSR pun bergeser. Walaupun penekanan atas pengelolaan dampak negatif
masih sangat penting, namun nada wacananya makin jauh dari sumbang.
Banyak pakar dan perusahaan yang progresif telah melihat
betapa CSR bisa dilihat sebagai konsep yang membawa peluang besar bagi
peningkatan kinerja ekonomi perusahaan—di samping peluang peningkatan kualitas
hubungan perusahaan dengan pemangku kepentingannya.
Ambil contoh yang dilakukan Nestle di Lampung. Daerah di
ujung timur Pulau Sumatra itu dikenal sebagai penghasil kopi yang utama di
Indonesia. Sayangnya, Lampung dihadapkan kepada permasalahan produktifitas dan
kualitas kopi akibat banyaknya tanaman kopi yang sudah tua.
Kondisi ini bisa dianggap sebagai ancaman bagi Nestle –
produsen Nescafe – yang menggunakan biji kopi robusta dari Lampung sebagai
bahan bakunya. Nescafe yang memang menggunakan 100 persen biji kopi Indonesia
yang dibeli langsung dari 12.000 petani kopi di provinsi Lampung.
Itulah yang kemudian membuat Nescafe menggagas kampanye The Nescafe Plan – Di Balik Secangkir
Nescafe. Melalui program ini, selama
2013-2020, Nescafe akan membagikan 18
juta bibit tanaman kopi robusta berkualitas untuk peremajaan kopi kepada petani
kopi di Lampung. “Dalam konteks ini,
Nescafe berupaya mengembangkan produksi kopi yang berkelanjutan di
Lampung serta meningkatkan kesejahteraan
para petani melalui kemitraan berkesinambungan bersama dengan kelompok tani. Di
Nestlé kami menyebutnya Creating Shared
Value (CSV),” kata Arshad Chaudry, Presiden Direktur PT Nestle Indonesia.
Creating Shared Value (CSV) adalah sebuah konsep dalam
strategi bisnis yang menekankan pentingnya memasukkan masalah dan kebutuhan
sosial dalam perancangan strategi perusahaan. CSV merupakan pengembangan dari
konsep tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR).
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Michael Porter dan Mark Kramer pada
tahun 2006. Ini merupakan terobosan pendekatan CSR yang selama itu – menurut
Porter dan Kramer -- dilakukan terputus dari bisnis dan mengaburkan banyak
peluang besar bagi perusahaan ketika mereka melakukan kegiatan untuk
masyarakat.
Konsep CSV didasari pada ide adanya hubungan interdependen
antara bisnis dan kesejahteraan sosial. Porter mengkritik bahwa selama ini
bisnis dan kesejahteraan sosial selalu ditempatkan berseberangan. Pebisnis rela
mengorbankan kesejahteraan sosial demi keuntungan semata, misalnya dengan
melakukan proses produksi yang tidak memperhatikan lingkungan atau menciptakan
polusi. Disinilah Porter dan Kramer memberikan alternative gagasan CSV yang menekankan
adanya peluang untuk membangun keunggulan kompetitif dengan cara memasukan
masalah sosial sebagai bahan pertimbangan utama dalam merancang strategi
perusahaan.
Ada dua aspek penting dalam strategi penciptaan nilai
bersama Porter dan Kramer. Pertama, inisiatif harus mampu menciptakan nilai
bagi perusahaan dengan meningkatkan daya saing. Kedua, inisiatif harus
menciptakan nilai bagi masyarakat dengan memajukan kondisi sosial dalam
masyarakat di mana perusahaan beroperasi. Konsep Porter dan Kramer ini
mengasumsikan bahwa nilai sosial didefinisikan relatif terhadap biaya.
Hal ini membawa inisiatif penciptaan nilai bersama lebih
dekat ke pendekatan filantropi strategis yang berkaitan dengan efisiensi dan
efektivitas hasil-hasil sosial relatif terhadap investasi. Pertanyaan kunci di
sini adalah bagaimana caranya suatu inisiatif menghasilkan dampak sosial yang
lebih besar untuk setiap dolar yang dikeluarkan.
Program The Nescafe Plan sendiri merupakan inisiatif global dari Nestle yang dimulai pada tahun
2010 untuk mendukung pola bercocok tanam, produksi serta konsumsi yang bertanggung jawab. Melalui program ini
perusahaan juga dapat meningkatkan keunggulan kompetitif dengan melakukan
investasi di komunitas di mana mereka beroperasi. Awal 1990an, Nestlé merintis
program ini dengan berhubungan sangat dekat dengan Distrik Susu Moga di India.
Disini nestle melakukan investasi pada infrastruktur lokal, dan mentransfer
teknologi kelas dunia untuk membangun rantai suplai yang kompetitif sekaligus
meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kesehatan masyarakat,
pendidikan yang lebih baik, dan pertumbuhan ekonomi.
Semakin banyak, perusahaan yang menjalankan innisiatif penciptaan
nilai bersama dengan mengembangkan strategi bisnis yang menguntungkan dan memberikan
manfaat sosial yang nyata. Pemikiran ini menciptakan peluang baru bagi keuntungan
dan keunggulan kompetitif merek atau perusahaan. Pada saat yang sama, inisitif
tersebut menguntungkan masyarakat karena membantu memecahkan masalah-masalah
global yang mendasar.
Konsep penciptaan nilai bersama didasarkan pada ide untuk
melakukan kegiatan yang bisa meningkatkan keeratan hubungan antara bisnis dan
masyarakat. Dalam konteks ini, menjadikan filantropi sebagai fokus utama dalam
pengembangan CSV. Porter dan Kramer (1999) mengkritik filantropi karena gagal
dalam menciptakan nilai sosial karena kurangnya strategi.
Sebuah filantropi yang lebih strategis akan memfokuskan pada
misi dan menekankan efektivitas dalam memberikan dampak sosial yang terukur.
Porter dan Kramer (2002) berpendapat bahwa filantropi perusahaan juga harus
secara strategis meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan tersebut. Karenanya,
inisiatif sosial perusahaan harus diintegrasikan dengan strategi bisnis inti
sehingga secara strategis CSR mampu membedakan dan memberi jarak perusahaan
dari para pesaingnya.
Porter dan Kramer (2011) berargumen bahwa kapitalisme itu
sendiri dapat diciptakan kembali melalui upaya mengejar nilai bersama guna memajukan
kondisi ekonomi dan sosial di mana perusahaan beroperasi. Inisiatif tersebut
seyogyanya juga sekaligus meningkatkan daya saing perusahaan. Inti dari
pendekatan ini adalah bahwa perusahaan mengkaitkan keunggulan kompetitif dengan
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dengan mencari titik-titik yang
menguntungkan dari persimpangan antara peluang bisnis dan nilai-nilai sosial
Ketika Toyota memperkenalkan Prius, sebuah kendaraan hybrid
listrik/bensin, Toyota berhasil mendapatkan keunggulan kompetitif dengan
memasarkan sebuah kendaraan yang tidak hanya memberikan keuntungan ekonomis,
namun juga berdampak positif bagi lingkugan. Urbi, sebuah perusahaan konstruksi
asal Meksiko, mengembangkan pasar perumahan dengan memberikan kredit murah
untuk pekerja dengan gaji kecil, Whole Foods Market telah menjadi pemimpin
kategori di segmen supermarket dengan menawarkan makanan organik dan alami
kepada konsumen yang sadar lingkungan.
Saat ini, terdapat puluhan ribu perusahaan multinasional.
Bisnis perusahaan-perusahaan ini sangat tergantung pada jaringan yang luas dari
afiliasi, pemasok dan distributor agar dapat secara efektif melakukan bisnis
secara global. Banyak dari perusahaan-perusahaan multinasional yang dirundung
masalah karena berbagai dampak sosial dan lingkungan mereka operasi.
Agar operasi mereka bisa keberlanjutan perusahaan biasanya
bergerak melalui tahapan pembelajaran dan mulai mengintegrasikan
berkeberlanjutan kedalam strategi mereka. Mereka sadar bahwa mereka mempunyai
potensi dan peluang terkait dengan keberlanjutan tersebut. Sebagai perusahaan
multinasional mereka memiliki potensi untuk meningkatkan inovasi, mendorong penciptaan
kekayaan, transfer teknologi, meningkatkan produktivitas, memenuhi kebutuhan
dasar, meningkatkan standar hidup, dan meningkatkan kualitas hidup jutaan orang
di seluruh dunia.
Dari perspektif strategis, Porter dan Kramer mengajukan ide
penciptaan nilai bersama (creating shared value-CSV) yang melibatkan upaya
untuk menciptakan nilai ekonomi dengan cara yang juga menciptakan nilai bagi
masyarakat melalui inisiatif mengatasi kebutuhan dan tantangan mereka. Dalam
konteks akademik, strategi CSV merupakan irisan dari studi pembangunan, strategi,
teori pemangku kepentingan, inovasi, dan menjadi ukuran pencapian dari triple-bottom-line.
Sebagaimana artikel di Harvard Business Review tentang CSV,
perusahaan dapat mengejar peluang nilai bersama pada tiga tingkatan:
reconceiving produk dan pasar, mendefinisikan kembali produktivitas dalam
rantai nilai, dan kemungkinkankan pengembangan sebuah klaster. Peluang
penciptaan nilai bersama di setiap tingkat akan berbeda menurut industri,
perusahaan, dan geografi, tergantung pada bagaimana karakter bisnis erusahaan
dan strategi bersinggungan dengan isu-isu sosial .
Penciptaan nilai bersama dari produk reconceiving dan pasar
berfokus pada pertumbuhan pendapatan, pangsa pasar, dan profitabilitas yang
timbul dari manfaat pembangunan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang dilakukan
oleh produk dan jasa perusahaan. Penciptaan nilai bersama juga bisa dilakukan
melalui penentuan kembali produktivitas dalam rantai nilai yang berfokus pada
perbaikan dalam operasi internal yang meningkatkan biaya, akses terhadap input,
kualitas, dan produktivitas dicapai melalui perbaikan lingkungan, pemanfaatan
sumber daya yang lebih baik, investasi dalam karyawan, kemampuan pemasok , dan
daerah lainnya. .
Selain itu, penciptaan nilai bersama bisa dilakukan
memalalui pengembangan klaster lokal berasal seperti memperbaiki lingkungan
eksternal bagi perusahaan melalui investasi masyarakat dan memperkuat pemasok
lokal, institusi lokal, dan infrastruktur lokal dengan cara yang juga
meningkatkan produktivitas bisnis.
Pada tahun 2008, setelah enam bulan mempelajari kebutuhan
populasi kelas menengah ke bawah di Brazil yang sedang tumbuh, Coca - Cola
mengidentifikasi bahwa kebutuhan pengembangan keterampilan di kalangan pemuda
berpenghasilan rendah sebagai isu sosial inti fokus strategis. Sementara
pemerintah Brasil berhasil memberikan pendidikan dasar untuk semua anak-anak,
kebanyakan orang muda dengan pendapatan rendah memiliki sedikit atau tidak
memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan karena kurangnya keterampilan
yang relevan dan kesempatan kerja yang terbatas di komunitas mereka.
Untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan kerja dari
orang-orang muda, Coca - Cola berusaha menggunakan rantai nilai perusahaan.
Dengan bermitra dengan LSM lokal, Inisiatif Coletivo melatih pemuda setempat
selama dua bulan di ritel, pengembangan bisnis, dan kewirausahaan. Mereka
juga menempatkan beberapa pemuda peritel
lokal yang menjadi mitra Coca-Cola untuk mendapatkan pengalaman kerja pertama
mereka dan merekomendasikan ide untuk perbaikan.
Dengan menjalankan inisitif ini, Coca - Cola berharap pengecer
kecil dapat meningkatkan operasi mereka secara signifikan dengan bantuan
pelatihan dan mengakibatkan peningkatan penjualan produk Coca - Cola serta penetrasi lebih tinggi pada konsumen segmen
kelas menengah ke bawah yang sedang tumbuh.
Hasilnya, sekitar 30 persen dari anak muda orang yang
dilatih langsung mendapatkan pekerjaan pertama mereka di Coca-Cola atau salah
satu mitra, dan setidaknya 10 persen mendirikan bisnis mereka sendiri dengan
dukungan kredit mikro dari perusahaan. Dari perspektif bisnis, investasi dalam
situs Coletivo menguntungkan dalam waktu hanya dua tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar