Menjadi karakter manusia, jika diberi pilihan biasanya
mereka lebih memilih bersosialisasi. Sejak munculnya Facebook, Twitter,
Instagram dan lainnya yang disebut dengan jejaring sosial atau Web 2.0,
manusia telah belajar untuk bersama, intim, dan spontanitas. Di Web
seseorang bisa melakukan apa yangdiinginkan seperti mengedit wajah untuk
menunjukkan kepada orang lain dengan cara yang tidak mungkin dalam ruang fisik
sebenarnya. Ini yang kemudian memunculkan pertanyaan, apakah yang selama ini
kita saksikan di website, media sosial adalah sesuatu yang asli atau tidak.
Alice E. Marwick, seorang pengamat yang mengajar budaya
online Amerika di Fordham University melihat bahwa Teknologi media sosial
seperti YouTube, Twitter, dan Facebook menjanjikan budaya partisipatif baru
melalui online. Namun, melalui buku ini, Marwick berpendapat bahwa Web 2.0 hanya mendorong sebuah keasyikan terhadap
suatu status dan perhatian, padahal hal itu belum tentu terjadi.
Penelitiannya yang menggunakan metode wawancara mendalam dengan
pengusaha, selebriti internet, dan wartawan Silicon Valley - mengeksplorasi budaya dan ideologi masyarakat
yang akrab dengan teknologi seperti di San Francisco pada periode antara
perkemabngan dot.com dan toko App atau ketika kota itu menjadi pusat
perkembangan media sosial.
Marwick berpendapat bahwa tujuan awal revolusioner dari
penggunaan media sosial gagal terwujud.
Di sisi lain, banyak orang yang masih melihat media sosial sebagai sarana pendemokrasian.
Jika tidak mengubah pengguna menjadi pemasar dan promosi diri, perusahaan
teknologi membuat pihak lain berkecenderungan untuk melanggar privasi dan
memprioritaskan keuntungan dari partisipasinya. Marwick menganalisis cara orang
atau lembaga membangun statusnya - seperti self-branding, micro-celebrity, dan
life-streaming - untuk menunjukkan bahwa
Web 2.0 tidak memberikan sebuah revolusi budaya, tetapi hanya melanjutkan
ketimpangan dan memperkuat tradisi stratifikasi sosial yang dibatasi oleh ras,
kelas, dan gender.
Buku ini merupakan hasil studi mendalam yang dilakukan
Marwick dengan pendekatan etnografi budaya pada perusahaan-perusahaan di
Silicon Valley selama 2006-2010. Update status adalah versi yang lebih mudah
dibaca dari disertasi Ph.D Marwick di Yale University. Buku menceritakan
tentang gosip, pesta, budaya startup,
dan kemunculan 2.0. Tujuan Marwick melakukan studi ini adalah untuk menjelaskan
kepada pembaca seputar cara perusahaan-perusahaan Silicon Valley beroperasi,
bukan dari sudut pandang ekonomi, tetapi dari sudut pandang budaya. Pertanyaan
utamanya adalah nilai-nilai dan keyakinan apakah yang mengikat kebersamaan
dalam budaya Web 2.0, khususnya di Valley?
Dalam buku ini, Marwick menghindari banyak bahasa akademisi
sperti yang sering dijumpai di buku fiksi
populer ala Malcolm Gladwell, kecuali dia menggunakan kata-kata seperti
"simulacra." Dalam bunya ini, sejak awal dia mengatakan bahwa
tujuannya adalah untuk memberikan gambaran tentang budaya Silicon Valley selama
periode dia melakukan pengamatan, terutama pada nilai-nilai sub-budaya
tertentu, keyakinan, atau cara bagaimana budaya tersebut bekerja.
Pada awal buku ini
dia mengatakan bahwa meski banyak klaim yang mengatakan bahwa teknologi
telah membangun relasi yang egaliter, namun pada kenyataannya Web 2.0 adalah
seperti subkultur lain yang terbangun oleh hierarki. Hireraki itu selanjutnya
memberikan semacam pedoman atau cara suatu tindakan yang dibentuk dan kemudian
mengikat anggota kelompok.
Menurut dia, para insider menggambarkan adanya penapat yang
agak berbeda ini dengan sangat rinci. Pengamatan terhadap hampir semua kelompok
online mengungkapkan bahwa secara hirearki, status sering berfungsi untuk
membatasi partisipasi, yang kadang-kadang mengikuti garis kekuasaan. Jadi pada
dasarnya, perusahaan-perusahaan di
lembah Silicon tidaklah beroperasi secara egaliter, melainkan suatu tempat yang
penuh dengan kekuasaan dan hierarki yang tidak berbeda dari subkultur Amerika
lainnya.
Pandangan Marwick tentang Silicon Valley seakan mengungkapkan
sinisme Marwick adalah jauh lebih sinis daripada pandangan saya. Tapi pandangan
itu bisa menjadi sumbangan kepada pembaca, janganlah berharap kue jatuh dari
langit. Marwick tidak ingin mengatakan bahwa hal itu adalah sesuatu yang
memalukan. Betapa tidak, dalam lingkungan dimana pandangan orang luar seakan
mengatakan bahwa mereka demokrasi, di dalamnya banyak terjadi perbedaan
berdasarkan jenis kelamin, kelas, dan ras Perempuan tidak memiliki akses ke
modal, dan orang-orang kulit putih atau orang-orang kaya masih memegang kendali
pada pengambilan keputusan akhir. Disini Marwick hanya mengatakan bahwa praktek
kerja di Silicon Valley tidak jauh berbeda dari subkultur kapitalis Amerika
lainnya.
Status Update memang bukan untuk pengadopsi awal, orang-orang
yang aktif di teknologi, atau orang-orang yang memiliki akar budaya Silicon
Valley. Disini pembaca tidak akan menemukan banyak hal baru. Bahkan banyak
pembaca blog teknologi Engadget atau seperti The Verge akan mengetahui sebagian
besar poin yang ada dalam buku ini sehingga terasa usang. Namun demikian, buku
ini menarik bagi pengguna baru media sosial, orang-orang media utama, atau
pembaca yang baru saja membeli smartphone dan terpesona oleh budaya teknologi .
Meski demikian ada sesuatu yang baru dari fakta yang
diungkap buku ini. Bila selama ini beberapa buku yang membahas tentang internet
lebih banyak membahas soal ketimbangan dari sisi pengguna internet, dari buku ini kita dapat melihat akan adanya
sebuah rekayasa dari sebuah penampilan atau sesuatu yang tampak. Di Bab 5 misalnya Marwick mengeksplorasi budaya
lifestreaming. Disini dia melakukan pengamatan terhadap mereka yang dia sebut
mencintai media sosial dan menggunakan program untuk melacak hal-hal kecil dari
kehidupan sehari-hari, mulai dari katalog musik ( Last.fm ) untuk pelacakan dan
penilaian setiap hubungan seksual (Bedposted). Dia menyebut lifestreaming
sebagai sebuah strategi pengeditan simulacrum dimana secara khusus sesuatu
dikonfigurasi untuk disaksikan oleh pemirsa.
Marwick melengkapi laporan lapangan ini dengan keluhan
tentang kedangkalan budaya internet. Dia berulang kali mengingatkan kita bahwa
personas diadopsi oleh "micro-selebriti" melalui Twitter dan di
blogosphere penampilan direkayasa secara hati-hati, meskipun pretensi mereka
adalah untuk "keaslian." Marwick lalu menunukkan bagaimana sebenarnya
sebuah ketenaran dicapai. Menurut dia, ada dua cara untuk mencapai ketenaran
melalui internet. Pertama dengan secara sadar mengatur diri untuk mencapai
pengakuan, atau melalui pengakuan dari orang lain yang telah mengukir prestasi
teretentu. Hal ini berlaku untuk semua yang ingin mencapai ketenaran pada
umumny. Ini sudah menjadi tradisi yang mungkin telah ada selama ribuan tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar