Dalam beberapa waktu terakhir ini, kampanye politik negatif
telah menjadi topik diskusi di antara kandidat, masyarakat, dan pakar politik.
Taktik kampanye negatif yang paling popular dewasa ini nal - seperti yang
dialami oleh orang-orang yang disebut-sebut sebagai Capres seperti Prabowo dan
Jokowi.
Fenomena serangan negatif tersebut memunculkan persepsi yang
berkembang luas bahwa sejarah peradaban politik saat ini telah digantikan oleh
era kampanye menyerang. Ada kekhawatiran besar bahwa peningkatan kampanye
menyerang tersebut memunculkan sejumlah efek merugikan pada sistem politik di
Indonesia, seperti penurunan minat dalam politik dan kecenderungan berkurangnya
minat memilih.
Pada tahun 1980-an dan tahun 1970-an, ketika strategi iklan
negatif masih dianggap "maverick," iklan dengan isi dan gaya negatif
dalam kampanye menjadi andalan dalam mendapatkan suara pemilihan di Amerika
Serikat (Advertising Age 1998; Will 1986). Sementara iklan tersebut secara
konsisten tidak disukai (Ansolabehere dan Iyengar 1995; Hill, 1989) dan diperkirakan
dapat mengasingkan sejumlah besar pemilih potensial (Freedland 1994; Rothenberg
1990; Teepen 1995), efektivitasnya didukung oleh peningkatan penggunaan yang
berkelanjutan pada setiap tingkat kampanye (Jamieson 1992; Newsweek 1996;
Tinkham dan Weaver Lariscy, 1997).
Penelitian akademik, bagaimanapun, menunjukkan bahwa efek
dari iklan politik negatif mungkin tidak begitu jelas. Beberapa studi
menunjukkan bahwa iklan negatif dapat membangun opini negatif pada calon yang menjadi sasaran kampanye tersebut (Boydston
dan Kaid 1983; Garramone 1985; Merritt 1984). Penelitian lain, menemukan efek
reaksi terhadap calon yang mensponsori yang sama besar atau lebih besar dari efek yang
diinginkan (Bukit 1989; Faber , Tims dan Schmitt 1990).
"Orang-orang lebih cenderung menghargai dan memberikan
suara untuk calon yang mensponsori iklan negatif, jika iklan yang disajikan
dengan cara tidak biasa dari waktu ke waktu,” kata Fernandes, professor dari UM
School of Communication. "Untuk calon yang tidak memiliki anggaran yang
besar untuk iklan politik dapat menggunakan iklan yang sama, yakni
mengulang-ulang; tapi dengan cara yang lebih strategis."
Dalam sebuah studi, mahasiswa berpartisipasi dalam dua tes
terpisah. Pertama , 150 peserta menyaksikan iklan politik negatif berdurasi 30
detik berulang-ulang dari calon yang tidak diperkenalkan kepada peserta (satu,
tiga, atau lima eksposur). Iklan tersebut disajikan secara berurutan dan massive.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa evaluasi dan kemungkinan
memberikan suara kepada calon yang mensponsori kampanye negatif tertinggi
terjadi ketika peserta terkena iklan tiga kali dan terendah ketika mereka
teterpa iklan lima kali .
Pada tes kedua, 306 mahasiswa menyaksikan iklan kandidat
yang tidak diketahui dalam sebuah program televisi berdurasi 30 menit, dengan
berbagai interval waktu antara pengulangan iklan. Setelah itu peserta mengisi
kuesioner untuk mengevaluasi calon sponsor dan calon yang diserang, serta
kemungkinan mereka memberikan suaranya.
Hasil penelitian yang dipublikasikan dengan judul, Effects
of Negative Political Advertising and Message Repetition on Candidate
Evaluation, pada March of 2013 di Journal Mass Communication and Society, menunjukkan
bahwa interval waktu yang lebih besar diantara pengulangan iklan mendukung
evaluasi calon sponsor dan merugikan evaluasi calon yang menjadi sasaran dari
kampanye negatif tersebut. Hal ini berlaku sejalan dengan peningkatan frekuensi
pengulangan. Ini menunjukkan bahwa calon yang mensponsori dapat menghindari
efek balik dengan memungkinkan eksposur iklan dengan interval waktu yang lebih
besar.
"Dalam studi, saya menunjukkan bahwa iklan politik
negatif bekerja di bawah kondisi tertentu," kata Fernandes. "Saya
kira iklan negatif bisa membantu proses politik, karena orang dapat melihat
beberapa fakta, memproses informasi lebih hati-hati dan kemudian - ketika
memberikan suara - mereka dapat membuat suatu keputusan berdasarkan informasi
tersebut."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar