Ibarat mahluk hidup, brand atau merek juga memiliki
karakteristik yang sama. Pertama dia dilahirkan, tumbuh, dewasa, loyo dan mati.
Bagaimana membuat merek tetap kokoh? Lalu bagaimana membangkitkan kembali brand
yang loyo?
Januari lalu, kelompok Kino meluncurkan Absolute Free, sabun
pembersih khusus daerah kewanitaan. Merek ini 'menggantikan' Absolute yang
gagal di pasar. “Dalam setahun, kami cuma bisa menghasilkan omzet Rp 300-400
juta. Angka itu masih jauh dari target awal kami,” aku Harry Sanusi, Chief Executive Officer Group Kino. Pada posisi
seperti itu, pemasar memang dihadapkan pada pilihan mematikan atau
merevitalisasi merek tersebut.
Menurut David A. Aaker – pakar merek dari University of
California – dalam bukunya, Managing Brand Equity: Capitalizing on the Value
of a Brand Name, revitalisasi merek (brand revitalization) berarti membangkitkan kembali merek yang loyo
tetapi diperkirakan masih punya harapan hidup bahkan berkembang. Sasarannya
bukan hanya meningkatkan penjualan melainkan menciptakan penjualan yang
berlandaskan pada ekuitas yang dikuatkan.
Banyak cara untuk membangkitkan merek. Antara lain dengan
meningkatkan penggunaan oleh konsumen yang sudah, misalnya melalui iklan
pengingat atau membuat penggunaan menjadi lebih mudah, memasuki pasar-pasar
baru, atau reposisi. Dalam kasus Absolute, semula produk itu dikomunikasikan
dengan pendekatan medikal. Akibatnya, Absolute dipersepsikan sebagai produk
insidental. Alias, saat dihinggapi penyakit kewanitaan, barulah mereka tergerak
untuk mengkonsumsinya. Belakangan, dengan menambah kata Free di belakang
Absolute, produk ini dikomunikasikan sebagai produk kosmetik. Sehingga kapan
pun bisa dipakai.
Yang dilakukan Kino memang berisiko. Itu karena Kino
mempertaruhkan investasi miliaran rupiah pada merek Absolute yang belum kokoh.
Namun, Kino mungkin beranggapan lain. Brand Absolute masih memberi harapan
mendongkrak penjualan. Selain itu, investasi yang dibutuhkan bisa jadi lebih
murah ketimbang menggunakan merek yang baru sama sekali. Juga, risiko kegagalan
merek baru lebih besar.
Persoalannya, kapan revitalisasi harus dilakukan sehingga
merek tetap memberi keuntungan yang optimum? Terlalu awal direvitalisasi bisa
jadi pemborosan, sebaliknya bila terlambat bisa kebablasan. Itu sebabnya,
pemasar harus jeli mencermati siklus hidup merek. Seperti dimaklumi, pada dasarnya suatu merek
atau produk memiliki karakteristik seperti halnya manusia. Ia lahir, tumbuh,
dewasa dan mati. Merek atau produk pun memiliki siklus, yakni lahir,
introduksi, pertumbuhan, maturity (dewasa), dan penurunan.
Masing-masing tahap memiliki karakteristik tertentu dan memerlukan treatment
atau srategi yang berbeda.
Tahap pengenalan
misalnya, antara lain ditandai dengan penjualan yang rendah, biaya per
kustomer tinggi, dan keuntungan yang
negatif. Sedangkan tahap maturity memiliki karakteristik penjualan
mencapai puncaknya. Tahap ini meliputi tiga fase. Pertama, growth maturity
dimana pertumbuhan penjualan mulai turun. Kedua, stable maturity – penjualan
per kapita tidak tumbuh karena pasar jenuh. Disini sebagian besar konsumen
sudah mencobanya dan pertumbuhan pasar selanjutnya hanya mengandalkan
perrtumbuhan penduduk dan replacement demand. Ketiga, decaying maturity. Pada
fase ini -- secara absolut -- angka penjualan turun dan konsumen mulai
berpindah ke merek atau produk lain.
Turunnya angka penjualan bisa karena bermacam-macam. Misalnya;
ketinggalan teknologi, pergeseran selera konsumen, dan meningkatnya persaingan.
Repotnya, kebanyakan merek berada pada tahap maturity. Itu sebabnya,
tugas manajemen pemasaran adalah memelototi tahap siklus hidup ini. Meski bila
kematian bagi manusia adalah suatu kepastian, namun --untuk merek -- tahap
penurunan bukanlah sesuatu yang tak bisa diulur. Paling tidak, dengan mengenali
tanda-tanda awal terjadinya penurunan atau ancaman yang dapat menyebabkan
terjadi penurunan, bisa dicari jalan untuk menstimulasi penjualan. (Jakarta, 21 April 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar