Lima tahun lalu, public di Indonesia belum mengenal Joko Widodo, Dahlan Iskan, Tri Rismaharini, Ridwan kamil dan sebagainya. Namun nama-nama itu kini popularitasnnya mengalahkan tokoh-tokoh yang lima tahun banyak disebut sebagai pemimpin nasional. Itulah effect dari the More Revolution, the Mobility Revolution, dan the Mentality Revolution
Ketika memberikan pembekalan kepada para peserta Dialog
Kebangsaan pada akhir April lalu, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional
(Lemhannas) Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA, sempat menyinggung soal
buku The End of Power dengan menyebut sebagai buku yang layak baca.
Tak berlebihan. Ini karena buku ini bukan hanya mengajukan
premis tentang pergeseran kekuasaan dari satu negara ke negara lain, dari satu
partai politik ke partai politik yang lain, atau dari satu model bisnis ke
model bisnis yang lain, penulis buku ini, Moisés Naim juga mengajukan tesis
tentang membusuknya kekuasaan.
Bila pada 1977, sekitar 89 negara diperintah oleh pemimpin
yang otoriter, saat ini lebih dari setengah populasi dunia hidup dalam alam
demokrasi.
Di perusahaan, para CEO kini memiliki banyak keterbatasan dan lama mereka memagang jabatan juga lebih pendek dari pendahulunya. Alat-alat perang modern, kini jauh lebih murah
dan lebih mudah diakses, sehingga memungkinkan bagi kelompok-kelompok seperti
Hizbullah untuk membeli drone sendiri misalnya. Dalam semester kedua tahun 2010,
sepuluh hedge fund dunia menghasilkan pendapatan yang melampui gabungan
pendapatan enam bank terbesar di dunia.
Bisa dikata bahwa buku ini merupakan potret perjuangan Naim
sendiri. Selama karirnya, Moises Naim telah terombang-ambing antara menjadi
mahasiswa dan praktisi kekuasaan. Bagaimana tidak, pada usia dewasa sebelum
waktunya, yakni 36 tahun, dia diangkat menjadi menteri perdagangan dan industri
Venezuela.
Kemudian dia menjabat sebagai Direktur Bank Sentral Venezuela dan
direktur eksekutif Bank Dunia. Dia menjadi seorang profesor ekonomi, seorang
kolumnis yang produktif, seorang penulis beberapa buku tentang hubungan
internasional dan editor majalah Foreign Policy. Sebagai seorang pembicara di
berbagai pertemuan elit mulai dari Davos, Bilderberg hingga Sun Valley, Naim
telah memberikan semacam pengaruh intelektual yang membentuk pendapat dalam dunia pemerintahan, keuangan dan media.
Yang menarik adalah, pada saat para kritikus pemerintah, bank-bank besar, raja media dan konsentrasi kekayaan, mengutuk kekuatan mereka yang jumlahnya cuma 1 % itu, Naim justru berpendapat bahwa kekuatan para pemimpin - mulai dari politik, perusahaan, militer, agama, serikat pekerja – menghadapi persoalan yang lebih besar. Persoalan yang mereka hadapi lebih kompleks di satu sisi tapi di sisi lainnya tangan mereka menjadi lebih lemah daripada masa-masa sebelumnya.
Tantangan bukan hanya datang dari pesaing langsung, tetapi dari elemen-elemen yang mungkin tidak diduga sebelumnya. Para pemberontak, partai politik pinggiran, start-up yang innovatif, hacker, aktivis yang terorganisir secara longgar, media warga, pemimpin muda, dan individu karismatik kini datang entah dari mana dan mengguncang tatanan lama. Mereka semua adalah micropowers: aktor kecil, dan tidak diketahui. Selama ini mereka-mereka yang diabaikan itu menemukan cara untuk melemahkan, memagari, atau menggagalkan pemain-pemain besar.
Pembusukan kekuatan ini melampaui pergeseran pengaruh dari
negara maju ke negara-negara berkembang, atau di antara wilayah di dunia.
Berakhirnya Perang Dingin dan kelahiran Internet membantu munculnya
micropowers. Tetapi mereka bukan berarti menjadi satu-satunya faktor penting.
Naim menunjuk pada tiga revolusi besar -- yakni the More Revolution, the
Mobility Revolution, dan the Mentality Revolution – yang menjadi pemicu
munculnya microplayers tadi.
The more revolution merujuk pada situasi bahwa saat ini orang, negara, kota, partai politik, dan tentara jumlahnya semakin banyak. Saat ini juga lebih banyak perusahaan yang menjual barang dan jasa, lebih banyak senjata dan lebih banyak obat-obatan; lebih banyak siswa yang memiliki komputer; lebih banyak pengkhotbah dan sekaligus lebih banyak penjahat. Output ekonomi dunia telah meningkat lima kali lipat sejak tahun 1950. Pendapatan per kapita telah tiga setengah kali lebih besar dari sebelumnya. Yang paling penting, terdapat lebih banyak orang – sekitar 2 miliar lebih banyak -- dari dua dekade lalu. Pada tahun 2050 populasi dunia akan menjadi empat kali lebih besar daripada satu abad sebelumnya.
Beberapa kelompok dan gerakan pemberontak politik lahir dan
terkenal saat ini – menurut catatan Naim seperti Tea Party , the Pirate Parties
di Eropa dan, terakhir Gerakan Bintang Lima di Italia – karena lebih fleksibel
dan relative lebih mudah diorganisasir, kini muncul sebagai kelompok yang lebih
kuat. Di sisi lain, seperti yang terjadi di dunia bisnis, konglomerat yang memiliki usaha beragam seperti energi,
media, perbankan, transportasi dan IT kini harus menghadapi persaingan yang
lebih berat karena semakin banyaknya pesaing, termasuk diantaranya dari
negara-negara berkembang. Di sisi lain pula, mereka kini menghadapi serangan
musuh lain -- seperti pemberontak, teroris dan geng militer seperti Meksiko
Zetas -- yang kini menjadi semakin dikendalikan.
"Revolusi mobilitas" berupa pergerakan orang,
barang, uang, ide-ide, dan nilai-nilai pada tingkat yang tak terbayangkan. Mobilitas orang dan ide
kini mengakhiri captive audiences, dalam artian sebuah ide tidak hanya untuk
kalangan tertentu tapi untuk semua orang.
Dengan "revolusi mobilitas," menurut Naim, pergerakan orang,
ide-ide dan modal berlangsung dengan
cara yang lebih mudah daripada yang pernah mereka lakukan. Misalnya, diaspora
dan masyarakat imigran telah mengubah keseimbangan kekuasaan baik di dalam
komunitas baru mereka sendiri maupun keseimbangan geopolitik yang lebih besar
dengan menyebarkan ide-ide dan lewat pengiriman uang ke negara asal mereka.
Revolusi mobilitas menciptakan kelas menengah baru , makin
meluas dan cepat tumbuhnya kesadaran
bahwa orang lain lebih makmur, lebih memiliki kebebasan, dan pemenuhan pribadi
daripada yang mereka lakukan. Para anggota baru dari kelas menengah global
berusaha mengejar keterketinggalan mereka.
Masyarakat di banyak negara Islam misalnya, mengubah tradisi yang selama
ini dipegangnya. Ini ditandai dengan
kebangkitan industri fashion yang ditujukan untuk perempuan berjilbab,
desakan untuk sistem perbankan tanpa bunga seperti yang terjadi di
negara-negara Barat yang memiliki komunitas imigran Muslim yang besar.
Akhirnya, revolusi mentalitas – mencerminkan perubahan besar
dalam pola pikir, harapan, dan aspirasi yang mengantarkan pergeseran ini. Ini
berarti terjadi suatu transformasi aspirasi, harapan dan nilai-nilai sehingga
individu tak lagi menganggap sesuatu sebagai hal yang biasa. Revolusi
mentalitas menggambarkan efek dari dua fenomena lain bahwa populasi saat ini
memiliki pola berpikir yang berbeda. Sebagai akibat dari paparan yang terjadi
di lebih banyak tempat, lebih orang, dan ide-ide, orang menjadi semakin sulit
menerima kebijaksanaan atau menunjukkan hormat kepada bentuk-bentuk kekuasaan
tradisional. Ilustrasi tentang ini adalah semakin banyaknya orang yang mempertanyakan
kebijakan pemerintah, agamawan dan hak-hak perusahaan.
Namun, semua itu bukan berarti menjadi pertanda akhir dari
peran negara, militer konvensional, bisnis besar atau gereja-gereja. Mereka
bisa saja masih eksis, namun kekuasaannya makin dibatasi dan posisi mereka
menjadi kurang aman. Para pemain besar yang saat ini tampak kuat kini makin sulit
menyelesaikan masalah tersebut. Dalam konteks ini, menurut Naim, kekuasaan
menjadi semakin penting bila memiliki fungsi sosial. Dalam arti kata, perusahaan
misalnya, bisa menjalankan fungsi itu dengan melaksanakan tidak hanya apa yang
menjadi tanggungjawabnya, tetapi menjalankan aksi sosial ketika kekuasaan
gagal.
Yang ada sekarang, kata Naim, sudah terlalu banyak, terlalu
banyak yang bergerak, dan terlalu banyak tuntutan dan perspektif perubahan.
Pada kondisi seperti itu, orang baru bisa muncul setiap saat dan secara efektif
bisa menantang atau melemahkan kekuatan Anda. Tesis ini menjadi relevan
manakala dikaitkan dengan fenomena yang terjadi di Indonesia. Kemunculan
tokoh-tokoh nasional baru yang selama ini tidak diperhitungkan karena tertutup
tokoh-tokoh lama membuktikan hipotesis Naim. Lima tahun lalu, public di
Indonesia belum mengenal Joko Widodo, Dahlan Iskan, Tri Rismaharini, Ridwan
kamil dan sebagainya. Namun nama-nama itu kini popularitasnnya mengalahkan
tokoh-tokoh yang lima tahun banyak disebut sebagai pemimpin nasional.
Intinya, More, Mobility, dan Mentality Revolutions menantang
model kekuasaan tradisional. Dalam model kekuasaan yang besar, terpusat,
organisasi dikoordinasi melalui pengerahan sumber daya yang luar biasa. Semakin
berkembangnya tiga revolusi tersebut, organisasi yang mengandalkan pemaksaan
menghadapi persoalan semakin tingginya biaya, bukan hanya mempertahankan pangsa pasar tetapi juga
untuk mengawasi pasar mereka.
Sebagai pengamat yang tajam, Moisés Naim – kata Francis
Fukuyama – dalam the End of Power menawarkan perspektif baru yang menarik
tentang mengapa kekuasaan menghadapi tantangan lebih berat dari sebelumnya.
Gambarannya lebih mendalam tentang pergeseran kekuasaan di berbagai usaha
manusia, dari bisnis sampai politik dan militer, pertama, membuka mata pembaca
untuk melihat fenomena yang biasanya tidak terkait. Kedua, memaksa pembaca
untuk berpikir ulang tentang bagaimana
dunia telah berubah dan bagaimana kita perlu meresponnya.
Judul Buku : The End of Power: From Boardrooms
to Battlefields and Churches to States, Why Being in Charge Isn’t What It Used
to Be
Penulis : Moisés Naim
Penerbit : Basic Books, 2013
Tebal : 306 halaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar