Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kesiapan perubahan
dianggap sebagai tahap penting yang perlu dilakukan untuk keberhasilan adopsi
perubahan (Armenakis et al, 1993). Kesiapan untuk perubahan awalnya
dikonseptualisasikan dalam konteks psikologi kesehatan dan penelitian medis
(misalnya Block & Keller, 1998; Prochaska, Redding, dan Evers, 1997).
Penelitian ini mulai dilakukan dengan objek perilaku sehat tertentu (misalnya
merokok). Namun kemudian, mereka mengadopsi kesiapan ke dalam setting
organisasi. Hasil-hasil penelitiannya menunjukkan bahwa banyak faktor yang
secara efektif mempengaruhi implementasi perubahan organisasi.
Armenakis et al (1993) menggambarkan dua program tindakan
diperlukan untuk menciptakan kesiapan perubahan dalam suatu organisasi. Yang
pertama adalah mengkomunikasikan sebuah pesan kesenjangan. Pesan ini ditujukan
untuk memberikan pemahaman kepada karyawan tentang kondisi saat ini, kondisi
yang diharapkan, dan perlunya perubahan. Yang kedua adalah untuk membangun
kepercayaan pada karyawan bahwa mereka memiliki pengetahuan, keterampilan dan
kemampuan yang diperlukan untuk menghadapi perbedaan (Armenakis et al., 1993).
Membangun kepercayaan perlu karena jika karyawan merasa tidak memiliki
self-efficacy kemampuan untuk berubah, maka hal ini dapat mengakibatkan reaksi
negatif seperti pembelaan diri dan penolakan (Nadler & Tushman, 1989).
Chreim (2006) menemukan bahwa karyawan menerima perubahan
jika mereka menganggap bahwa keterampilan dan kemampuan individu mereka sesuai
dengan yang dibutuhkan dalam peran mereka yang baru nanti. Dengan menjalankan
dua program ini, tindakan untuk menciptakan kesiapan sebuah organisasi
dipandang sebagai upaya mencairkan keyakinan dan sikap karyawan dalam
mempersiapkan mereka untuk perubahan (Armenakis et al, 1993).
Sebagai contoh, orang yang memiliki rasa percaya diri pada
kemampuan mereka mengatasi perubahan pekerjaan -- atau mereka yang memiliki
self-efficacy yang tinggi -- dilaporkan memiliki kesiapan tinggi untuk
perubahan organisasi dan berpartisipasi lebih
pada kegiatan merancang ulang rencana perubahan (Cunningham et al.,
2002). Peneliti lain menekankan pentingnya membangun keyakinan seorang karyawan
terhadap manfaat dari perubahan bagi organisasi dan proses kerja (Jones,
Jimmieson, & Griffiths , 2005 ), dan keyakinan individu bahwa perubahan
adalah "penting dan bisa berhasil" (Eby, Adams, Russell, & Gaby,
2000: 422).
Kesiapan untuk perubahan didefinisikan sebagai suatu sikap
yang secara kolektif dipengaruhi oleh isi perubahan, proses perubahan, konteks
perubahan dan individu karyawan (Holt, Armenakis, Feild, & Harris, 2007).
Kesiapan untuk perubahan tercermin pada sejauh mana karyawan secara emosional
dan kognitif cenderung menerima rencana perubahan (Holt et al, 2007).
Holt et al ( 2007) menggambarkan kesiapan untuk perubahan
sebagai bangunan multidimensi berdasarkan empat komponen, yakni apakah karyawan
merasa bahwa perubahan itu sesuai (kesesuaian), apakah mereka percaya bahwa
manajemen mendukung perubahan (dukungan manajemen), apakah mereka merasa mampu
membuat perubahan tersebut berhasil (self-efficacy ), dan apakah mereka percaya
bahwa perubahan itu menguntungkan mereka secara pribadi, yang dapat mengingatkan
mereka untuk membutuhkan perhatian tentang perubahan (valensi pribadi). Dengan
mengukur semua faktor ini secara kolektif, kombinasi itu menghasilkan alat ukur
kesiapan untuk perubahan yang lebih komprehensif.
Sebuah perspektif saat ini tentang kesiapan untuk perubahan
yang diperkenalkan sebagai konstruk multidimensi yang berakar pada empat
komponen: kesesuaian (karyawan merasa bahwa perubahan itu sesuai dengan
organisasi, karyawan merasa bahwa perubahan sebagai sesuatu yang perlu
dilakukan), dukungan manajerial (karyawan merasa bahwa manajer mendukung
perubahan), self efficacy (karyawan merasa bahwa mereka memiliki keterampilan
dan kompetensi untuk berhasil mengatasi perubahan), dan valensi pribadi
(karyawan percaya bahwa perubahan akan menguntungkan pribadi) (Holt et al.,
2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar