Salah satu persoalan mendasar bagi keberhasilan perubahan
organisasi adalah penerimaan perubahan oleh karyawan. Ini sekaligus mengkover
persoalan bahwa dalam setiap perubahan akan selalu diikuti oleh adanya
penolakan terhadap perubahan tersebut. Kubler-Ross (1973) berpendapat bahwa
setiap orang melalui lima tahap proses ketika berhadapan dengan perubahan,
yakni penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.
Orang-orang cenderung menentang perubahan dikarenakan mereka
merasa tidak aman dan tidak pasti terhadap hasil yang akan diperoleh nantinya.
Penolakan perubahan tersebut tidak hanya sebagai fungsi dari sikap
disposisional mereka terhadap perbedaan yang dirasakan antara perubahan dan
status quo, tetapi bisa juga dikarenakan mereka kurang informasi tentang apa,
bagaimana serta kapan manfaat perubahan bisa mereka rasakan (Oreg, 2006).
Karena itulah, salah satu strategi untuk mengurangi
resistensi pada karyawan adalah dengan melibatkan karyawan ke dalam proses dan
perubahan itu atau memberdayakan mereka untuk membuat perubahan sendiri.
Beberapa studi empiris mendukung strategi untuk keberhasilan pelaksanaan
perubahan, terutama dalam sektor publik (Warwick, 1975, Denhardt dan Denhardt,
1999; Poister dan Streib, 1999).
Namun, keterlibatan karyawan saja tidak cukup. Selama proses
perubahan tersebut manajer perlu memainkan peran dalam mendorong dan
mendukung perubahan tersebut (Thompson
dan Sanders, 1997). Bruhn, Zajaz dan Al-Kazemi (2001) setuju dengan pandangan
ini dengan mengatakan bahwa keterlibatan karyawan harus luas dan mencakup semua
tahapan proses perubahan. Mereka juga menekankan pentingnya dukungan dan
keterlibatan tim manajemen dalam proses perubahan tersebut.
Kesiapan untuk perubahan juga menjadi faktor penting.
Kesiapan tercermin dalam keyakinan, sikap, dan niat anggota organisasi
berkaitan dengan perubahan yang diperlukan dan kapasitas organisasi untuk
berhasil melakukan perubahan. Ini adalah aspek kognitif terhadap perilaku, baik
penolakan maupun dukungan terhadap upaya perubahan (Amenakis, et al., 1993).
Kesiapan ini dimulai dengan persepsi individu manfaat dari perubahan (Prochaska
et al, 1994.), risiko kegagalan dalam perubahan
(Armenakis et al, 1993), atau tuntutan perubahan eksternal yang
dipaksakan (Pettigrew, 1987).
Disini mengindikasikan pentingnya keterampilan manajemen
dalam berkomunikasi sepanjang masa perubahan. Menurut Armenakis et al (1993), upaya
perubahan tergantung pada kemampuan organisasi mengubah perilaku individu
karyawan secara perorangan. Jika perubahan organisasi adalah tentang bagaimana
mengubah tugas individu masing-masing pegawai, komunikasi tentang perubahan,
dan informasi tentang perubahan tersebut kepada karyawan sangat penting. Karena
itu, komunikasi dengan karyawan harus menjadi bagian penting, dan sebagai
bagian upaya integratif serta strategi perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar