Dalam dunia pemasaran, riset – terutama riset konsumen – sangat penting. Ini karena hasil riset pemasaran ini dapat dipakai untuk perumusan strategi pemasaran dalam merebut peluang pasar. Namun demikian, diperlukan sikap kritis dalam membaca hasil riset sehingga tidak terjebak dalam bias tindak lanjut dari hasil riset tersebut.
Ketika Google melakukan survei terhadap penggunanya untuk
melihat apakah mereka menginginkan hasil pencarian yang lebih banyak pada
setiap halaman, mereka mengatakan ya. Bayangkan siapa yang tidak ingin hasil
yang lebih banyak saat memilih? Tapi eksekutif Google yang bertanggung jawab
pada kinerja msin pencari itu, Marissa Mayer – kini CEO Yahoo – ngotot untuk “melawan”
permintaan itu.
Google tahu bahwa menawarkan hasil pencarian yang lebih
banyak, berarti waktu yang dibutuhkan untuk memuatnya menjadi lebih lama.
Akibatnya, hal itu akan memperlambat kinerja dan pada akhirnya mengurangi kenyamanan
penggunanya. Menurut Mayer, kebanyakan orang tidak menyadari hal ini.
"Pelanggan sering tidak memahami konsekuensi dari pilihan mereka. Tetapi
itu adalah tugas kami untuk melakukannya," kata Mayer. "Kami tahu
bahwa sepuluh hasil pada setiap halaman adalah jumlah yang tepat. Kami tidak
mengubah itu."
Ketika Dietrich Mateschitz,
pendiri RedBull, menyewa sebuah
perusahaan riset pasar untuk menguji daya tarik produknya, hasilnya malah
bencana bagi Mateschitz. Menurut Mateschitz, temuan itu menggambarkan,
"Orang-orang tidak percaya pada rasa, logo, nama merek. Sebelumnya saya
tidak pernah mengalami bencana seperti itu." Dia memilih untuk mengabaikan
hasil-hasil penelitian dan memperkenalkan Red Bull. Bayangkan bila Mateschitz
mengikuti kesimpulan hasil riset itu secara tidak bijak. Hari ini tentu public tidak
akan pernah menikmati menikmati minuman berenergi RedBull.
Pada tahun 1984, Pepsi meluncurkan "Pilihan Generasi
Baru" dan sangat sukses kampanye. Coke, sebagai pemimpin pasar, merasa
harus melakukan sesuatu. Apalagi
sebelumnya Pepsi sudah membuat terobosan dengan "Take The Pepsi Challenge"
dan serangan generasi baru ini menempatkan posisinya semakin mendekati Coke.
Merasa tidak lagi dominan dalam kategori minuman ini, Coke merasa harus
melakukan sesuatu yang radikal.
Maka dikembangkanlah versi baru dari rumus legendaris, salah
satunya adalah dengan rasa manis dan diharapkan menarik demografis muda yang
menyukai Pepsi. Setelah pengujian ekstensif yang melibatkan lebih dari 200.000
konsumen, mereka yakin menang. Semua data berbaris: tes rasa, riset pemasaran
dan angka penjualan.
Lalu, kita semua tahu apa yang terjadi selanjutnya. New Coke
adalah bencana terbesar dalam sejarah pemasaran. Mungkin banyak dari sample
yang menyukai rasa dalam tes, tapi tidak ada yang menginginkan ikon mereka
diambil. Dalam waktu hanya beberapa
bulan, perusahaan mengalah mundur dan formula lama diperkenalkan kembali.
Secara historis, pemasar menggunakan insting. Mereka melihat
peluang dan menerkamnya. Selama bertahun-tahun, angka-angka yang dihasilkan
dari penelitian kuantitatif dan analisis kelompok diskusi (FGD) secara pelahan
berperan dalam pengambilan keputusan
menjadi alat dasar perdagangan. Pergeseran besar berikutnya adalah makin
berkembangnya otomatisasi dan perkembangan ini membutuhkan tidak hanya
keterampilan baru, tetapi perspektif baru yang kemudian berkembang menjadi
jembatan ke sesuatu yang lebih sulit.
Sangat sedikit merek bisa menikmati kesuksesan seperti
Marlboro. Merek ini menjadi ikon pemasaran selama beberapa generasi. Namun
demikian, tidaklah mudah untuk meraih kesuksesan itu. Butuh perjuangan yang
luar biasa. Sebab bagaimana bisa, rokok berfilter Marlboro dianggap sebagai
rokok ringan yang cocok untuk perempuan. Pemilik merek Marlboro mengikuti
pemikiran tersebut. Yang terjadi, penjualannya lamban.
Beruntunglah, ketika sebagian orang melihat hal itu sebagai
suatu kegagalan, namun Leo Burnett melihat kesempatan. Dia melihat bahwa
keperihatinan orang terhadap kesehatan membuat rokok filter populer di kalangan
laki-laki. Di sisi lain, Burnett juga melihat bahwa konsumen yang masih kecil
saat itu merupakan peluang bagi Marlboro untuk reposisi secara radikal. Dengan
pemahaman itu, Marlboro Man lahir.
Leo Burnett menghadirkan Marlboro dengan image yang paling
maskulin bahwa siapa pun bisa bagai menganggap dirinya sebagai koboi. Dengan
menampilkan alam peternakan dalam iklannya, Burnett mencirtakan Marlboro
sebagai produk laki-laki kasar, bertengger di atas kuda, dan sedikit waktu yang
tersedia untuk istirahat dari hari yang panjang di peternakan mereka. "Welcome
to Marlboro Country."
Menafsirkan hasil penelitian tidak hanya menjadi perhatian
bagi para peneliti. Para professional – katakanlah di bidang pemasaran misalnya
– ketika membaca atau mendengar hasil penelitian harus dapat menafsirkan dengan
benar. Tentunya dari perspektifnya sebagai pihak yang menggeluti obyek yang diriset
tersebut. Mereka yang mengetahui lebih
banyak karakteristik dari objek yang diriset. Karenanya, mensintesa pengalaman pengelola
di lapangan dan hasil riset sangatlah penting, terutama ketika hasil riset
tersebut akan digunakan sebagai dasar dari poengambilan keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar