Pada awalnya, berita adalah laporan atas peristiwa atau kejadian penting dan menarik. Penting berarti kira-kira orang membutuhkan dan bila kebutuhan itu tidak dipenuhi bisa berakibat negatif. Minimal orang itu ketinggalan informasi.
Menarik, terkait dengan emosi semisal mengharukan, menyenangkan dan sebagainya. Karena itulah media seperti koran – dan sekarang media berita dotcom, persyaratan kebaruan atau kekinian menjadi persyaratan utama.
Dalam perkembangannya, ketika media yang memuat berita
tersebut dituntut untuk menerbitkan secara berkala, sementara kejadian atau
peristiwa tidak berlangsung setiap hari – mungkin disebabkan oleh keterbatasn
jangkauan media terhadap kejadian tidak seperti sekarang, maka batasan tentang
berita semakin berkembang.
Pada situasi seperti itu, tuntutan untuk membuat peristiwa semu (psedo-event) semakin kuat. Bila media mengandalkan berita dari peristiwa, itu wartawan mengumpulkan berita. Karena tuntutan itu tadi, pengupulan berita berubah menjadi pembuatan berita (Boorstin 1961).
Pada situasi seperti itu, tuntutan untuk membuat peristiwa semu (psedo-event) semakin kuat. Bila media mengandalkan berita dari peristiwa, itu wartawan mengumpulkan berita. Karena tuntutan itu tadi, pengupulan berita berubah menjadi pembuatan berita (Boorstin 1961).
Pertumbuhan media mengakibatkan kenaikan kebutuhan akan materi
berita. Karena itu lahir berita yang bisa jadi hanya didasarkan pada
wawancara dengan tema tertentu. Pada
1989, pembuatan berita berdasarkan wawancara opini seseorang aau beberapa orang atas masalah sosial atau isu di sekitarnya dilakukan pertama kali.
Kebutuhan materi berita juga melahirkan pekerjaan baru, yakni produksi siaran pers. Salah satu sumber penting dari peristiwa semu untuk media ini adalah proses politik. Ini biasa dilakukan melalui wawancara dengan pemimpin pemerintahan, bocoran berita, konferensi pers (McNair 2000).
Kebutuhan materi berita juga melahirkan pekerjaan baru, yakni produksi siaran pers. Salah satu sumber penting dari peristiwa semu untuk media ini adalah proses politik. Ini biasa dilakukan melalui wawancara dengan pemimpin pemerintahan, bocoran berita, konferensi pers (McNair 2000).
Tadi sore, saya iseng browsing internet untuk mencari
journal-journal yang memuat penelitian tentang crisis communication. Tiba-tiba
saya menemukan tulisan dengan judul Beyond Pseudoevents: Election News as
Reality TV karya W Lance Bennett yang dimuat di The American Behavioral
Scientist edisi 49 No.3 (Nov 2005) halaman 364-378.
Saya baca sekilas, akhirnya saya tahu bahwa tulisan itu
diilhami buku tulisan Daniel Boorstin yang berjudul Reality TV: A guide to
pseudo-events in America, terbitan Atheneum, New York tahun 1961.
Dalam bukunya itu, Boorstin menjelaskan bahwa pseudo-event adalah penayangan acara yang event-nya sudah direncanakan dan eventnya sengaja dirancang untuk menciptakan liputan media yang menguntungkan dan positif. Jadi, event ini dimaksudkan untuk menciptakan kesan positif dan hubungannya dengan realitas situasi yang mendasarinya relative ambigu.
Dalam bukunya itu, Boorstin menjelaskan bahwa pseudo-event adalah penayangan acara yang event-nya sudah direncanakan dan eventnya sengaja dirancang untuk menciptakan liputan media yang menguntungkan dan positif. Jadi, event ini dimaksudkan untuk menciptakan kesan positif dan hubungannya dengan realitas situasi yang mendasarinya relative ambigu.
Pseudo-event juga disebut berita sintetis karena
satu-satunya tujuannya adalah publikasi media, meski informasi yang disampaikan
memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki manfaat dalam kehidupan nyata. Itu
sebabnya pseudo-event biasanya diumumkan sebelumnya sehingga media dapat
mempersiapkan diri untuk (biasanya positif) membuat laporan.
Tidak seperti event asli, pseudo-event hampir selalu
menampilkan pesan-pesan optimistis dan selalu berbicara tentang kualitas dan
teknik kepemimpinan politisi yang menjadi actor dalam event tersebut sebagai
tokoh yang baik, juga menampilkan pesan bahwa di tangannya nasib warga negara
dan negara bakal baik. Sementara itu, event asli seperti bencana alam atau
ekologi atau kejahatan, selalu terkait dengan hal-hal negatif.
Walaupun tidak selalu demikian, secara umum, ada beberapa
karakteristik yang dapat menunjukkan apakah suatu tayangan atau berita memiliki
tujuan seperti pseudo-event. Pertama-tama, dapat dilihat dari mungkin saja
suatu tayangan memiliki nilai berita, akan tetapi tayangan tersebut dibuat
menjadi sinetron yang dramatis.
Juga, dapat diulang-ulang dengan demikian dapat membuat
kesan yang semakin kuat. Selain – dan ini sulit dibuktikan -- politisi pseudo-event biasanya membayar ratusan
juta bahkan miliaran rupiah hanya untuk menyebarkan pesan mereka ke masyarakat.
Itu sebabnya mereka diiklankan di muka, dan diulang kembali.
Debat calon presiden pertama yang disiarkan televisi adalah
antara Nixon dan Kennedy. Meskipun Nixon dianggap memiliki kepribadian yang
lebih baik di radio dan memimpin dalam jajak pendapat sebelum debat pertama,
namun tampilan Kennedy dalam debat Capres -- yang disiarkan langsung oleh
stasiun televise -- sebagai bintang film cemerlang membuat calon pemilih seakan
sudah memutuskan memilih Kennedy. Masyarakat seakan lupa untuk memutuskan dan
berpikir kritis tentang siapa yang lebih berkualitas untuk menjadi presiden
karena situasinya dibuat sedemikian
dramatis dan ambigu.
Saat ini, seperti ditulis Kleo Nikolaidis di
http://asnycnowradio.wordpress.com/2010/04/05/pseudo-events-in-politics/ pada
February 2010, pseudo-event makin sering muncul setelah mantan Presiden Bush
memperkuat kampanye politiknya dengan berbagai pseudo-event. Misalnya, jadwal
Bush wisata domestik yang padat dan luas dalam usahanya mencari dukungan
rakyat, dan beberapa diantara mendapat
liputan media sebagai peristiwa lokal, menunjukkan bahwa kunjungan tersebut
cenderung memang senagaj dirancang untuk menghasilkan liputan luas dan positif
oleh pers lokal.
Bush juga terus menggunakan pseudo-event bahkan setelah dia
terpilih sebagai presiden. Setelah bertahun-tahun setelah pilpres tersebut,
Bush yang muncul di hampir semua insiden perang melawan Irak adalah penipuan
dan acaranya dibuat sedramatis mungkin. Beberapa tahun setelah itu, persisnya
pada 28 November 2003 Bush merayakan Thanksgiving dengan melakukan kunjungan
mendadak ke pasukan AS di Irak, berpose dengan kalkun untuk menunjukkan betapa
berterima kasihnya dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar