Para pakar manajemen krisis menyarankan bahwa perusahaan
atau organisasi harus membangun jejaring online yang kuat dan mengidentifikasi serta
memilih juru bicara online sebelum krisis berlangsung (Whaling, 2011). Juru
bicara tersebut, disiapkan untuk menghadapi krisis dan dia bertindak mewakili perusahaan
atau organisasi selama krisis masih dianggap berlangsung dan bertanggung jawab
untuk menyampaikan pesan secara cepat dan akurat baik kepada public atau internal
perusahaan.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa juru bicara yang
kredibel sangat menentukan keberhasilan manajemen krisis (Barret, 2005; Coombs,
2007). Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang harus menjadi jurubiacara
tersebut? Berikut adalah tiga argumen umum dan apa yang harus Anda pertimbangkan.
Argumen pertama adalah bahwa yang menjadi juru bicara
haruslah CEO. Kenapa? CEO adalah salah seorang atau satu-satunya suara yang
tidak ingin perusahaannya gagal. Dalam suatu krisis, CEO harus mengelola krisis
dan mengelola operasi bisnis.
Peran yang diharapkan dari CEO tersebut krusial terutama pada
jam-jam pertama dari krisis, ketika hampir semua orang ingin mendapatkan informasi.
Dalam krisis yang parah yang melibatkan jatuhnya korban cidera atau kematian,
CEO menjadi bisa menjadi cerminan kasih sayang organisasi. Bahkan kemudian, CEO
sebagai juru bicara mungkin dalam beberapa jam ke krisis.
Persoalannya adalah pada satu jam pertama krisis, ketika
sebuah pernyataan harus dibuat, CEO sering sibuk dengan isu lain. Misanya
urusan internal, adinistrasi dengan pemerintah dan sebagainya. Kedua, jika seorang CEO salah ngomong di awal krisis,
dia kehilangan kredibilitas dan merusak reputasi organisasi. Bila itu terjadi,
siapayang akan menggantikan dia sebagai jurubicara karena bila terus menjadi
jurubicara public sudah tidak mempercayainya lagi. Akan menjadi persoalan bila
penggantinya adalah orang yang memiliki posisi lebih rendah.
Ini beda dengan bila yang berbicara di awal adalah orang
lain. Bila salah ngomong di awal krisis misalnya, orang tersebut bisa
digantikan CEO yang masuk untuk mengklarifikasi fakta, sehingga bisa membangun
kesan bahwa dialah sosok pahlawannya.
Baiknya adalah Argumen keda adalah bahwa yang menjadi
jurubicara sebaiknya adalah public relations. PR merupakan pilihan yang sangat baik sebagai
wakil pada jam pertama dari krisis ketika wartawan datang pada awal-awal
krisis. Namun, disini PR tidak harus menjadi suara tunggal seluruh krisis.
Disini PR harus menjadi anggota dari tim
manajemen krisis dan harus memimpin tim komunikasi krisis.
Karena perannya sebagai penyampai pernyataan pertama tentang
krisis, dia harus tetap berada di koridor rencana komunikasi krisis. Namun
demikian, karena beberapa fakta yang dia diketahui, memungkinkan PR untuk memberikan
fakta-fakta dasar, mengatakan sesuatu yg boleh disebut, sementara menjanjikan
informasi lebih lanjut pada briefing di selanjutnya.
Argumen ketiga adalah yang menjadi jurubicara haruslah
beberapa orang. Pertibangannya adalah pada jam-jam pertama krisis, orang atau public
membutuhkan informasi dasar, misalnya peristiwanya kapan terjadi dan
sebagainya. Namun, di jam-jam berikutnya yangmenyangkut perkembangan dari
penyelidikan krisis misalnya, biasanya menyangkut hal-hal yang sifatnya teknis.
Disini tentu membutuhkan jurubicara yang faham mengenai hal teknis tersebut.
Bila itu dilakukan maka perusahaan – dalam konteks
perencanaan komunukasi krisis – harus melatih banyak orang untuk siap menjadi
jurubicara. Kedua, selama pelatihan -- perusahaan harus melakukan seleksi sebab
ibarat tim olahraga, perusahaan memiliki banyak bintang serta orang-orang yang
kuat di bangku cadangan yang siap untuk bermain bila diperlukan. Pelatihan,
terutama media handling -- membantu
mengidentifikasi pemain bintang dan pemain sekunder.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar