Ada kalimat yang mungkin berharga untuk praktisi public
relations. “Jangan terpaku masa lalu.” Artinya, menghadapi situasi sekranag
yang berubah luar biasa, praktisi public relations perlu menggeluti dan
bergelut dengan dunia digital bila ingin tetap dianggap relevan. Kok?
Dalam konteks public relations untuk membangun relationship
dan kesepahaman yang dibutuhkan adalah tersebut. Dalam konteks membangun
reputasi, yang dibutuhkan adalah kredibilitas. Baik trust dan kredibilitas membutuhkan
pihak ketiga. Orang akan lebih percaya bila orang lain mengatakan sebuah
perusahaan memiliki kualitas sumber daya yang humanis ketimbang perusahaan itu
sendiri yang mengatakannya.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengkreasikan trust
dan atau kredibilitas melalui pihak ketiga tadi. Kita balik ke belakang. Pada awal-awal
pertumbuhan public relations, para praktisi public relations hampir selalu berusaha
agar mendapatkan perhatian secara eksklusif dari media massa untuk organisasi
mereka (publisitas). Karena asuumsi ini, berkembang paradigm bahwa membangun
hubungan dengan media adalah tugas yang sulit dan mempertahankannya lebih sulit.
Dengan kata lain, membangun media relations yang baik merupakan
jalan terbaik untuk bisa menciptakan kesan positif di mata publik strategis. Karena
itu, perusahaan atau organisasi perlu memiliki seseorang yang terlatih dan
berpengalaman yang selalu siap dan dapat diakses pihak luar.; seseorang yang
bijaksana dapat menyebarkan informasi dan memahami keinginan dan kebutuhan jurnalis
atau wartawan.
Jika ada masalah yang muncul, juru bicara yang berasal level
manajemen senior itu (Wells dan Spinks, 1998) yang berurusan dengan media untuk
menyampaikan informasi yang lengkap dan tepat. Ini karena hal tersebut
menyangkut persoalan kredibilitas dan keandalan konten yang disampaikan suatu
organisasi kepada publiknya
Namun fenomenanya sekarang berubah drastis. Dalam
perkembangannya, public relations bergerak cepat bahkan melebihi kecepatan
berlari teori ilmiah sendiri sehingga terkesan out-of-control. Banyak
perusahaan PR yang terjebak era masa lalu. Mereka masih berpikir bahwa PR hanya
sebagai hubungan media dengan mungkin sedikit tambahan media sosial plus taburan
konten bermerek dengan segala bumbunya.
Kok begitu? Jangan salah paham! Hubungan media tetap harus menjadi
bagian yang layak dari public relations. Tapi itu hanya sebagian yang secara
professional harus dikerjakan oleh praktisi public relations. Yang dipersoalkan
disini adalah bahwa saat ini masih ada perusahaan yang tidak menyadari bahwa mereka
kehilangan kesempatan besar.
"PR sekarang kan sudah mencakup semua hal, mulai dari
media sosial hingga pemasaran konten dan dalam beberapa kasus native
advertising,” kata Ribka Iliff, chief strategy officer ofAirPR, konsultan PR
dan platform teknologi, seperti dikutip fastcompany.com.
Diakui atau tidak, dalam beberapa kasus, kegiatan PR sekarang
sebenarnya dapat kinerja iklan berkat kemampuannya dalam mengubah lebih banyak jalur.
Dalam diskusi dengan mahasiswa Kamis lalu, ada pertanyaan, siapa yang sebaiknya
mengkreasikan word of mouth marketing. Orang marketing yang biasa bermain
dengan iklan atau orang PR yang biasa bermain dengan publistas?
Data yang direlease AirPR menunjukkan bahwa PR menghasilkan
tingkat konversi 10 sampai 50 kali dari konversi iklan. Sebuah studi Nielsen terbaru
menunjukkan bahwa earned media – sebuah frase yang bisa berarti kemewahan bagi PR
- lebih efektif daripada konten bermerek pada semua tahap keputusan pembelian. Yang
dimaksud dengan earned media adalah pesan apa saja yang dikatakan oleh
orang-orang mengenai produk dan brand kita di social media, bukan akun social
media yang kita miliki.
Ini bukan untuk membuat PR menjadi overdosis. Tapi hal itu
semata karena paradigm bahwa tujuan PR adalah untuk meningkatkan kredibilitas
melalui dukungan pihak ketiga. Bila kita sepakat dengan paradigm tersebut,
adalah sebuah kesalahan bila perusahaan atau siapa saja memiliki pikiran bahwa
untuk memvalidasi pihak ketiga berarti hanya berhubungan dengan media dan
mungkin beberapa selebriti.
"Banyak orang hanya menganggap tokoh-tokoh industri dan
'bintang rock' saat dalam pikiran mereka muncul tentang influencer," kata Sarah
Skerik, wakil presiden komunikasi strategis dan konten di PR Newswire. Padahal,
nama-nama influencer bisa siapa saja dan darimana saja datang, termasuk yang
ada di LinkedIn misalnya. Bahkan seringkali terjadi, sebuah program lebih
berhasil hanya dengan mengandalkan retweet oleh nama-nama besar di Twitter. Gap
Pertenyaannya adalah, untuk membangun publisitas apakah influencer
tadi kita anggap sebagai media, dalam hal ini adalah perluasan dari fungsi
saluran komunikasi? Berpijak ada pertanyaan itu, apapun jawabannya, tantangan praktisi
public relations saat ini adalah menyesuaikan diri dengan perubahan yang
terjadi pada konsep berita dari media sosial dan mobile. Tidak ada lagi episode
kesuksesan yang menggambarkan bahwa anggaran kampanye yang besar adalah tiket
menuju sukses.
Sebaliknya, merek harus memperluas jejaring yang
bersinggungan langsung dengan audience dan selalu aktif mempertahankan
kehadiran mereka di benak pikiran audience. Ini berarti mereka harus menggunakan
kombinasi validasi pihak ketiga, bersama dengan konten bermerek dan jejaring sosial.
Kini tidak ada peluru perak. Artinya, penyebutan merek kita
oleh surat kabar harian besar tidak jaminan bahwa sebutan itu bisa mencapai
seluruh audiens Anda. Audiense Anda saat ini berinteraksi dengan banyak media
dan touch point lainnya. Memori mereka juga terbatas dan terseleksi.
Karena itu peran public relations saat ini berubah secara
signifikan menjadi pekerjaan yang jauh lebih besar karena opini orang tentang
merek kita terjadi dalam 24 jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu.
Untungnya, teknologi membantu mengubah PR menjadi sesuatu yang yang memungkin Anda
dapat menjalankan dan mengukur hasilnya dengan cepat.
Perusahaan kini tak lagi harus mengandalkan penempatan media
sebagai satu-satunya bukti keberhasilan PR; hari ini dipersenjatai dengan alat
yang tepat, mereka dapat memahami dampak dari PR sebagai gerbang ketertarikan audience
dan akhirnya mengarahkan ke penjualan.
Kok sampai penjjualan? Kita balik lagi kesepakatan Barcelona
yang telah mendesakralisasi AVE sebagai tolok ukur keberhasilan program public
relations. Dalam satupoint tolok ukur keberhasilan suatu program PR adalah
pengukuran tentang outcome. Isinya apa? Salah satunya adalah efek ekonomi yang
bisa dirasakan persuahaan karena kegiatan PR tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar