Dalam sepuluh tahun terakhir,
perpindahan eksekutif di bidang pemasaran begitu tinggi. Makin sedikit
eksekutif pemasaran yang menduduki posisinya di perusahaan lebih dari tiga
tahun. Bagaimana fenomena itu terjadi?
Sepuluh
tahun lalu, Fibriyani Elastria adalah seorang trainer di PT. Astra
international. Kini, mulai 1 Mei 2012, lulusan teknik arsitektur ITB tahun 1996
itu mengisi posisi Direktur Marketing di AXA-Mandiri, sebuah perusahaan yang
memimpin pasar bancassurance di Indonesia. Ini berarti, dalam karirnya di dunia
marketing selama sepuluh atau sebelas tahun, kelahiran 10 Januari 1979
mengalami lompatan karir luar biasa.
Sebelum
bergabung dengan Axa-Mandiri, Fibri sempat bekerja sebagai Senior New Product
Development Manager Coca-Cola Bottling Indonesia (kini Coca-Cola Amatil
Indonesia, red). Di Coca Cola, Fibri tidak sampai setahun. Ini karena belum
lama bergabung dengan Coca Cola, Fibri dihubungi head hunter dan ditawari
posisi sebagai Vice President of Corporate Branding, Marketing &
Communication PT. A.J Sequis Life.
“Pada
awalnya saya tidak mau karena saya baru beberapa bulan di Coca-Cola. Akan
tetapi, untuk menjaga hubungan baik, saya mau datang untuk bertukar pikiran.
Setelah beberapa kali bertukar pikiran, saya tertarik untuk men-set up
marketing dari awal dan menerima tawaran itu,” ujar wanita kelahiran Pangkal
Pinang yang bergabung dengan Sequis Life sejak Juni 2008 ini.
Tahun
lalu total perolehan premi Sequis Life mencapai Rp 1,65 triliun atau tumbuh 15%
dibanding tahun 2010. Perolehan premi baru Rp 600 miliar, tumbuh 34,7% dari
tahun sebelumnya. Kontribusi premi 90% unitlink dan 10% tradisional. Dengan
tambahan produk baru, penjualan produk tradisional tumbuh 20%.
Itu
pengalaman Fibri. Lain lagi dengan Febriati Nadira. Akhir tahun 2011, kabar
kepindahan Febriati Nadira (@FNadira), Head of Corporate Communication PT XL
Axiata (XL) ke Mandiri Sekuritas sebagai Executive VP Corporate Communication
Mandiri Sekuritas sempat mengejutkan para jurnalis, terutama jurnalis
telekomunikasi. Dimaklumi, peraih penghargaan PR People of the Year 2011 itu
sangat dekat dengan para pencari berita.
Perempuan
cantik kelahiran Situbondo ini bergabung ke XL Axiata sejak 2007 sebagai
Manager Public Relations XL Axiata. Pada 2009, Ira – panggilan akrab F Nadira,
menjabat Head of Corporate Communications XL Axiata sejak 2009 setelah pejabat
sebelumnya, Mira Junor, mengundurkan diri karena mendampingi suaminya yang
bertugas di luar negeri.
Ira
memang piawai dalam berkomunikasi dengan para influencer dan buxxer di dunia
maya maupun konvesional. Ketika menjadi pembicara tamu dalam workshop tentang
public relations yang diselenggarakan Majalah MIX, Ira banyak bercerita tentang
pengalamannya dalam berhubungan dengan para inluencer di dunia maya. “Bila kita
akrab dengan mereka, kita juga dapat manfaat karena mereka bisa sekaligus
sebagai sumber informasi,” kata Ira yang kini menjabat Head of Corporate Communication Adaro. Sebelum
bergabung dengan XL, Ira yang menempuh pendidikannya di jurusan Akuntansi
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya itu adalah Corporate Communications PT
Telkomsel dari 1996 hingga 2007. Ira mengawali karirnya di Telkomsel sebagai
customer service pada 1995.
Febri
dan Ira hanyalah sekian dari puluhan hingga ratusan marketer yang bisa dengan
mudahnya mendapatkan posisi-posisi baru. Lihat saja Toni Darusman. Usianya baru
36 tahun. Namun, sejak lulus sebagai sarjana teknik tahun lalu, kelahiran Padang yang kini
menjabat Marketing Director untuk brand Bir Bintang, Heineken, GreenSands, dan
Bintang Zero, telah singgah di beberapa perusahaan. Dia pernah di HM Sampoerna,
Coca Cola Indonesia, dan Unilever Indonesia. Di Sampoerna, Toni singgah agak
lama, dari 2001 sampai 2008. Namun setelah itu, tercatat dia pindah perusahaan
tiga kali.
Bukan
rahasia lagi bahwa di tingkat global, chief marketing officer (CMO) adalah
posisi paling sedikit aman diantara jajaran puncak. Tingkat perputaran (turn
over) CMO ini relative cepat di hamper semua bidang, kecuali di perusahaan
restoran siap saja. Menurut Greg Welch, seorang pimpinan perusahaan produk
konsumen global – seperti yang ditulis Forbes,
lama masa jabatan CMO rata-rata meningkat dari 28 bulan pada tahun 2008,
menjadi 32 bulan pada tahun 2004. Namun, angka itu masih lebih rendah
dibandingkan rata-rata lama posisi CIO yang mencapai 38 bulan. Sementara itu,
posisi lainnya tidak ada yang berada di bawah 46 bulan.
Menurut Simon
Bassett, Direktur EMR– sebuah perusahaan yang mengkhususkan pada rekrutmen
eksekutif – seperti dikutip MarketingWeek (27/3/2012) -- belakangan ada
fenomena yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Saat ini, begitu banyak kegiatan
pemasaran bergerak semakin ke dalam ruang digital, ada keyakinan bahwa orang
yang lebih muda lebih mampu menggunakan alat-alat baru yang ditawarkan. Itu
sebabnya, banyak posisi manajemen marketing tang diisi tenaga muda dan
menggeser tenaga yang lebih tua.
Kini,
kata Welch, lebih dari sepertiga CMO yang bertahan di posisinya kurang dari
tiga tahun. Yang bisa menjelaskan kenapa para CMO itu susah untuk bertahan
lama, salah satunya adalah karena persoalan yang disebut dengan "Dilema
Marketer." Disini, seperti yang
kita tahu, seorang CMO selalu dituntut bahwa pada hasil hari ini, mengerjakan
sesuatu yang sama, dan selalu berharap-harap untuk segera keluar dari
persaingan sebagai pemenang.
Yang
jadi persoalan adalah fokus yang pendeknya. Ini menjadi suatu keharusan karena
bila terlalu berfokus pada inovasi jangka panjang, itu berarti mengabaikan
pencapaian hari ini, berarti pesaing masuk. Melupakan pencapaian hari ini
berarti kehilangan peluang dan pesaing telah mengambilnya. Sehingga, apa yang dicapai hari ini akan sangat
menentukan apa yang akan dicapai dalam masa mendatang.
Dalam
situasi tersebut, seorang marketer dituntut untuk terus berinnovasi. Ketika
beberapa inovasi besar yang gagal, maka dia kehilangan kredibilitasnya. Di sisi
lain, pemasaran yang efektif bukan ilmu roket. Untuk membangun suatu merek,
butuh strategi dan waktu jangka panjang. Dan apa yang dilakukan marketer,
public merasakannya.
Namun, menurut
Hasnul Suhaimi -- Presiden Direktur PT. XL Axiata Tbk. – perpindahan itu lebih
diakibatkan oleh ketidakmampuan perusahaan dalam mengantisipasi perubahan
pelanggannya. Menurut Hasnul, seorang marketer biasanya lebih loyal ke konsumennya
daripada ke perusahaannya. Jadi biasanya
apabila perusahaan mereka tidak mampu mengikuti perkembangan/trend yang terjadi
dipasar atau konsumennya, mereka akan pindah ke perusahaan lain yang lebih
mampu mengakomodasi perubahan trend ini.
“Di XL kita selalu memastikan bahwa kita bukan hanya tidak boleh
ketinggalan trend di pasar komunikasi, tapi kita harus membuat
gebrakan-gebrakan atau terobosan baru yang
innovatif dan menciptakan trend baru,” katanya.
Makin
banyaknya perpindahan itu, tentu bukan sesuatu yang baik bagi siapa pun yang
peduli dengan pemasaran. Menurut O'Connell dan Kung (2007), biaya yang muncul
akibat perindahan karyawan itu mahal. Selain perusahaan harus mengeluarkan biaya
pengganti, ada biaya tersembunyi seperti kehilangan produktivitas, masalah
keselamatan kerja, dan kerusakan moral. Dalam konteks pemasaran, masalah yang
muncul akibat perindahan karyawan – terutama jika yang pindah adalah seorang
pengambil keputusan – adalah absennya sebuah mercusuar yang bisa menuntun arah
pengembangan merek jangka panjang. Ini berakibat terjadinya ketidaksesuaian
message yang harus disampaikan sebuah merek dan realitas yang ada. Kedua,
terjadinya ketidakkonsistenan message yang disampaikan antara satu program
dengan program lainnya.
Seperti
yang dikemukakan Hasnul, peran marketer adalah untuk menciptakan
differentiation tidak hanya melalui produk, tapi juga melalui positioning
sebuah merk. Kedua, yang tujuannya menciptakan loyalty para konsumen mereka.
Dan ketiga, menciptakan business value creation dalam jangka menengah dan yang
lebih panjang. Nah, ketika marketer berpindah, yang dikhawatirkan adalah
terjadinya ketidakpastian.
Di sisi
lain, kondisi eksternal memungkinkan terjadinya perpindahan itu. Sebab seperti
kita ketahui, kondisi pasar selalu dan
terus berubah. Ini menuntut kemampuan daya adaptasi pengelola merek terhadap
perubahan itu. Menurut Ruby Chandra Lionardi -- Head of Marketing Nojorono
Group – terdapat kelemahan di kalangan marketer di Indonesia. Pertama,
paradigma berpikir deduksi marketing yang keliru. Contohnya, kalau sudah rutin
dikerjakan sebelumnya, mengapa tidak diteruskan. Kedua, paradigma berkarya
marketing yang tidak tuntas. Misalnya, perencanaan yang bagus, lemah di
eksekusi, atau kompromi terlalu banyak ketika menghadapi kesulitan.
Ketiga,
paradigma fokus yang terlalu banyak. Gejala umumnya adalah melakukan spending
besar untuk terlalu banyak program marketing.
“Padahal, fokus marketer seharusnya cuma satu, yaitu menciptakan dan
menyampaikan value yang superior, yang secara unik bisa dimiliki oleh company
atau brand,” tambahnya.
Dalam
kondisi seperti itu, untuk mendapatkan perspective yang baru dan segar,
biasanya perusahaan membutuhkan marketer dari industri yang berbeda. Ini karena
kebanyakan marketer menderita ‘marketing myopia‘ atau rabun marketing bila
seorang marketer terlalu lama bergerak di satu bidang industry saja. “Karena
itu, dibutuhkan marketer dari industri yang berbeda dengan pemikiran pemikiran
baru untuk melihat tantangan yang sama sehingga melahirkan solusi yang
berbeda,” kata Hasnul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar