Tahun depan kawasan ASEAN menjadi pasar tunggal. Setiap produk bebas masuk ke pasar lokal. Begitu pula sebaliknya. Cek merek lokal apa saja yang siap bersaing di pasar global?
Tahun ini, untuk yang kedua kalinya, Majalah MIX-Marketing Communications bekerjasama dengan MARS yang memegang lisensi American Customer Satisfaction Index (ACSI) melakukan survey guna mengukur tingkat kepuasaan pelanggan beberapa produk dan perusahaan di Indonesia. Hasil survey itu dituangkan Gobal Customer Satisfaction Standar (GCSS) yang mengukur kepuasan pelanggan dengan menggunakan model ACSI.
Yang perlu digarisbawahi adalah hasil pemaparan kepuasan pelanggan di Indonesia GCSS ini bisa disandingkan dengan hasil di tingkat global. Ini karena baik dimensi maupun indikator pengukurannya menggunakan standar ACSI yang digunakan di lebih dari 12 negara di dunia. Dengan demikian, pengguna data pengukuran kepuasan pelanggan ACSI di Indonesia bisa membandingkan kinerja kepuasan pelanggan di level global.
Mengapa standard global? Tahun depan, ASEAN menjadi pasar dan berbasis produksi tunggal. Itu berarti terjadi aliran barang, jasa, investasi dan tenaga terampil secara bebas diantara negara-negara ASEAN.
Secara teori, liberalisasi perdagangan internasional, bisa berdampak negatif atau
positif terhadap perusahaan-perusahaan lokal secara individu melalui empat (4) cara. Pertama, melalui peningkatan persaingan di pasar domestik. Kedua, melalui penurunan biaya produksi. Ketiga, melalui peningkatan ekspor. Keempat, melalui pengurangan ketersediaan bahan-bahan baku atau input lainnya di pasar dalam negeri.
Situasi ini bisa menjadi ancaman terutama bagi produk yang kurang mampu bersaing, peluang bagi produk yang memiliki daya saing terutama di level global. Peluang yang dimaksud adalah peluang pasar yang lebih besar dibandingkan sewaktu perdagangan dunia masih terbelah-belah arena proteksi yang diterapkan di banyak negara terhadap produk-produk impor.
Sedangkan tantangan bisa dalam berbagai aspek, misalnya, bagaimana bisa menjadi unggul di pasar dalam negeri, yakni mampu mengalahkan pesaing domestik lainnya maupun pesaing dari luar negeri (impor), bagaimana bisa unggul di pasar ekspor atau mampu menembus pasar di negara-negara lain; bagaimana usaha bisa berkembang pesat (misalnya skala usaha tambah besar, membuka cabang-cabang perusahaan), bagaimana penjualan/output bisa tumbuh semakin pesat;
dan lain-lain.
American Customer Satisfaction Index (ACSI), didirikan pada tahun 1994 melalui kemitraan antara University of Michigan Business School, American Society for Quality (ASQ), dan perusahaan konsultan internasional CFI Group. Di Amerika Serikat, ACSI telah melakukan pengukuran pengalaman konsumen yang seragam dan independen terhadap 190 dari perusahaan terkemuka. Disini ACSI melakukan tracking kepuasan pelanggan dan terbukti menjadi indikator ekonomi yang kuat bagi perusahaan, asosiasi industri perdagangan, dan lembaga pemerintah.
Model ACSI merupakan salah satu alat untuk melakukan pengukuran yang berbasis pada pelanggan (customer-based measurement system). Model ini ditujukan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan, industri, sektor-sektor ekonomi, dan ekonomi nasional yang secara aplikatif memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan model pengukuran kepuasan pelanggan yang selama ini banyak dilakukan.
Dari survei kali ini diperoleh gambaran yang menarik. Secara umum, sejatinya konsumen Indonesia memiliki standard yang tidak tinggi dan cenderung unspoken. Jadi sepertinya mudah terpuaskan, tetapi kalau tidak puas mereka tidak mengkomunikasikannya ke pemilik merek. Mereka langsung saja pindah ke merek lain. Bagi pemilik merek ini tidak mudah sehingga ketika riset CS di Indonesia, apabila digunakan sebagai dasar loyalty strategy, harus lebih detail ke riset tentang dampaknya ke loyalitas.
Temuan MARS-ACSI juga memberikan gambaran bahwa di sejumlah kategori seperti oli pelumas mobil, minyak goreng, bank, air minum dalam kemasan, dan beberapa kategori produk lainnya, indeks kepuasan pelanggannya di atas rata-rata global. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya merek atau produk tersebut kualitasnya yang dipersepsikan konsumen di atas rata-rata global.
Dalam survei Global Customer Satisfaction Standard (GCSS) kali ini, dari 138 brand yang disurvei (berasal dari 50 industri), sebanyak 108 brand (72.5%) berhasil meraih bintang 5 untuk kepuasan pelanggan mereka. Ini artinya, mereka berhasil men-deliver customer satisfaction level di atas rata-rata indeks kepuasan konsumen global di masing-masing kategori produk. Sementara itu 29 brand meraih bintang 4 yang artinya tingkat kepuasan konsumennya berhasil mencapai standard global.
Di Industri perbankan dan jasa keuangan, ada empat bank nasional yang kualitas produk dan service-nya mencapai bintang lima, yaitu Bank BCA, Bank Mandiri, BRI, dan BNI. Ini artinya, kualitas layanan mereka melampaui standard kepuasan konsumen global.
Sementara di industri multifinance mobil, layanan Astra Credit Company dan Adira Finance meraih bintang lima. Di Asuransi kesehatan, ada Jamsostek dan Askes; di industri asuransi jiwa ada AIA, Prudential, dan Jiwasraya; di asuransi mobil ada Astra Buana (Garda Oto) dan Adira Insurance (Autocillin); dan terakhir di industri unit link ada Prudential dan AXA Mandiri.
Ini mengindikasikan bahwa dalam era tanpa batas saat ini, mereka atau perusahaan sejatinya mampu mengatasi dan mengubah tantangan akibat persaingan di tingkat global yang semakin ketat belakangan ini menjadi peluang. Dalam persaingan ini, berdasarkan temuan GCSS banyak produk atau merek Indonesia yang benar-benar kuat, efisien, dan berkualitas sesuai dengan tuntutan pasar yang akan memenangkan persaingan. Tidak hanya di level lokal, nasional, tapi juga internasional.
Hasil penelitian yang dilakukan MARS-ACSI ini juga memberikan gambaran tentang kinerja kualitas dari produk-produk Indonesia. Seperti diketahui -- dan ini merupakan keunggulan kedua dari pengukuran model ACSI -- ACSI mengukur kualitas produk dan jasa yang didasarkan pada pengalaman pelanggan yang memiliki pengalaman menggunakan atau mengkonsumsi.
Pengukuran kepuasan dengan model ACSI akan berbeda dengan teknik pengukuran kepuasan melalui teknik pengukuran secara langsung atau metode plurality (misalkan top two boxes-TTB). Pengukuran kepuasan dengan model ACSI memiliki tiga anteseden: perceived quality, perceived value, dan customer expectations.
Temuan mengisyaratkan kepada para pengelola merek untuk benar-benar mengelola komunikasinya sehingga tidak membuat ekspektasi konsumen terlalu tinggi sementara merek atau produknya tidak mampu mempenuhi ekspektasi tersebut.
Seperti dimaklumi, ekspektasi konsumen dipengaruhi oleh pengalaman pembelian yang dilakukan sebelumnya, karena saran teman atau koleganya, serta janji dan infoemasi pemasar dan pesaingnya. Jika para pemasar meningkatkan harapan terlalu tinggi, para pembeli kemungkinan besar akan kecewa. Di Indonesia, terutama di telekomunikasi, semua provider jor-joran dengan harga. Masing-masing mengklaim sebagai yang paling luas, luas jangkauan, tanpa putus dan sebagainya. Tapi apa yang terjadi?
Keluaran dari penelitian ini tidak hanya nilai skor kepuasan yang akan didapat tetapi juga hal-hal sebagai kunci pendorong kepuasan. Salah satu bagian penting dari ACSI adalah kemampuannya untuk memprediksi economics return. Model ACSI menggunakan dua pewakil untuk memprediksi economic return yaitu: 1) customer retention (diestimasikan dari sebuah transformasi non-linear dari pengukuran seperti repurchase) dan 2) price tolerance.
Di Amerika Serikat, model ini menjadi salah satu barometer dari kesuksesan perekonomian yang mencerminkan tingkat kepuasan pelanggan terhadap produk dan jasa yang dibeli. Dalam setiap surveinya melibatkan 200 perusahaan di lebih dari 40 industri dengan menginterview lebih dari 65.000 responden setiap tahun.
Wawancara dilakukan dengan tetap menjaga validitas data. Karena itu responden hanya diwawancara hanya untuk paling banyak 10 produk yang berbeda / jasa kategori dan hanya yang berasal dari paling banyak 3 perusahaan pemilik produk atau jasa. Wawancara dilakukan sampai kuota 250 wawancara per perusahaan terpenuhi, terlepas dari ukuran akhir dari kolam sampel.
Karena itu, ACSI telah menjadi acuan bagi para pemain bisnis dalam mengukur kinerja perusahaan diluar balance sheet. American Customer Satisfaction Index telah memberikan sebuah acuan tentang seberapa baik tingkat kualitas produk dan layanan yang dikonsumsi dan diproduksi pada sebuah perekonomian utnuk melengkapi pengukuran output ekonomi tradisional. Karena itu, hasil ACSI sangat berguna bagi para pembuat kebijakan publik, manajer dan investor, dan pelanggan.
Kesuksesannya dalam mengungkapan kinerja perekonomian telah dibuktikan melalui berbagai macam kajian. Salah satunya adalah kajian tentang hubungan ACSI dengan harga saham di Amerika. Dalam kajian tersebut dipilih 20% perusahaan yang memiliki skor ACSI tertinggi. Berdasarkan pengamatan dari tahun 1996-2006 dapat disimpulkan bahwa ada korelasi kuat antara skor ACSI dengan harga saham.
Bagaimana bisa? Seperti diilustrasikan di bagian pertama menu utama ini, membaik atau memburuknya sikap pelanggan terhadap suatu mereka terjadi ketika mereka melihat ketidakkonsistenan kualitas. Perubahan skor kepuasan pelanggan perusahaan tidak terjadi dalam semalam. Pengaruhnya bekerja melalui rantai nilai yang kompleks yang pada akhirnya mempengaruhi keuntungan kuartal dan harga saham.
Karena itu, perusahaan dengan kepuasan pelanggan yang tinggi tidak hanya mampu menghasilkan stock return yang lebih tinggi, tetapi juga stock value dan cash flows tidak bergejolak. Keampuhan model ACSI telah membuktikan bahwa pengukuran kinerja perusahaan di luar balance sheet patut untuk dijadikan acuan bagi para pelaku bisnis. ACSI menunjukkan sebuah cara baru untuk engevaluasi dan meningkatkan kinerja perusahaan dan ekonomi modern. Pengukuran out of balance sheet mampu mengungkapkan kinerja ekonomi nasional secara empirik.
Implikasi dari kajian ACSI ini akan berbeda dari satu perusahaan atau industri dengan perusahaan atau industri lainnya. Pada perusahaan yang memiliki siklus pembelian yang lama seperti asuransi kesehatan dan durable goods, perubahan kepuasan pelanggan akan berdampak lebih buruk pada upaya peningkatan penjualan perusahaan, peningkatkan harga, dan lain sebagainya.
Di banyak sektor industri yang bergantung pada layanan, jika kepuasan pelanggan perusahaan meningkat, pelanggan akan cepat menyesuaikan perilaku mereka dan memberitahu orang lain. Kemudian, orang yang diberitahu tersebut cenderung segera mengubah perilaku pembeliannya. Data PlanetFeedback.com memperlihatkan bahwa di industri computer misalnya, tantangannya adalah bagaimana memberikan layanan prima.
Ini karena masalah yang berkaitan dengan pelayanan memiliki pengaruh yang jauh lebih besar dibandingkan dengan masalah yang berkaitan dengan produknya sendiri. Sebab sejak awal berhubungan – kontak – sudah berlangsung atau sudah melibatkan interaksi langsung antara perusahaan dan pelanggan mereka. Disini pelanggan mulai kontak, mengungkapkan keinginan yang kuat untuk memecahkan masalah mereka. Pada proses inilah pelanggan akan merekomendasi – dalam hal ini bila puas – atau mencela dan menyebarkannya bila tidak puas.
Edhy Aruman - Wartawan Utama (2868-PWI/WU/DP/VI/2012...), pernah menjadi redaktur di majalah SWA. Aruman pernah meniti karier kewartawanan di harian Jawa Pos, Berita Buana, majalah Prospek, Harian Republika dan editor eksekutif di Liputan 6 SCTV, sebelum pindah ke SWA (http://www.detik.com/berita/199902/990212-1319.html). Lulus S3 Komunikasi IPB, Redaktur Senior Majalah MIX, dosen LSPR Jakarta, dosen PR FISIP UI (2015-2022), dan salah satu ketua BPP Perhumas periode 2011-2014.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar