Dalam jumpa persnya di
Surabaya, Bos AirAsia Tony Fernandes memberikan pembelaan terhadap Capt
Irianto, pilot QZ8501. Bahkan Tony yang menyempatkan diri datang ke Surabaya
terkait kejadian hilangnya pesawat itu mengatakan bahwa Irianto adalah pilot
yang berpengalaman. Jadi dia sama sekali tidak menyalahkan sang pilot dalam
peristiwa ini.
Tak hanya berkunjung ke
Surabaya, Tony juga mengirimkan sejumlah cuitan untuk menyemangati keluarga
penumpang Air Asia QZ 8501. Cuitan pertama dikirimkan oleh Tony pada Ahad, 28
Desember 2014 pukul 12.00 WIB. Dalam cuit tersebut, Tony berkata, "Kami akan
memberikan kabar baru sesegera mungkin. Terima kasih atas segala perhatian dan
doa yang kalian berikan. Kita harus tetap tabah."
Cuitan kedua
dilayangkan Tony sekitar pukul 15.00 WIB. "Dalam perjalanan ke Surabaya
bersama manajemen Air Asia Indonesia yang merupakan tempat asal sebagian besar
penumpang. Akan mengirim informasi baru begitu mendapatkannya."
Tak lama dari cuitan
kunjungan ke Surabaya itu, Tony melanjutkan cuitannya dengan mengatakan,
"Perhatianku kutujukan penuh terhadap para penumpang dan kru saya. Kami
berikan harapan kami terhadap operasi SAR."
Satu jam kemudian, Tony
kembali mengirimkan cuitan. Kali ini, ia berkata,"Aku tersentuh dengan
besarnya dukungan dari para maskapai penerbangan lainnya. Ini mimpi terburukku,
tapi tak ada kata untuk berhenti."
Ia melanjutkan tweet
tersebut dengan mengatakan,"Sebagai CEO, aku akan berada di sana
(Surabaya) untuk melewati masa-masa susah ini. Kita akan melewati hal buruk ini
bersama." Terakhir, Tony mengatakan bahwa dirinya akan memperhatikan
segala kerabat dari para penumpang dan kru yang berada di dalam pesawat Air
Asia QZ8501.
Perhatikan, apakah Tony
pernah mengucapkan kata maaf? Dalam rilis pertama beberapa jam setelah pesawat
hilang kontak, hanya disebutkan bahwa “dengan menyesal menginformasikan.” Tiada
kata maaf secara eksplisit.
Bisa jadi Tony maupun
manajemen AirAsia tak perlu mengatakan itu karena yakin musibah bukan
disebabkan oleh pihaknya. Jadi, dalam konteks crisis communication, saat Anda
atau perusahaan Anda melakukan sesuatu yang mengakibatkan orang lain susah, apa
yang Anda lakukan? Anda meminta maaf kepada semua orang? Atau melakukan seperti
yang Tony lakukan.
Pertanyaannya berikut,
apakah hal itu benar-benar merupakan langkah terbaik? Ketika datang krisis
menimpa, sekadar mengatakan penyesalan hanya akan memunculkan kritik. Ini
menyedihkan, tapi mungkin saja akurat.
Yang perlu diingat
adalah bahwa pada dasarnya setiap keadaan itu unik. Dalam tulisannya 2 Desember
lalu, Brett Arends menceritakan bahwa akhir November lalu, Elizabeth Lauten,
direktur komunikasi untuk anggota Kongres dari Partai Republik mewakili Tennessee,
melakukan sesuatu yang persis dengan yang seharusnya dia lakukan setelah
membuat kesalahan.
Lauten mengkritik putri
Presiden Obama di Facebook dan mengeluh bahwa mereka telah berpakaian tidak pas
saat tampil di Gedung Putih dalam acara “turkey pardoning"
Ketika komentar itu memicu kemarahan, Lauten memposting permintaan
maaf yang isinya sebagai berikut: "Setelah berjam-jam berdoa, berbicara
dengan orang tua saya dan membaca-ulang kata-kata saya yang tulis online, saya
bisa melihat dengan lebih jelas bagaimana menyakitkan kata-kataku itu. Perlu
diketahui bahwa perasaan menghakimi seperti itu benar-benar tidak punya tempat
di hatiku. Selain itu, saya ingin meminta maaf kepada semua orang yang merasa terluka
dan tersinggung dengan kata-kata saya, dan berjanji untuk belajar dan tumbuh
(dan saya meyakinkan Anda saya punya) dari pengalaman ini. "
Hasilnya? Dia
kehilangan pekerjaannya, dan sama sekali tidak punya poin dari siapa pun untuk
meminta maaf padanya.
Michael Jackson
membantah tuduhan yang dikenakan terhadap dirinya. Bill Cosby juga menyangkal apa
yang dikatakan orang-orang terhadap dirinya. Jika Anda berpikir dua penghibur itu
menderita serius karena tidak menyatakan maaf, coba bayangkan sekarang
bagaimana nasibnya jika mereka mengakui bahwa dugaan tuduhan itu akurat.
Internet telah mengubah
permainan. Ada ada lagi penjaga gerbang. Tidak ada lagi aturan kesopanan atau
alasan. Bahkan jika Anda berhasil membujuk produser beberapa TV, editor dan
penulis dengan permintaan maaf Anda, apa yangterjadi? Mereka tenggelam oleh
hiruk-pikuk kekacauan dan online.
Dalam kasus Lauten
misalnya, meski telah minta maaf, namun orang-orang dalam media sosial masih
menjuluki dia sebagai manusia dengki. Perintaan maaf akan tenggelam oleh suara
yang paling keras, suara pemarah. Sebuah studi yang dilakukan peneliti University
of Iowa pada situs terbesar, Yahoo Finance menemukan bahwa 50% dari semua
komentar itu datang dari hanya 3% dari komentator. Kedua, 75% komentar itu berasal
dari hanya 11% diantara mereka.
Jelas, jika Anda berada
dalam situasi yang sama sekali tidak dapat dipertahankan Anda akan punya
pilihan selain untuk meminta maaf. Tapi hal itu jarang terjadi daripada yang sering
kita perkiraan.
Lauten mungkin akan menjadi
lebih baik jika dia menolak untuk mundur. Sebaliknya, misalnya, dia mungkin menunjukkan
bahwa putri Presiden Carter, Amy, juga pernah dikritik secara luas oleh media
beberapa tahun lalu karena dia membaca buku di ruang makan Gedung Putih.
Padahal, saat itu Amy baru berusia sembilan tahun.
Melalui media, Lauten
bisa saja menyerang orang lain yang memberikan lampu hijau kepada remaja untuk
muncul di acara-acara formal orang tua mereka dengan bercelana kargo, t-shirt,
dan celana pendek.
Jadi, apakah meminta
maaf itu perlu? Menurut saya perlu, bahkan harus. Meminta maaf bukan berarti
kita melakukan kesalahan besar, tapi setidaknya dengan meminta maaf kita
mengakui bahwa kita membuat mereka menjadi tinyak nyaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar