Survei ini mengukuhkan
anggapan bahwa perguruan tinggi neheri masih lebih diminati dibandingkan
swasta. Akan tetatpi, benarkan dari sisi kualitas perguruan tinggi negeri
dinilai lebih tinggi dibandingkan perguruan tinggi swasta?
Pendidikan memiliki kontribusi yang makin penting dalam
pembangunan sosial ekonomi. Penelitian yang dilakukan Walter McMahon, Profesor
Pendidikan Emeritius di Universitas Illinois, menunjukkan bahwa jumlah lulusan
sarjana di sebuah negara berkembang mempunyai dampak yang sangat cepat dan
dapat diukur secara statistik pada area-area tertentu di dalam masyarakat,
termasuk tingkat pendapatan yang lebih tinggi.
Karena itu muncul tekanan dari stakeholder terhadap kinerja
pendidikan tinggi, terutama dalam adaptasi kurikulum sehingga bisa memenuhi
tuntutan pasar tenaga tenaga yang saat ini juga berubah. Ada tuntutan agar
pendidikan tinggi di Indonesia mampu menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja
global.
Paradigma bahwa pendidikan tinggi bukanlah biaya tetapi
investasi yang sangat menguntungkan semakin diterima. Di negara-negara OECD,
jumlah penduduk usia dewasa yang menyelesaikan pendidikan tinggi mencapai 28%
populasi dunia berpendidikan tinggi, dan secara khusus di populasi masyarakat
dengan pendidikan tinggi di Jepang dan Amerika Serikat mencapai hampir setengah
(48%) dari populasi dunia yang memperoleh pendidikan tinggi (OECD, 2010, hal.
27).
Persoalannya, di Indonesia, tingkat akses pendidikan tinggi
di Indonesia masih lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara Asia
Tengara lainnya. Pada 2010, Gross Enrollment Ratio (GER) Indonesia tingkat
pendidikan dasar dan menengah setara dengan negara berkembang di Asia Tenggara
lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Namun, GER tingkat
pendidikan tinggi Indonesia lebih rendah. Indonesia berada di tingkat 14,6%
sementara Malaysia (28,3%), Thailand (35,3%) dan Singapura (33,7%).
Tinggi rendahnya Gross Enrolment Ratio berhubungan dengan
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebuah negara. PBD per kapita di tahun
2010 Indonesia sebesar USD 4.310 jauh
lebih rendah dibandingkan Malaysia (USD 15.116), Thailand (USD 8.655), dan
Singapura (USD 57.596).
Konsekuensinya, akses masyarakat pada pendidikan tinggi juga
terbatas. Berdasarkan data Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2011, jumlah
mahasiswa Indonesia saat ini baru 5,3 juta orang, 1 juta diantara berasal dari
perguruan tinggi negeri, 3 juta di perguruan tinggi swasta, sisanya pedidikan
tinggi kedinasan, keagamaan dan sebagainya. Angka tersebut di luar mereka yang
menempuh pendidikan di luar negeri. Menurut perkiraan setiap tahun sekitar 36
ribu pelajar Indonesia yang masuk ke perguruan tinggi di luar negeri.
Indonesia sianggap sebagai pasar yang besar untuk perguruan
tinggi asing. Tak heran negara-negara asing gencar promosi pendidikan tinggi di
Indonesia. Malaysia, Singapura, Jepang, Australia, Amerika Serikat, Inggris,
Selandia Baru, Taiwan, China, maupun negara Eropa ramai-ramai menggelar promosi
pendidikan asing di Indonesia. Mereka memperkenalkan berbagai kelebihan dan
fasilitas yang didapat mahasiswa jika melanjutkan studi di negara tersebut.
Mereka juga berani menawarkan berbagai
beasiswa dan kemudahan.
Dunia pendidikan tinggi menghadapi tantangan baru.
Tantangan-tantangan ini termasuk reformasi pemerintah dalam pendidikan tinggi,
yang di dalamnya antara pendirian perguruan tinggi negeri di setiap ibu kota
provinsi yang saat ini belum memiliki perguruan tinggi negeri dan akademi
komunitas di setiap ibukota kabupaten atau kotamadya.
Bagai pengelola pendidikan tinggi, ini merupakan tantangan,
terutama dalam upayanya untuk merekrut calon mahasiswa. Tapi di sisi lain,
lembaga pendidikan tinggi dihadapkan pada persaingan perguruan tinggi dalam
merekrut calon mahasiswa. Disinilah pentingnya bagi lembaga pendidikan tinggi
untuk mengidentifikasi faktor-faktor kelembagaan yang pertimbangan seorang
calon mahasiswa memilih perguruan tinggi sangat penting.
Harus diakui bahwa proses pemahaman terhadap faktor-faktor
yang menjadi pertimbangan calon mahasiswa dalam memilih perguruan tinggi
tidaklah mudah. Diakui atau tidak, bagi calon mahasiswa, proses pemilihan
perguruan tinggi merupakan keputusan besar.
Tidak hanya dalam hal keuangan, tetapi juga karena
melibatkan suatu keputusan jangka panjang yang mempengaruhi kehidupan
siswa. Ini karena – dalam persepsi
banyak orang -- pilihan ini dapat mempengaruhi karir masa depan siswa,
persahabatan, kehidupan sosial di masa depan dan kepuasan pribadi siswa.
Dalam perspektif calon dan orang tua calon mahasiswa,
keputusan untuk mendaftar di lembaga pendidikan tinggi dianggap berpotensi
mengubah kehidupan individu. Karena itu, keputusan tersebut merupakan isu yang
penting. Namun, proses yang mempengaruhi keputusan ini panjang dan rumit.
Studi ini meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi siswa
dalam keputusan mereka untuk memilih pendidikan tinggi dengan pendekatan model
stimulus-respon perilaku konsumen, menunjukkan bahwa ketika akan mengambil
keputusan, siswa dihadapkan dengan stimulus eksternal seperti kendaraan
pemasaran institusional, atribut institusional dan faktor non-terkontrol
seperti orang tua dan teman-teman.
Ibarat memilih produk yang ingin dibelinya, pemilihan
perguruan tinggi melibatkan berbagai tahapan proses pengambilan keputusan.
Secara umum model pengambilan keputusan terdiri dari sejumlah tahap atau fase
di mana faktor-faktor individu dan berbagai organisasi berinteraksi untuk
menghasilkan sesuatu yang mempengaruhi
tahap pengambilan keputusan berikutnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Majalah MIX, dalam
manentukan pendidikan tinggi, keputusan pemilihan pendidikan dilakukan
berdasarkan kombinasi dari beberapa faktor. Rata-rata, para peserta menyebutkan
setidaknya tiga faktor penting yang mempengaruhi keputusan mereka untuk memilih
pendidikan tinggi. Yang pertama adalah kualitas lulusan, kedua reputasi, dan
kesesuaian antara biaya dan manfaat yang didapatkan.
Survei yang dilakukan Majalah MIX ini mengukuhkan bahwa
kualitas lulusan memegang peranan penting dalam keputusan siswa dan orang tua
dalam memilih lembaga pendidikan tinggi. Teoritis, konsep ini berfokus pada
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan agar seseorang bisa
mencapai kinerja yang fleksibel dalam domain pekerjaan tertentu.
Menjelang akhir tahun 1990-an, konsep ini menginspirasi
munculnya konsep kompetensi, yang merupakan hasil dari sesuatu yang dipelajari dan diajarkan yang menunjukkan
bakat seseorang untuk melakukan berbagai aktivitasnya seperti pekerjaan,
belajar, dan mengatasi perubahan.
Periode ini juga menyaksikan runtuhnya gagasan pendidikan
tinggi sebagai rezim otonom. Pendidikan tinggi semakin datang untuk dilihat
sebagai penyedia modal intelektual bagi ekonomi pengetahuan, dimana penekanan
utama ditempatkan pada kompetensi yang berkaitan dengan kerja tim, pemecahan
masalah, kreativitas masalah, dan kemampuan analitis. Kompetensi ini dipandang
sebagai karakteristik lulusan yang kompeten dan diterima secara luas oleh
masyarakat terutama dunia industri.
Tidak mengherankan, meningkatnya minat dalam kompetensi dan
relevansi pendidikan bagi pasar tenaga kerja tidak begitu saja oleh mereka yang
peduli dengan manajemen mutu dalam pendidikan tinggi. Di masa lalu, fokus
terutama pada input pendidikan dan proses pendidikan itu sendiri, tapi hari ini
ada peningkatan perhatian pada tujuan akhir, atau output yang diinginkan, dari
program pendidikan tinggi.
Selain itu, kini terjadi pergeseran lebih lanjut dalam
output, dari kinerja pendidikan seperti yang ditunjukkan, misalnya, dengan
hasil ujian, ke kompetensi yang (diharapkan) dimiliki lulusan. Alasannya
sederhana: beberapa bukti menunjukkan bahwa pendidikan tinggi terbaik dapat
menunjukkan kualitas mereka melalui kemampuan lulusan mereka praktek di dunia
kerja.
Dengan kata lain, konsep kompetensi ini menjadi salah satu
hal penting karena alasan bahwa mengikuti pendidikan tinggi adalah untuk
memperoleh kualifikasi tinggi dalam pekerjaan atau karir tertentu. Motif lain,
seperti untuk meningkatkan pendapatan atau untuk mendapatkan pekerjaan yang
prestisius juga dianggap penting oleh
beberapa responden. Dengan kata lain, tujuan utama belajar di pendidikan tinggi
adalah untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan.
Ada kepercayaan yang kuat di kalangan siswa bahwa mereka
diharapkan untuk "memperbaiki diri" dengan masuk ke pendidikan
tinggi. Mereka menyebutkan bahwa hal itu tidak hanya akan menyebabkan pekerjaan
yang lebih baik, tapi pekerjaan yang dibayar lebih baik dan pilihan yang lebih
baik dari pekerjaan. Karena itu, dalam survey ini, indikator untuk mengukur
kualitas lulusan ini adalah kemudahan lulusan dalam memperoleh pekerjaan, dan
sebagainya.
Reputasi lembaga juga dianggap sebagai faktor terpenting
dalam keputusan siswa dalam memilih pendidikan tinggi. Teoritis, reputasi
lembaga pendidikan tinggi ini mempengaruhi sikap siswa dalam memilih sebuah
institusi dengan melihat faktor status lembaga (apakah publik atau swasta),
peringkat dan prestasi lembaga pendidikan tinggi tersebut.
Ketika memilih sebuah lembaga pendidikan tinggi, siswa tidak
hanya dipengaruhi oleh persepsi dan sikap mereka sendiri, tetapi juga oleh apa
yang dipikirkan orang lain. Umumnya, reputasi lembaga pendidikan tinggi
berkaitan dengan keunggulan umum dari sebuah institusi di mata publik. Sebagai
contoh, siswa dan orang tua percaya bahwa lembaga pendidikan tinggi negeri
setempat memberikan pendidikan sarjana yang lebih baik daripada lembaga-lembaga
swasta.
Dalam pandangan publik, lembaga yang memiliki citra yang
baik di masyarakat, menghasilkan lulusan terbaik. Lainnya dibedakan antara lembaga
pendidikan negeri dan swasta. Sebagian besar dari mereka menyebutkan bahwa
lembaga pendidikan negeri telah terakreditasi daripada lembaga swasta, sehingga
kualitas sangat unggul. Jadi secara umum, peringkat lembaga mempengaruhi
perspsi siswa dan orang tua terhadap kualitas lembaga secara langsung.
Survey tetang lembaga pendidikan tinggi ini dibedakan antara
lembaga pendidikan tinggi berakreditasi A dan B. Survei yang dilakukan Majalah
MIX ini lembaga pendidikan tinggi negeri lebih banyak dipilih siswa ketimbang
lembaga pendidikan tinggi swasta. Selain itu, dilihat dari semua indicator,
lima lembaga pendidikan tinggi negeri teratas, nilai semua indikator lebih
tinggi dari nilai semua indicator yang dicapai oleh lembaga pendidikan tinggi
swasta.
Kedua, dari sisi pilihan, harus diakui bahwa lembaga dengan
akreditasi A masih lebih dipilih ketimbang lembaga dengan akreditasi B, meski
harus diakui bahwa dilihat dari masing-masing indikator tidak ada perbedaan
signifikan antara kretiria pemilihan lembaga akriditasi A dan B. Ketiga,
pemisahan ini mengakibatkan naiknya posisi Universitas Trisakti.
Tahun sebelumnya, untuk sekolah komunikasi posisi
Universitas Trisakti berada di urutan ketiga setelah STIKOM LSPR dan Universitas
Bina Nusantara. Tahun lalu, peringkat Universitas Trisakti naik ke posisi kedua
di bawah STIKOM LSPR. Sementara itu Universitas Bina Nusantara yang tahun ini
berakreditasi B, menduduki peringkat pertama di kelompok akreditasi B.
Banyak orangtua dan siswa sangat menekankan masuk ke lembaga
pendidikan tinggi papan atas. Ini karena
lembaga pendidikan tinggi tersebut membantu siswa untuk mendapatkan pekerjaan
terbaik. Mereka juga mengkaitkan peringkat lembaga dengan akreditasi. Menurut
mereka, bila suatu lembaga memiliki
kredibilitas yang baik, kualitasnya juga baik. Akreditasi dan peringkat adalah
panduan yang berguna untuk mendapatkan pekerjaan yang baik.
Persepsi lain tentang reputasi lembaga juga dipengaruhi oleh
kemungkinan bahwa mereka akan diterima oleh lembaga pendidikan tinggi pilihan
mereka. Siswa mengasumsikan bahwa reputasi berhubungan dengan tingkat kemampuan
bersaing, karena mereka tahu bahwa semakin tinggi daya saing suatu lembaga,
maka reputasi lembaga tersebut semakin tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar