Tampilnya chief
executive officer (CEO) Tony Fernandes saat krisis seakan mengukuhkan pendapat
bahwa ketika perusahaan mengalami suatu krisis seorang CEO harus tampil di
depan. Namun, situasi ini bukan tanpa risiko.
Selasa (25/03/2014) CEO Malaysia Airlines Ahmad Jauhari
Yahya dan Chairman Muhammad Nur Yusuf menggelar jumpa pers soal tragedi pesawat
MH370. Saat sesi tanya jawab, mereka diberondong pertanyaan soal bukti tentang
jatuhnya pesawat berisi 239 orang tersebut di Samudera Hindia.
Saat sesi tanya jawab, kedua pejabat itu jadi sasaran empuk
para wartawan. Banyak yang bertanya soal bukti serpihan dan penyebab
kecelakaan, hingga kesediaan dua pejabat itu untuk mundur dari jabatannya.
"Bagaimana Anda bisa menyimpulkan pesawat berakhir di
Samudera Hindia, sementara belum ada temuan serpihan apa pun. Apakah cukup
hanya berdasarkan analisis data saja?" tanya salah seorang jurnalis.
Baik CEO maupun Chairman MAS tak bisa menjawab secara
gamblang. Menurut mereka, proses investigasi masih berjalan. Data dari Inggris
harus diterima sebagai sebuah kenyataan, meski pahit untuk keluarga korban. "Kami
tidak tahu kenapa, dan kami tidak tahu bagaimana tragedi ini terjadi, tapi
keluarga besar Malaysia Airlines kini terus berdoa untuk para penumpang dan kru
MH370," kata Nur Yusuf.
Dalam beberapa literatur, tersirat bahwa peran utama CEO
dalam mengatasi krisis organisasi adalah mengatasi problem tersebut. Peran
tersebut, selain menetapkan arah bagi organisasi, CEO harus bisa meneguhkan
atau mengembalikan kepercayaan stakeholder.
Ketika krisis terjadi, penting bagi setiap CEO untuk hadir.
Kehadiran disini bukan hanya dengan pernyataan melainkan juga untuk hadir di
tengah kerabat korban untuk menghibur, sering memberikan update yang
transparan, dan menawarkan permintaan maaf serta berjanji untuk memberikan
kompensasi.
Namun ketika CEO begitu terkait dengan citra perusahaan
sebagaimana Fernandes, sangat penting bagi seorang pemimpin untuk tampil di
depan dan hadir di-tengah keluarga korban. Jika seorang eksekutif memupuk
dirinya sebagai bagian dari citra merek ketika dalam situasi yang tidak krisis,
ada sebuah kekosongan yang lebih besar jika dia tidak hadir di saat yang buruk.
Sejauh ini, Fernandes tampaknya memahami tanggung jawab yang kini makin tinggi
itu.
Boin et al. (2005) menyebutkan lima tugas penting
kepemimpinan yang harus dilakukan CEO saat krisis; yakni membangun sense of
crisis, mengambil keputusan untuk menangani krisis, mem-framing dan membangun
serta menyampaikan arti penting krisis kepada pemangku kepentingan, mengakhiri
krisis untuk mengembalikan organisasi ke situasi normal, serta mengarahkan
organisasi untuk belajar dari krisis yang telah terjadi.
Selain itu, salah satu peran eksplisit yang harus dijalankan
CEO adalah penegasan kepemimpinan dengan mengasumsikan perannya sebagai juru
bicara organisasi (Englehardt et al, 2004;. Littlefield dan Quenette, 2007;
Mintzberg, 1998; Nadler, 2006; Petersen dan Martin, 1996).
Seorang CEO harus terlihat. Ini untuk mengukuhkan arti
penting krisis bagi organisasi dan menghilangkan setiap gagasan bahwa
organisasi mungkin mengingkari tanggung jawabnya kepada para pemangku
kepentingan (Ulmer et al., 2007).
Ketika krisis, perusahaan atau rganisasi harus segera
mengidentifikasi dan menunjuk satu juru bicara kunci untuk memastikan bahwa
organisasi berbicara dengan satu suara. Menetapkan beberapa juru bicara akan
membuat perbaikan citra lebih tersebar dan ambigu (Barrett: 2005). Sementara
kredibilitas CEO sebagai juru bicara organisasi tidak diragukan lagi, yang
belum jelas adalah pada kapan seorang
CEO harus tampil.
Seperti dimaklumi, perkembangan internet dan media sosial
telah mengubah tantangan yang dihadapi para manajer. Bila internet adalah sebuah langkah evolusi
penting dalam komunikasi krisis, bukan revolusi, media sosial berhasil
mengubahnya menjadi revolusi. Bila saat awal perkembangan internet manajer
krisis masih menghadapi kebutuhan yang sama untuk mengidentifikasi tanda-tanda
peringatan, menghadapi tuntutan komunikasi dasar yang sama, menggunakan konsep
yang sama, dan harus memberlakukan respon strategis yang efektif, kini berubah
total.
Manajer krisis perlu mengidentifikasi tanda-tanda peringatan
secepat perkembangan isu sendiri. Di era media sosial, isu berkembang secepat
hitungan jarum detik jam. Karena itu untuk mencegah krisis dan/atau membatasi
kerusakan dari krisis yang muncul, dalam kondisi tertentu, langkah cepat harus diambil.
Era media sosial telah mengubah cara bagaimana informasi
dikumpulkan dan, dalam beberapa kasus bagaimana informasi diproses. Manajer
krisis dihadapkan dengan permintaan untuk membuat respon yang cepat dan akurat.
Dalam situasi tersebut, para pakar manajemen krisis menyarankan
bahwa perusahaan atau organisasi harus membangun jejaring online yang kuat dan
mengidentifikasi serta memilih juru bicara online sebelum krisis berlangsung
(Whaling, 2011).
Juru bicara tersebut, disiapkan untuk menghadapi krisis dan
dia bertindak mewakili perusahaan atau organisasi selama krisis masih dianggap
berlangsung dan bertanggung jawab untuk menyampaikan pesan secara cepat dan
akurat baik kepada public atau internal perusahaan.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa juru bicara yang
kredibel sangat menentukan keberhasilan manajemen krisis (Barret, 2005; Coombs,
2007). Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang harus menjadi jurubiacara
tersebut? Berikut adalah tiga argumen umum dan apa yang harus Anda pertimbangkan.
Argumen pertama adalah bahwa yang menjadi juru bicara
haruslah CEO. Kenapa? CEO adalah salah seorang atau satu-satunya suara yang
tidak ingin perusahaannya gagal. Dalam suatu krisis, CEO harus mengelola krisis
dan mengelola operasi bisnis.
Peran yang diharapkan dari CEO tersebut krusial terutama
pada jam-jam pertama dari krisis, ketika hampir semua orang ingin mendapatkan
informasi. Dalam krisis yang parah yang melibatkan jatuhnya korban cidera atau
kematian, CEO menjadi bisa menjadi cerminan kasih sayang organisasi. Bahkan
kemudian, CEO sebagai juru bicara mungkin dalam beberapa jam ke krisis.
Persoalannya adalah pada satu jam pertama krisis, ketika
sebuah pernyataan harus dibuat, CEO sering sibuk dengan isu lain. Misalnya
urusan internal, administrasi dengan pemerintah dan sebagainya. Kedua, jika seorang CEO salah berbicara di awal
krisis, dia kehilangan kredibilitas dan merusak reputasi organisasi. Bila itu
terjadi, perusahaan sulit mencari pengganti sebagai jurubicara karena bila sang
CEO tetap menjadi jurubicara, public sudah tidak mempercayainya lagi.
Akan menjadi persoalan bila penggantinya adalah orang yang
memiliki posisi lebih rendah. Disini publik akan makin tidak percaya, karena
dalam bayangan mereka, bila CEOnya saja salah memberikan informasi apalagi
pejabat di level di bawahnya.
Ini beda dengan bila yang berbicara di awal adalah orang
lain. Bila salah ngomong di awal krisis misalnya, orang tersebut bisa
digantikan CEO yang masuk untuk mengklarifikasi fakta, sehingga bisa membangun
kesan bahwa dialah sosok pahlawannya.
Baiknya adalah Argumen keda adalah bahwa yang menjadi
jurubicara sebaiknya adalah public relations.
PR merupakan pilihan yang sangat baik sebagai wakil pada jam pertama dari
krisis ketika wartawan datang pada awal-awal krisis. Namun, disini PR tidak
harus menjadi suara tunggal seluruh krisis. Disini PR harus menjadi anggota dari tim manajemen
krisis dan harus memimpin tim komunikasi krisis.
Karena perannya sebagai penyampai pernyataan pertama tentang
krisis, dia harus tetap berada di koridor rencana komunikasi krisis. Namun
demikian, karena beberapa fakta yang dia diketahui, memungkinkan PR untuk memberikan
fakta-fakta dasar, mengatakan sesuatu yg boleh disebut, sementara menjanjikan
informasi lebih lanjut pada briefing di selanjutnya.
Argumen ketiga adalah yang menjadi jurubicara haruslah
beberapa orang. Pertibangannya adalah pada jam-jam pertama krisis, orang atau
public membutuhkan informasi dasar, misalnya peristiwanya kapan terjadi dan
sebagainya. Namun, di jam-jam berikutnya yangmenyangkut perkembangan dari
penyelidikan krisis misalnya, biasanya menyangkut hal-hal yang sifatnya teknis.
Disini tentu membutuhkan jurubicara yang faham mengenai hal teknis tersebut.
Bila itu dilakukan maka perusahaan – dalam konteks
perencanaan komunukasi krisis – harus melatih banyak orang untuk siap menjadi
jurubicara. Kedua, selama pelatihan -- perusahaan harus melakukan seleksi sebab
ibarat tim olahraga, perusahaan memiliki banyak bintang serta orang-orang yang
kuat di bangku cadangan yang siap untuk bermain bila diperlukan. Pelatihan,
terutama media handling -- membantu
mengidentifikasi pemain bintang dan pemain sekunder.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar