Perjalanan dan pariwisata merupakan salah satu industri yang kini mengglobal dan secara luas dianggap sebagai salah satu industri dengan pertumbuhan tercepat di dunia, jika tidak bisa dikatakan sebagai industri dengan pertumbuhan tercepat. Hampir semua negara kini berbenah untuk menarik sebanyak mungkin para traveller dan pariwisata.
Semalam (Selasa, 2/12), Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya menetapkan Pesona Indonesia dan Wonderful Indonesia sebagai country branding yang wajib digunakan dalam setiap promosi pariwisata. “Masih dibolehkan untuk membuat destination branding di masing-masing destinasi yang digunakan bersama-sama dengan branding Wonderful Indonesia atau Pesona Indonesia,” kata Menpar Arief Yahya di Jakarta. Pariwisata Indonesia tak jadi menggunakan tagline Indonesia Wow seperti saat pertama dilontarkan Arief Yahya lontarkan sehari setelah dilantik menjadi Menteri Pariwisata. Dengan kata lain, untuk promosi wisata, Indonesia menggunakan tagline tagline lama yang digunakan Indonesia sejak 2011 saat kementrian pariwisata dipimpin Jero Wacik.
Dalam konteks komunikasi, ada pertanyaan penting yang muncul. Pertama adalah dimana posisi Indonesia sekarang? Maksudnya bagaimana Indonesia dipersepsikan oleh para traveller dan wisatawan baik asing maupun lokal. Kedua, branding itu ditujukan untuk siapa? Siapa yang ingin ditarget dengan branding tersebut dan apa yang diharapkan dari mereka yang ditarget branding itu?
Selama 2013, Asia Tenggara menerima kunjungan wisatawan international sebesar 97 juta wisatawan. Berdasarkan data terbaru yang dikeluarkan Pacific Asia Travel Association (PATA) — Asia Pacific Visitor Arrival Forecasts 2014-2018 — Thailand adalah negara yang paling banyak dikunjungi wisatawan asing. Pada 2013, Thailand menerima kunjungan wisatawan internasional sebesar 26,5 juta. Lalu disusul oleh Malaysia di angka 26,3 juta. Urutan ketiga adalah Singapura dengan angka kunjungan 15,6 juta.
Bagaimana dengan negara Indonesia? Indonesia di urutan keempat dengan angka 8,3 juta. Vietnam berada di urutan berikutnya dengan angka kunjungan sebesar 7,4 juta. Lalu, Filipina dengan angka kunjungan 4,4 juta dan Kamboja sebesar 4,3 juta. Di posisi akhir adalah Laos dengan angka kunjungan 3,9 juta dan Myanmar 800 ribu kunjungan.
Seperti diketahui, branding adalah alat manajemen tradisional yag digunakan oleh pemasar untuk menciptakan diferensiasi yang berarti untuk mencapai keunggulan kompetitif di pasar. Sementara itu, manajemen merek berarti proses perencanaan, pengelolaan dan koordinasi strategi dari suatu merek. Tugas yang harus dijalankan seorang manajer merek biasanya berkaitan dengan analisis pasar, targeting, strategi positioning, analisis kinerja dan penyesuaian strategi, identifikasi kebutuhan produk baru dan koordinasi kegiatan marketing (Cravens & Piercy, 2006).
Anholt (2007) membedakan merek destinasi kedalam empat aspek; identitas merek, citra merek, tujuan merek dan ekuitas merek. Identitas merek merujuk pada seperangkat asosiasi unik dari merek (Aaker 1996, hal. 68). Ini mewakili seperangkat janji yang kan merek. Roll (2006) menunjukkan hal-hal berikut yang perlu dipertimbangkan ketika seorang manajer merek merumuskan identitas merek: Brand visions (arah masa depan bagi sebuah merek.
Brand scope merujuk pada segmen pasar dan kategori produk merek dapat melayaninya; brand positioning (tempat di pikiran pelanggan yang diinginkan penglola merek); Brand personality (karakter merek karakter yang bisa membantu pelanggan terhubung secara emosional dengan merek) dan esensi merek (jiwa dan hati dari merek, keunikan dan sebagainya). Menentukan strategi identitas merek adalah inisiatif strategis yang sangat penting. Menurut Cravens dan Piercy (2006), identifikasi merek harus span horizon waktu yang lama, memberikan dasar untuk mengembangkan brand equity.
Anholt (2007) mengakui sifat multi-aspek dari sebuah nation brand dan mengkonseptualisasikan brand nation ke dalam teori brand nation hexagon. Konsep tersebut meliputi enam komponen yaitu: pemerintahan, investasi, ekspor, pariwisata, budaya dan orang-orang. Bagi Nworah (2007, hal. 45), nation branding adalah “proses dimana sebuah kota, daerah, negara (tempat) yang secara aktif berusaha untuk menciptakan identitas unik dan kompetitif untuk dirinya sendiri, dengan tujuan memposisikan secara internal dan internasional sebagai tujuan untuk perdagangan, pariwisata dan investasi yang baik. “Nation branding adalah proses membangun dan mengelola identitas dan citra suatu negara jelas untuk menarik dan memenuhi kebutuhan internal dan eksternal stakeholder, pengunjung dan investor.
Dalam konteks manajemen merek strategis Aaker (1996) mengembangkan kerangka proses manajemen merek strategis yang terdiri dari serangkaian inisiatif yang saling terkait. Kegiatan yang terlibat dalam proses ini adalah: mengembangkan identitas merek; identity implementation yang merujuk pada penentuan bagian dari identitas yang akan dikomunikasikan kepada target audiens dan bagaimana hal itu harus dilakukan; mengelola merek dari waktu ke waktu-mengelola merek melalui siklus hidupnya yang mungkin melibatkan perubahan strategi merek meski tetap harus konsisten dalam strategi pemasaran adalah penting; mengelola portofolio merek portofolio berarti mengelola organisasi dan kategori produk sebagai suatu sistem ketimbang mengejar strategi merek secara independen.
Selain itu, proses manajemen merek strategis berfokus pada penentuan struktur, ruang lingkup, peran dan hubungan antar portofolio merek. Pengelolaan portofolio merek yang baik dapat menciptakan sinergi dan meleverage merek yang relevan, terbedakan dan memberi energy pada merek. Meleverage merek berarti melibatkan upaya memperluas identitas inti item produk dalam lini produk atau kategori baru. Metode ini meliputi ekstensi lini, peregangan merek secara vertikal, perluasan merek dan co-branding, lisensi; Brand equity merupakan aset dan kewajiban meliputi loyalitas merek, kesadaran merek, persepsi kualitas, asosiasi merek dan aset hak milik merek (paten); Analisis merek strategis menyediakan informasi penting untuk pengambilan keputusan untuk setiap kegiatan manajemen merek. Analisis meliputi pasar / pelanggan, pesaing dan analisis merek.
Ketika seseorang membeli produk, mereka membeli seperangkat manfaat yang harapkan bisa memuaskan kebutuhannya. Orang membeli produk tidak tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fungsional melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terwujud, misalnya ekspresi diri. Ini berarti, agar berhasil, sebuah merek harusnya bisa menyediakan manfaat emosional. Dengan kata lain, sebuah merek yang berhasil pada dasarnya mampu menyediakan pengalaman konsumsi yang bagus.
Dalam konteks pariwisata, the World Tourism Organization mengakui adanya kecenderungan beberapa pihak melihat tujuan wisata sebagai aksesori fashion. Artinya, tujuan wisata hendaknya dilihat sebagai sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan identitas seseorang.
Karena itu, pilihan tujuan wisata akan membantu dalam menentukan identitas wisatawan, dan dalam dunia yang semakin homogen, ini akan membuat sekelompok orang menjadi berbeda dengan kelompok lainnya.
Saat mengunjungi suatu destinasi, wisawatan biasanya membeli produk yang terkait dengan perjalanan mereka. Mereka mengambil gambar dan video tempat yang mereka kunjungi. Produk dan gambar terait lokasi wisata tersebut kemudian digunakan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka telah mengunjungi destinasi tersebut. Bukti anekdotal perilaku wisatawan yang khas tersebut menunjukkan bahwa — apapun motifnya — wisatawan menggunakan perjalanan mereka sebagai perangkat ekspresif untuk mengkomunikasikan pesan tentang diri mereka kepada teman-temannya.
Karena itu, tujuan wisata merupakan sesuatu yang dapat memuaskan kebutuhan dasar dan aktualisasi diri wisatawan. Orang memilih untuk melakukan perjalanan ke tujuan wisata tertentu sesuai dengan keinginan mereka akan karakteristik tertentu, seperti iklim, pemandangan, fasilitas dan atribut lainnya. Namun demikian pilihan tujuan tertentu juga tergantung pada karakteristik tak berwujud seperti kepuasan sosial. Jadi sebuah destinasi dapat dicirikan sebagai sesuatu yang memiliki dua dimensi: representasional (atribut yang terkait dengan ekspresi diri individu) dan fungsional (aspek utilitarian dari sebuah tujuan wisata seperti matahari, terumbu, langit, budaya, dan sebagainya).
Salah satu aspek emosional yang dipertimbangkan traveller dan wisatawan adalah reputasi negara. Ini sangat menentukan cara orang dalam dan di luar negeri merasakan dan berhubungan dengan negara tersebut. Dalam pasar yang sangat kompetitif seperti saat ini, citra negara menjadi faktor penentu keberhasilan negara sebagai suatu destinasi. Persoalannya, tidak seperti membangun sebuah merek produk, membangun dan mempertahankan citra merek destinasi.
Menurut Kotler dan Gertner (2002), produk baru bisa eksis dengan jalan membangun seperangkat asosiasi. Tidak seperti negara dan masyarakat, dalam konteks membangun citra sebuah produk, perusahaan bebas mengubah produk dalam merespon permintaan konsumen. Produk juga dapat dihentikan, dimodifikasi, ditarik dari pasaran, diluncurkan kembali dan direposisi atau diganti dengan produk yang lebih baik. Sebagian besar tindakan itu tidak bisa dilakukan pada place. Untuk membangun kembali citra suatu negara atau place dibutuhkan waktu bertahun-tahun (Frost, 2004).
Dalam memutuskan apakah seseorang membeli, mengunjungi dan berinvestasi — begitu persaingan semakin ketat dan pasar lebih ramai — konsumen, wisatawan, imigran dan investor cenderung lebih bergantung pada reputasi negara dari pada atribut. Jadi? Apakah benefit fungsional dan emosional Indonesia mampu menarik menarik minat wisatawan asing?
Harus diakui bahwa Indonesia menghadapi banyak persoalan sosial yang mungkin bisa melemahkan reputasinya. Namun demikian terserbut bukannya tidak mungkin untuk diubah. Banyak negara yang berhasil mengubah citranya. Ambil contoh Thailan. Sebagai negara kecil yang sedang berkembang, Thailand menyadari kebutuhan untuk meningkatkan nation brand nya untuk bersaing di pasar global yang kompetitif. Untuk itu Thailand melakukan branding. Langkah pertama dari proyek yang diprakarsai oleh Pemerintah Thailand ini adalah mengetahui dan mempelajari bagaimana orang-orang di seluruh dunia melihat kekuatan dan kelemahan bangsanya.
Salah satu isu yang paling penting menempatkan Thailand pada kerugian yang signifikan adalah citra pariwisata seks. Kaitan kuat antara Thailand dan wisata seks dimulai selama Perang Vietnam pada 1960-an dan 1970-an, ketika Thailand dan militer AS menandatangani perjanjian yang memungkinkan tentara AS untuk datang ke Thailand untuk ‘Istirahat dan Rekreasi’ (Truong, 1990; Miller, 1995) .
Untuk memperbaiki citra negatif ini, Thailand mengambil dua langkah perbaikan nyata, yakni kebijakan pemerintah dan peningkatan citra melalui strategi place branding. Beruntung Thailand memiliki banyak fitur dan image yang positif, seperti pemandangan alam yang indah, sejarah yang kaya dan budaya yang unik.
Untuk itu, Pemerintah Thailand menggandeng LSM dan organisasi lainnya, baik lokal maupun internasional, bekerja proaktif menengatasi permasalahan tersebut. Pemerintah Thailand mengambil kebijakan menghentikan penghisapan para pekerja seks. Kebijakan lain adalah meningkatkan program pencegahan dan memberikan lebih banyak pilihan gaya hidup bagi mereka yang terlibat dalam prostitusi. Salah satu contoh dari hal ini di Thailand adalah program konseling di bidang pendidikan dan pekerjaan yang ditujukan secara khusus pada gadis-gadis muda beresiko direkrut ke dalam perdagangan seks.
Sementara itu, kualitas positif Thailand di berbagai tingkat, mulai dari lingkungan fisik pelayanan publik, hiburan dan rekreasi atraksi dan sifat rakyat Thailand dieksplotasi dan dikomunikasikan dengan agresif. Komponen kolektif ini memberikan kesempatan bagi Thailand untuk bersaing di pasar global. Thailand memiliki keuntungan dari berbagai wisata alam yang beragam, terdiri dari pegunungan, hutan, air terjun, sungai dan pantai, dikombinasikan dengan sejarahnya dan budaya yang kaya.
Thailand juga menawarkan segala bentuk tradional dariThailand. Perayaan tradisional dan kegiatan untuk menikmati memeriahan Thailand ditawarkan dan dikelola sedemikian rupa sehingga wisatawan mendapatkan pengalaman yang menarik. Ini termasuk tawaran Thailand sebagai salah satu tempat terbaik untuk berbelanja, di mana pengunjung dapat menemukan berbagai pilihan produk dan layanan dengan harga yang wajar.
Infrastruktur yang bisa merusak daya tarik Thailand juga diperbaiki, termasuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh atraksi dan kemeriahan serta persoalan sosial seperti kemacetan lalu lintas, polusi dan pengelolaan limbah yang buruk. Meskipun penelitian Branding Thailand menemukan bahwa konsumen (yaitu wisatawan) kurang mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dibandingkan dengan atraksi rekreasi dan hiburan, namun pemerintah Thailand terus menu meningkatkan infrastruktur dan pelayanan publik (misalnya perlindungan terhadap warga, termasuk wisatawan dan propertinya; jaminan sosial dan pendidikan bagi warganya ) terus dikembangkan untuk mengakomodasi perluasan industri pariwisata.
Edhy Aruman - Wartawan Utama (2868-PWI/WU/DP/VI/2012...), pernah menjadi redaktur di majalah SWA. Aruman pernah meniti karier kewartawanan di harian Jawa Pos, Berita Buana, majalah Prospek, Harian Republika dan editor eksekutif di Liputan 6 SCTV, sebelum pindah ke SWA (http://www.detik.com/berita/199902/990212-1319.html). Lulus S3 Komunikasi IPB, Redaktur Senior Majalah MIX, dosen LSPR Jakarta, dosen PR FISIP UI (2015-2022), dan salah satu ketua BPP Perhumas periode 2011-2014.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar