Dalam beberapa tahun
terakhir, akuisisi merek marak kembali. Pertanyaannya adalah bagaimana nasib
merek setelah diakuisisi
Tiga puluh tahun lalu,
Profesor Theodore Levitt dari Harvard Business School mengejutkan dunia
pemasaran. Dalam tulisannya berjudul The
Globalization of Markets yang dimuat di
Harvard Business Review, Levitt mengatakan bahwa teknologi membuat
pergeseran preferensi konsumen sehingga mengalami konvergensi. Karena itu,
bisnis yang sukses adalah yang memasarkan produk yang terstandar secara
global.
Argumentasi utama
Levitt adalah bahwa globalisasi telah menyebabkan punahnya perbedaan
tradisional dalam selera nasional. Ini memang bertentangan dengan paradigm
pemasaran konvensional saat itu yang berpandangan bahwa perusahaan harus fokus
menawarkan produk yang diinginkan pelanggan. Karena itu, syarat utama sevelum
suatu perusahaan meluncurkan produk baru, produk baru tersebut harus diuji
apakah sesuai dengan keingina pasar atau
tidak.
Namun Levitt memiliki
ide yang menentang arus utama tersebut dengan mengatakan bahwa perusahaan harus
menawarkan produk yang mereka antisipasi bakal diterima pasar, bukan
produk yang merespon permintaan
konsumen. Menurut Levitt, pada kondisi seperti itu perusahaan harus mengetahui
keinginan tersembunyi konsumen, dalam
arti konsumen sendiri belum yakin tentang apa yang sebenarnya mereka butuhkan.
Namun pasar selalu
menggoda. Bayangkan saat ini kelas menengah global diperkirakan tumbuh dari 1,8
miliar pada 2010 menjadi 4.9 miliar pada tahun 2030. 85% dari pertumbuhan ada di Asia. Pendapatan
segmen ini akan terus meningkat, sehingga nafsu belanja juga makin meningkat.
Pertumbuhan fenomenal memacu pemasar global untuk memperkenalkan merek yang
melayani secara khusus pasar Asia yang umumnya sensitive terhadap harga namun
ingin yang lebih bagus.
Pada tahun 2010, Levi
Strauss meluncurkan denim bermerek Denizen di China untuk memenuhi konsumen
sadar anggaran yang lagi booming. Dengan diferensiasi yang sama, Burberry menjual
merek Blue Label untuk pakaian dan sepatu yang tanpa diposisikan sebagai merek
dengan kualitas rendah karena sedikit
eksklusif di pasar Jepang. Tujuannya telah menawarkan pakaian yang lebih pas
dan mungil untuk konsumen usia muda di Jepang
Sementara beberapa
pemasar memperkenalkan merek yang Asia-sentris, hampir semua pemasar dihadapkan
pada persoalan keputusan strategis, apakah akan meluncurkan merek baru,
memperluas yang sudah ada untuk kategori produk baru atau mengakuisisi merek
lokal. Keputusan yang diambil berpotensi menjadi perangkap meskipun jika dilaksanakan dengan baik dan
hasilnya bisa saja sangat besar.
Peluncuran merek,
secara historis, memiliki potensi kegagalan yang cukup tinggi dan biaya yang
sangat besar. Sementara itu, ekstensi merek, jika tidak berhasil, dapat merusak
ekuitas merek induknya. Bahkan probabilitas keberhasilan pendekatan ini hampir fifty-fifty. Pendekatan
alternative ainnya adalah dengan meluncurkan merek baru di Asia menjadi 'merek
kedua' yang lebih murah, kualitas yang lebih rendah namun tetap berbau premium
sebagai merek yang sudah ada. Pendekatan ini biasanya diadopsi karena konsumen
di pasar ini cenderung sensitif terhadap harga.
Selain seperti yang
dilakukan Levi Strauss dengan merek denim Denizen di China, banyak industri
juga menerapkan startegi merek kedua ini untuk memenuhi konsumen yang sadar
anggaran. Di industri penerbangan misalnya, pada pertengahan 2012 lalu,
Singapore Airlines meluncurkan operator murah Scoot. Maskapai penerbangan yang
baru ini tarifnya 40% lebih murah daripada operator layanan full service.
Awalnya hanya menjalani rute di Australia dan China. Maskapai Australia,
Qantas, juga menerapkan strategi yang
sama delapan tahun sebelumnya dengan peluncuran Jetstar.
Pendekatan kedua untuk
beradaptasi dengan perubahan di lansekap pasar Asia adalah dengan mengakuisisi
merek lokal. Pada tahun 2009, PepsiCo mengakuisisi Amacoco, produsen air kelapa
terbesar di Brasil. Dengan akuisisi ini, perusahaan itu mampu memperluas basis
pasar mereka tidak hanya di Amerika Latin tetapi juga di India dan negara Asia
Tenggara lainnya.
Demikian pula, dalam
upayanya untuk mendorong pemasaran produk air, teh siap minum dan produk jus
buahnya, Coca Cola di China mengakuisisi merek lokal. Portofolio mereka
sekarang termasuk Heaven and Earth
(minuman rasa the siap minum),Smart (jus berkarbonasi) dan 'Qoo' (jus
non-karbonasi), berhasil menanamkan pengakuan dan kesadaran untuk merek-merek
itu melalui lokalisasi produk.
Groupe Danone SA,
perusahaan makanan Perancis, juga mengikuti
pendekatan ini. Mereka tidak hanya mengakuisisi merek lokal, juga
mengembangkan produk baru untuk di bawah di China dengan merek sendiri seperti
Mizone, air minum dengan rasa dan diperkaya vitamin. Dengan pendekatan ini
memungkinkan perusahaan untuk memperkuat identitas merek mereka di pasar
negara-negara berkembang.
Dalam perjalanannya,
sejalan dengan globalisasi, akuisisi merek tidak hanya terjadi oleh perusahaan
dari negara-negara maju. Perusahaan sukses dari negara-negara berkembang
(negara-negara dengan image asal – country of origin -- rendah) berusaha untuk
mengakuisisi perusahaan dari negara-negara maju (yaitu merek asal negara yang
tinggi). Contoh dari ini adalah perusahaan baja terbesar di India, Mittal,
mengakuisisi Perancis Arcelor (Craze dan Deen, 2006). Kemudian Lenovo
mengakuisisi komputer IBM.
Dalam beberapa tahun
terakhir dunia seakan dibanjiri oleh petualangan perusahaan-perusahaan dari
Asia. Suntory baru-baru ini menyebabkan aduk dengan pembelian Beam -- salah
satu anak usaha Genting Group Malaysia
(salah satu operator kasino terbesar di Asia) yang menjadi tulang punggung
tempat judi di Nevada; Weetabix -- merek sereal terlaris di Inggris -- dilahap
Bright Foods dari China, sementara
Manganese Bronzewarna , pembuat taksi hitam di London, telah bergabung dengan
Volvo ke dalam Geely asal Hangzhou. Dan pada bulan April, Sanpower dari China
membeli House of Fraser, salah satu department store terkenal di Inggris.
Di Indonesia, dalam
beberapa tahun terakhir, akuisisi merek marak kembali. Tahun lalu misalnya,
Indofood yang sudah memiiki merek Indomilk mengakuisisi Milkuat, merek susu
cair untuk segmen anak-anak berusia 5-12 tahun dari Danone Dairy Indonesia.
Milkuat juga memiliki banyak varian dengan harga terjangkau serta menjadi salah
satu pemain utama di segmen produk susu cair. Sebelumnya, PT Tiga Pilar
Sejahtera Food (TPSF) mengakuisisi merek snack taro beserta pabriknya dari PT
Unilever Indonesia
Pertanyaannya adalah
apa yang terjadi setelah merek-merek diakuisisi. Beberapa merek memang masih
tetap Berjaya. Buavita yang diakuisisi Unilever dari PT Ultra Jaya, misalnya
masih memimpin pasar. TPSF juga terus mengembangkan merek Taro. Dua tahun lalu
misalnya, Taro melakukan brand activation “PetualanganTaro.” Melalui activation
ini, Taro ingin menjadi snack favorit di kalangan anak-anak.
Peran akuisisi telah
banyak dibahas dalam literatur manajemen. Strategi akuisisi ini memungkinkan
mereka untuk mendapatkan teknologi, akses pasar baru, atau membentengi posisi
mereka di pasar saat ini. Selain itu, perusahaan memperoleh manfaat juga dengan
memanfaatkan ekuitas merek yang diperoleh dari merek yang diakuisisi.
Mengakuisisi merek yang sudah mapan, seperti jalan tol pertumbuhan bisnis. Ini
karena bila membuat merek baru mereka harus mempelajari pasar lebih dulu dan
itu pun tingkat keberhasilannya belum tentu tinggi.
Dari berbagai bahasan
literatur tersebut, gambarannya adalah bahwa akuisisi merek adalah sebuah
pertaruhan yang tak mudah. Terdapat beberapa bukti yang cukup bahwa sejatinya –
paska akuisisi -- banyak akuisisi yang gagal. Kasus Lenovo yang mengakuisisi
divisi computer IBM menarik karena kedua merek mempunyai perbedaan persepsi
yang berbeda. Sebagai merek asal China, persepsi Lenovo memang tidak sebagus
IBM yang asal Amerika. IBM memiliki
citra yang baik, yakni asal Amerika Serikat dan memiliki reputasi untuk
memproduksi produk yang baik. Di sisi lain, perusahaan pengakuisisi Lenovo
meski kelompok produsen PC terbesar di Cina, namun menghadapi persoalan citra
negara asal (yakni China) yang rendah. Hasil akhirnya, Lenovo memang masih
merek terkemuka di Cina, namun Lenovo kehilangan pangsa pasar di Eropa dan
Amerika Serikat.
Tahun 2011, Nestle
Group, produsen makanan terbesar di dunia, menandatangani perjanjian kemitraan
dengan produsen permen dan kue China, Hsu Fu Chi International Ltd. Nestle berniat untuk mengakuisisi 60 persen
saham di perusahaan Cina, kesepakatan senilai $ 1,7 miliar. Kesepkatan itu
menjadikan transaksi yang ke-35 perusahaan asing mengambil alih merek China
sejak trend itu terjadi. Itu juga
merupakan kali kedua Nestle mengakuisisi
perusahaan Cina. Sebelumnya, Nestle membeli 60 persen saham Yinlu Foods Group
yang terkenal dengan makanan dan minuman kaleng nya.
Melalui pembelian itu,
sebagian orang dalam percaya Nestle bermaksud untuk mendapatkan keunggulan
kompetitif di industri permen dan kue pasar di China melalui pembelian. Akan
tetapi, akuisisi ini memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat China,
yang percaya bahwa merek Hsu Fu Chi akan hilang setelah akuisisi tersebut.
Ketakutan ini
beralasan. Sebab pengalaman memberikan gambara bvanyaknya merek-merek yang
hilang dari pasar setelah akuisisi. Merek domestik seperti Dabao (kosmetik),
Robust (air mineral), Supor (kompor), Nanfu (baterai) dan Mini Nurse (kosmetik)
kuat di pasar masing-masing sampai dibeli oleh perusahaan multinasional. Namun
setelah diakuisisi, banyak dari mereka telah lenyap dari pasar.
Pada tahun 2003,
L'Oreal membeli merek Mini Nurse. Sekarang, merek tersebut telah hampir
menghilang dari pasar. Pada tahun 1994 Unilever menguasai Shanghai Toothpaste
Factory dan menyewa hak operasional merek Zhonghua. Sekarang pangsa pasar pasta
gigi Zhonghua tinggal di bawah 6 persen.
Sebelum diakuisisi,
Maxam menguasai pangsa pasar nasional sebesar 20 persen. Pada tahun 1990,
pemilik merek Maxam, Shanghai Jahwa Serikat Co Ltd, melakukan aliansi dengan SC
Johnson Wax, dan merek Maxam di”simpan” alias dikandangkan. Shanghai Jahwa
membeli Maxam kembali pada tahun 1994
senilai 500 juta yuan ($ 77.640.000), tetapi merek telah kehilangan tempatnya
di pasar.
Menyadari fenomena
tersebut, Lu Renbo, Wakil Sekretaris Jenderal China Electronics Chamber of
Commerce, mengatakan sebagian besar perusahaan China memang masih belum
menyadari pentingnya perlindungan merek. Itu sebabnya, setelah diakuisisi oleh
perusahaan asing, merek mereka menghilang. Intinya, banyak perusahaan asing
yang hanya menginginkan saluran penjualan dan sumber daya pemasaran yang
dimiliki oleh merek domestik sebagai jalan keluar berbagai kesulitan yang
mereka jumpai di pasar domestic. Mereka mengakuisisi bukan karena nilai merek domestik.
Terlepas motif akuisisi
tersebut, bila perusahaan yang mengakuisisi memang ingin
meningkatkan portfolio merek mereka, tantangan yang muncul setelah akuisisi ini
adalah bagaimana mengintegrasikan sumber
daya mereka. Ketika perusahaan atau divisi milik perusahaan berbeda
digabungkan, merek sebagai identitas perusahaan sering menyebabkan masalah.
Dimulai dengan
bagaimana nama perusahaan setelah daikuisi turun ke rincian tentang apa yang
harus dilakukan bila terjadi tumpang tindih dan persaingan antara merek yang
dimiliki oleh perusahaan sebelumnya. Juga
bagaimana mendamaikan konflik akibat perbedaan budaya di belakang merek.
Selain itu, kompleksitas akuisisi dalam hal industri yang berbeda, skala, dan
reputasi merek lain menciptakan kesulitan akuisisi merek.
Untuk sukses, mereka
juga harus menerapkan strategi perpindahan merek dengan hati-hati dengan fokus
pada upaya mengurangi kekhawatiran konsumen terhadap merek baru yang
dikembangkan yang merupakan hasil dari akuisisi dari perusahaan lain.
Citra merek merupakan
isyarat ekstrinsik penting bahwa konsumen menggunakan citra tersebut untuk
menghargai suatu merek. Citra yang baik dan reputasi yang baik harus berjalan
beriringan. Mereka menciptakan kepercayaan dan keyakinan konsumen. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa citra negara-asal secara fundamental mempengaruhi
strategi merek. Ini merupakan tantangan besar bagi perusahaan-perusahaan dari
negara berkembang.
Pengaruh citra
perusahaan yang memiliki citra rendah lebih berbahaya pada citra merek yang
lemah dibanding brand image yang kuat, sehingga manajemen harus menyusun
strategi untuk memisahkan merek dari negara-asal gambar jika mereka memperoleh
merek lemah atau citra yang rendah akan menurunkan niat konsumen untuk
membelinya.
Kualitas produk,
strategi harga, dan strategi komunikasi pemasaran merupakan sumber daya sangat
penting untuk membangun dan mempertahankan merek yang baik. Dari beberapa kasus
akuisisi merek sterakhir, beberapa
perusahaan yang mengakuisisi memiliki sumber daya ini. Karena itu,
seyogyanya memiliki lebih banyak peluang untuk lebih meningkatkan ekuitas merek
paska akuisisi.
Pada 1990an, tekanan
untuk membangun merek yang kuat membuat WalMart masuk ke pasar ritel kelontong.
Itu salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap konsolidasi berlangsung
di industri pada saat itu. WalMart ulang standar untuk efisiensi rantai
pasokan, menyebabkan banyak perusahaan untuk mencari untuk mengembangkan skala
ekonomi dan pasar secara geografis luas untuk bersaing dengan strategi branding
dan distribusi nasional WalMart itu.
Pada saat yang sama,
posisi WalMart sebagai pemimpin harga industri menekan pesaing untuk memegang
garis pada harga, meskipun fakta bahwa gerakan umum menuju konsolidasi, yang
akan meninggalkan industri dengan pesaing yang lebih sedikit, sehingga kedua
harga dan margin keuntungan untuk meningkatkan.
Banyak pesaing
menanggapi perubahan ini dengan mengejar pertumbuhan dengan akuisisi strategi.
Safeway Perusahaan adalah contoh utama. Akuisisi mereka di akhir 1990-an
termasuk Randall Food Markets yang berbasis di Texas, Carr (Alaska), dan
Dominick (Illinois). Pada tahun 2001, Safeway menambahkan rantai Genuardi itu,
melakukan bisnis di Pennsylvania, Delaware, dan New Jersey.
Safeway mengejar
strategi merek akuisisi eksternal untuk membeli empat dan lainnya rantai toko
tersebut. Nama merek dan pengakuan selalu menjadi bagian penting dari strategi
Safeway.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar