Ketika tentara mempersiapkan diri
untuk pertempuran, salah satu elemen penting dari pelatihan mereka, latihan
lagi, latihan lagi. Hidup mereka bisa bergantung pada keberhasilan dalam
latihan tersebut sehingga latihan ini
harus dilakukan dengan benar. Lalu apa hubungan antara latihan tempur dan public relations? Dalam
pertempuran, tentara harus aman dan efektif keluar zona bencana dengan jumlah
korban minimal.
Begitu juga organisasi ketika dihadapkan dengan krisis. Ini
karena kesalahan bisa berubah menjadi bencana. Dalam era digital ini, di mana
setiap orang dan setiap orang dapat menjadi seorang penulis dan penerbit,
kesalahan kecil oleh organisasi dapat berubah menjadi bencana yang secara
fenomenal menyebar melalui media sosial dan saluran lainnya. Hal ini menjadikan
rencana komunikasi krisis semakin penting dari sebelumnya. Semua organisasi
dari berbagai ukuran atau jenis, harus memiliki semacam rencana komunikasi
krisis. Adalah musibah besar ketika ada krisis, organisasi tidak tahu bagaimana
berkomunikasi selama krisis.
Agustus 2009, tanggal 28, di San Diego, California, Mark
Saylor, istrinya, anak perempuannya, dan saudara iparnya tewas ketika mereka
berkendaraan Lexus. Mobil yang disewa dari sebuah rental itu berbelok di luar
kendali pada kecepatan lebih dari 100 mph, bertabrakan dengan kendaraan lain,
dan jatuh ke dalam jurang. Mobil pun mobil terbakar.
Tragedi keluarga diketahui banyak
orang karena mereka mendengar melalui panggilan 911. Seperti peristiwa dramatis
lainnya, kecelakaan ini cepat menjadi perhatian banyak orang, apalagi Mark
Saylor adalah pensiunan petugas patroli jalan raya California. Opini publik pun
beragam, dengan tekanan pada nada
negatif yang ditujukan pada Toyota dan produknya. “Jika seorang polisi
saja tidak bisa menyelamatkan keluarganya dari mobil yang lepas kendali, orang
biasa mana bisa selamat. Jika itu bisa terjadi pada mereka, kejadian serupa
bisa saja terjadi pada saya.”
Tahun terjadinya tragedi itu bisa
jadi punya makna tersendiri pada Toyota. Menyusul tragedi itu, Toyota me-recall
(menarik kembali) sembilan juta unit produknya dari pasar akibat kesalahan pada
pedal gas. Kepercayaan publik terhadao Toyota nyaris terkikis. “Cukup
menyakitkan. Ini adalah tugas berat kami untuk memulihkan ekuitas merek dan
membangun kembali kepercayaan konsumen,” kata
Akio Toyoda, CEO Toyota.
Riset GfK MRI’s Starch Advertising
Research Brand Disposition mengungkapkan bahwa sebelum recall, lebih
dari tiga perempat (83%) orang dewasa AS yang disurvei mempunyai penilaian yang
positif terhadap merek Toyota. Sementara sekitar satu dari lima orang (17%)
menilai negatif. Setelah recall, sikap konsumen terhadap Toyota berubah.
Disposisi merek positif anjlok lima poin menjadi 78%, sedangkan disposisi merek
negatif naik lima poin menjadi 22%.
Penarikan Toyota belum berakhir.
Pada April 2010, setelah menerima keluhan pelanggan, Toyota menarik lagi jutaan
unit kendaraan karena masalah dengan pedal akselerator. Termasuk pula me-recall
Camry karena masalah rem potensial, truk Tacoma yang cacat poros baling-baling
depan dan minivan Sienna untuk korosi cadang-ban operator. Selama itu, sentimen
positif konsumen terhadap brand anjlok lagi menjadi 59%, sedangkan sentimen
negatif terus meningkat menjadi 41%.
Saat itu, Toyota masuk ke dalam
situasi krisis. Selain biayanya mahal, recall menghambat penjualan
Toyota dan hilangnya reputasi. Ini benar-benar tragedi mengingat Toyota
merupakan sebuah merek yang identik dengan keandalan, fokus pada pelanggan,
bertanggungjawab pada lingkungan, dan kualitasnya yang berkelas dunia.
“Tiba-tiba saja, Toyota dicitrakan negatif oleh para analis dan pers,” tulis
Ángel Cabrera, President dari Thunderbird School of Global Management,
dalam pengantar buku Toyota Under Fire: Lessons for Turning Crisis into
Opportunity karya Jeffrey K. Liker dan Timothy N. Ogden. Liker adalah
penulis buku laris The Toyota Way.
Banyak analis dan ahli, tulis
Cabrera, menuduh para pemimpin Toyota lambat merespon krisis, cenderung
menyangkal, atau bahkan mencoba menyembunyikan fakta-fakta, dan lebih
mengutamakan keuntungan sebelum melakukan pengamanan. Tapi yang sesungguhnya
terjadi, Toyota menanggapi krisis ini dalam minggu-minggu dan bulan-bulan
panjang setelahnya. Respon Toyota
bukanlah dengan memberikan pernyataan—seperti yang pada umumnya dilakukan
perusahaan yang terkena krisis, melainkan dengan meminta stafnya untuk
menemukan cara memperbaiki, mengerahkan ratusan perwakilan layanan pelanggan
Toyota untuk melayani puluhan ribu panggilan pelanggan setiap hari, meminta
serta memonitor pekerjaan dealer yang bekerja tanpa henti untuk
membangun kembali kepercayaan pelanggan Toyota.
Toyota tidak melakukan outsourcing
layanan pelanggan ke call center—yang notabene biasanya
berupah rendah. Toyota menggunakan sumber daya sendiri untuk menghadapi
krisis. Toyota memiliki budaya untuk mengambil alih situsai pada saat yang
paling dibutuhkan.
Penanganan model atau budaya inilah
yang – menurut Cabrera, banyak mendapat kritik para analis, walau sebenarnya
jutsru budaya itu yang akhirnya menyelamatkan Toyota dari krisis. Ini seakan
menjungkirbalikkan thesis bahwa dalam kondisi krisis manajemen krisis harus fokus pada
pengendalian kerusakan langsung, strategi PR, dan rencana kontingensi yang
cerdas.
Falsafah Hansei Toyota—bahwa
setiap orang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan, belajar dari
kesalahan itu, dan menghindari menimpakan kesalahan pada orang lain—dan mengakarnya penghargaan atas nilai pelanggan
terbukti lebih berharga daripada strategi komunikasi. Ulasan menyeluruh Liker dan Ogden dalam buku ini
tentang bagaimana Toyota menangani krisis saat recall memberikan pesan
penting yang relevan pada dunia industri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar