Pada dasarnya mekanisme
kerja tim komunikasi krisis itu sama.
Yang penting pesan yang muncul dalam komunikasi krisis harus dibangun di
atas empat pilar: kejujuran, transparansi, konsistensi dan akuntabilitas.
Pada tahun 1984, sitkom
perintis The Cosby Show mulai debutnya di NBC. Bill Cosby berperan sebagai
Cliff Huxtable, seorang figure bapak panutan yang sehat dan moralistic. Tiga
puluh tahun kemudian, reputasi Bill Cosby
ternoda dan harus diperbaiki.
Pada akhir 2014, lebih
dari 26 orang tampil ke depan dan menyatakan bahwa Bill Cosby telah mencabuli
atau memperkosa mereka. Bahkan lebih mengejutkan, banyak diantara wanita itu –
saat itu – masih di bawah umur. Kebanyakan dari mereka mengaku telah dibius
Cosby.
Skandal itu cukup
mengejutkan. Tim PR Cosby pun bereaksi juga dengan cara yang mengejutkan.
Mencoba meredakan situasi, profesional PR yang berada di sekeliling Cosby
merilis sebuah "Cosby Meme Generator" di Twitter tak lama setelah para
wanita itu mengungkapkan perlakuan Cosby terhadap mereka.
"Silakan. Meme
aku!" Bill Cosby menge-tweet pada Senin (10/11/2014) dengan link ke
generator meme di situsnya. Tweet itu mempersilakan pengguna memilih salah satu
dari 12 foto yang berbeda dan menulis teks pada bagian atas dan bawah khas meme
fashion. Inti dari meme itu itu adalah pengguna diminta mengkonfirmasi apakah
benar Cosby melakukan tindakan itu.
Seakan membenarkan
tuduhan para wanita, pengguna memanfaatkan itu dengan mengirim meme balik yang
menegatifkan image Cosby. Sementara itu, penasehat hukum dan PR Cosby terus
berusaha untuk mendiskreditkan para penuduh Cosby dan agresif menantang
integritas wanita yang menuduhnya.
Apakah lalu
persoalannya selesai sampai disitu? Tidak, sebab sampai saat ini Cosby masih
bermasalah. Ketika mengadakan pertunjukan 'Cosby's Show' di Kanada pada Rabu
(7/1) waktu setempat, publik seakan terbagi dalam dua kubu. Kubu pertama para
fans yang percaya idolanya tak bersalah, sedangkan kubu yang lain mereka para
pembela kemanusiaan di Kanada yang menuntut pengakuan Cosby.
Biasanya untuk
mengembalikan reputasi dan hubungan dengan stakeholder eksternal, seseorang
atau organisasi melakukan pendekatan komunikasi yang secara garis besar dapat
dicirikan sebagai akomodatif atau defensive. Respon akomodatif, termasuk
diantaranya permintaan maaf dan janji
atau melakukan tindakan korektif, perusahaan mengambil tanggung jawab, dan
kemauan tulus untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi.
Para stakeholder
cenderung merespon positif permintaan maaf yang dilakukan perusahaan atau
seseorang yang melakukan kesalahan. Meski harusdiakui bahwa stakeholder
berharap dan ingin permintaan maaf itu langsung dan tulus bahwa seseorang atau
organisasi melakukan kesalahan. Beberapa bukti empiris menunjukkan bahwa
meminta maaf dan berusaha untuk memperbaiki kerusakan dari kegagalan perusahaan
dapat menghasilkan kinerja keuangan perusahaan yang lebih baik dan tingkat
kepuasan pelanggan yang lebih besar dari sebelum mengalami musibah atau kegagalan
(de Matos et al, 2007;. Lee et al. 2004).
Menjadi menarik sebab
ternyata Cosby tidak mengambil langah meminta maaf. Ketika krisis terjadi, sekadar mengatakan
penyesalan hanya akan memunculkan kritik. Ini karena publik masih menunggu aksi
nyata perusahaan yang mengalami krisis.
Dalam tulisannya 2
Desember lalu, Brett Arends menceritakan bahwa akhir November lalu, Elizabeth
Lauten, direktur komunikasi untuk anggota Kongres dari Partai Republik mewakili
Tennessee, melakukan sesuatu yang persis dengan yang seharusnya dia lakukan
setelah membuat kesalahan. Lauten mengkritik putri Presiden Obama di Facebook
dan mengeluh bahwa mereka telah berpakaian tidak pas saat tampil di Gedung
Putih dalam acara “turkey pardoning"
Ketika komentar
itu memicu kemarahan, Lauten memposting
permintaan maaf yang isinya sebagai berikut: "Setelah berjam-jam berdoa,
berbicara dengan orang tua saya dan membaca-ulang kata-kata saya yang tulis
online, saya bisa melihat dengan lebih jelas bagaimana menyakitkan kata-kataku
itu. Perlu diketahui bahwa perasaan menghakimi seperti itu benar-benar tidak
punya tempat di hatiku. Selain itu, saya ingin meminta maaf kepada semua orang
yang merasa terluka dan tersinggung dengan kata-kata saya, dan berjanji untuk
belajar dan tumbuh (dan saya meyakinkan Anda saya punya) dari pengalaman ini.
" Hasilnya? Dia kehilangan pekerjaannya, dan sama sekali tidak punya poin
dari siapa pun untuk meminta maaf padanya.
Internet telah mengubah
permainan. Tak ada lagi penjaga gerbang. Tidak ada lagi aturan kesopanan atau
alasan. Bahkan jika Anda berhasil membujuk produser beberapa TV, editor dan
penulis dengan permintaan maaf Anda, apa yangterjadi? Mereka tenggelam oleh
hiruk-pikuk kekacauan dan online.
Dalam kasus Lauten
misalnya, meski telah minta maaf, namun orang-orang dalam media sosial masih
menjuluki dia sebagai manusia dengki. Permintaan maaf akan tenggelam oleh suara
yang paling keras, suara pemarah. Sebuah studi yang dilakukan peneliti
University of Iowa pada situs terbesar, Yahoo Finance menemukan bahwa 50% dari
semua komentar itu datang dari hanya 3% dari komentator. Kedua, 75% komentar
itu berasal dari hanya 11% responden. Jelas, jika Anda berada dalam situasi
yang sama sekali tidak dapat dipertahankan, Anda mungkin mempunyai pilihan
selain untuk meminta maaf. Tapi hal itu jarang terjadi daripada yang sering
kita perkiraan.
Bisa jadi nasib Lauten
akan lebih baik jika dia menolak untuk mundur. Sebaliknya, misalnya, dia
mungkin menunjukkan bahwa putri Presiden Carter, Amy, juga pernah dikritik secara
luas oleh media beberapa tahun lalu karena dia membaca buku di ruang makan
Gedung Putih. Padahal, saat itu Amy baru berusia sembilan tahun.
Melalui media, Lauten
bisa saja menyerang orang lain yang memberikan lampu hijau kepada remaja untuk
muncul di acara-acara formal orang tua mereka dengan bercelana kargo, t-shirt,
dan celana pendek.
Michael Jackson tidak
meminta maaf tapi malah membantah tuduhan yang dikenakan terhadap dirinya. Bill
Cosby juga menyangkal apa yang dikatakan orang-orang terhadap dirinya. Jika
Anda berpikir dua penghibur itu mengalami masalah serius karena tidak
menyatakan maaf, coba bayangkan sekarang bagaimana nasibnya jika mereka
mengakui bahwa dugaan tuduhan itu akurat.
Ketika pesawat AirAsia
QZ 8501 masih dinyatakan kehilangan kontak dan belum dinyatakan hilang oleh
otoritas penerbangan Indonesia, CEO AirAsia Tony Fernandes juga tidak pernah
mengucapkan kata maaf. Dalam rilis pertama beberapa jam setelah pesawat hilang
kontak, hanya disebutkan bahwa “dengan menyesal menginformasikan.” Tiada kata
maaf secara eksplisit.
Tony baru menyatakan
maaf setelah pesawat dinyatakan hilang. "Saya minta maaf sebesar-besarnya
atas apa yang mereka alami," katanya pada konferensi pers, menurut laporan
di Wall Street Journal. "Saya pemimpin perusahaan ini,... Saya bertanggung
jawab. Itu sebabnya saya di sini. Saya tidak lari dari kewajiban saya meskipun
kita tidak tahu apa yang salah [dalam menyebabkan kecelakaan]. Para penumpang
berada di pesawat saya, dan saya harus bertanggung jawab untuk itu. "
Bagi para praktisi
manajemen krisis, isi pernyataan sangat penting. Selain mengungkapkan rasa
empati, pesan dalam komunikasi krisis harus menunjukkan empati. Untuk
menghindari persoalan yang lebih mendalam, dalam konteks musibah pesawat
terbang, stakeholder yang paling penting adalah keluarga.
Simpati adalah ekspresi
atau perasaan iba dan sedih ketika kita mengetahui dan melihat seseorang atau
orang-orang kurang beruntung atau mengalami kesulitan dan dalam kondisi buruk.
Sementara itu, empati adalah kemampuan seseorang untuk bereaksi terhadap emosi
negatif atau positif orang lain seolah-olah emosi itu dialami sendiri.
Banyak pemimpin mencoba
untuk berkomunikasi selama krisis. Untuk meminjam istilah Anna Karenina,
"Pada dasarnya tim komunikasi krisis yang baik (seperti keluarga bahagia)
adalah semuanya sama." Yang penting dalam pesan yang muncul dalam
komunikasi krisis haruslah dibangun di atas empat pilar: kejujuran,
transparansi, konsistensi dan akuntabilitas.
Kejujuran berarti tidak
ada kebohongan atau setengah-kebenaran; transparansi berarti tidak ada hambatan
bagi orang lain untuk mengaksesnya atau perusahaan mencoba untuk menyembunyikan
fakta. Akuntabilitas berarti tidak ada jari yang menunjuk ke arahya karena
dianggap tidak bertanggung jawab. Konsistensi berarti melakukan dan akan
melakukan apa yang Anda katakan, dan mengatakan
apa yang akan Anda lakukan serta berkomunikasi secara teratur dan
kembali dengan jawaban yang telah disiapkan.
Bekas Perdana Menteri
Inggris Sir Winston Churchill pernah mengatakan, sebuah kebohongan mendapat
imbalan setengah di seluruh dunia sebelum kebenaran memiliki kesempatan untuk
mendapatkan semuanya. Tidak masalah bila mengatakan "Saya tidak tahu"
jika Anda memang tidak memiliki fakta.
Media dan publik justru
lebih hormat bila Anda mengatakan demikian dan tahu bahwa Anda mengatakan yang
sebenarnya. Jangan berspekulasi. Bekas menetri pertahanan AS, Colin Powell,
mengatakan yang terbaik adalah untuk mendapatkan fakta-fakta secepat mungkin,
apalagi ketika fakta-fakta baru bertentangan dengan lama. "Kebenaran kasar
masih lebih baik daripada kebohongan halus,” tulis Powel dalam bukunya, My
American Journey.
Menurut survei yang
dilakukan oleh Porter/Novelli, sebuh biro humas, 95% dari orang akan lebih
tersinggung bila perusahaan berbohong tentang krisis dibandingkan krisis itu
sendiri. Lebih buruk lagi, 57 persen yang disurvei percaya bahwa perusahaan
memiliki kecencedrung baik menahan informasi negatif maupun berbohong.
Sejak penerbangan
AirAsia 8501 dinyatakan, dengan rutin Tony Fernandes hadir – baik secara fisik
dan maupu digital – di tengah krisis. Dia melakukan perjalanan ke Surabaya —
tempat keluarga korban berkumpul dan pesawat itu berangkat — beberapa jam
setelah berita bahwa pesawat hilang.
Pelajaran yang bisa dipetik
dari komunikasi krisis yang dijalankan Tony adalah bahwa dalam krisis, empati
memang tidak hanya diucapkan tapi juga dikerjakan. Di Surabaya, Tony melepas
atribut topi bisbol merah yang biasa dikenakan dan menemui kerabat dan keluarga
penumpang. Selasa lalu, ketika ada konfirmasi puing-puing pesawat ditemukan di
Laut Jawa, lewat Twitter-nya, Tony mentweet, “Bergegas ke Surabaya.”
Setiap hari, Tony
memposting rata-rata 20 tweet sejak pertama kali mengumumkan berita tentang
hilangnya pesawat itu. Tony terus mengupdate keberadaannya, memberikan
informasi baru perkembangan pencarian, dan menegaskan kembali fokus pada
keluarga penumpang.
Jena McGregor di
http://www.washingtonpost.com/ yang mengamati tweet-an Tony mengatakan bahwa
kesalahan ejaan dalam tweet-an Tony – salah satu contohnya “my heart bleeds for
the relatives of my crew and our passangers (harusnya passengers, red)” –
justru menunjukkan keaslian dan karena itu, kredibel dan otentik dari tweet-an
tersebut.
Ketika logo maskapai di
media sosial berubah menjadi abu-abu yang lebih muram dan hanya putih, banyak
pihak mengapresiasinya. Sebelumnya logo itu berwarna merah cerah. Fernandes
juga mengeluarkan permintaan maaf dan beban tanggung jawab di kakinya.
“Saya minta maaf
sebesar-besarnya atas apa yang mereka alami,” katanya pada konferensi pers,
menurut laporan di Wall Street Journal. “Saya pemimpin perusahaan ini,… Saya
bertanggung jawab. Itu sebabnya saya di sini. Saya tidak lari dari kewajiban
saya meskipun kita tidak tahu apa yang salah [dalam menyebabkan kecelakaan].
Para penumpang berada di pesawat saya , dan saya harus bertanggung jawab untuk
itu. ”
Harus diakui bahwa Tony
memang berbeda. Betapa tidak, menurut laporan tahunan CEO.com tentang social
media engagement di kalangan para pemimpin bisnis, lebih dari dua pertiga (68
persen) dari Fortune 500 CEO sama sekali tidak hadir di media sosial jejaring
utama, seperti Twitter, Facebook, Instagram, Google+ dan bahkan LinkedIn.
Survei juga menemukan
bahwa sementara dari tahun ke tahun platform social media menunjukkan
manfaatnya, namun sebagian besar CEO masih belum memanfaatkan media sosial.
Dengan menggunakan kriteria kehadiran mereka di platform sosial media atau
tidak dilihat dari apakah mereka mengirimkan psan dalam 100 hari terakhir, diperoleh
gambaran bahwa dari mereka yang aktif hanya pada satu jaringan, 73 persen
memilih LinkedIn. Kemudian, 69 persen yang menggunakan Twitter. Sementara itu
hanya 8,3 persen CEO yang memiliki akun Facebook, atau naik sedikit dari tahun
2013.
Laporan ini juga
mencatat bahwa banyak CEO yang lebih menggunakan Instagram dari Google+.
Kondisi tersebut memang masih lebih baik dibandingkan tahun lalu. Berdasarkan
survey tahun lalu diperoleh gambaran sekitar 70 persen CEO tidak hadir di
jaringan sosial. Dari 38 CEO — perusahaan yang masuk Fortune 500 – yang hadir
di Facebook, Michael Rapino dari Live Nation Entertainment memiliki teman
paling banyak, 1723.
Sementara itu, di
antara 20 CEO perusahaan Fortune 500 yang memiliki akun Twitter, 5 tidak pernah
tweeted. Rata-rata jumlah pengikut untuk CEO Fortune 500 yang memiliki akun
Twitter adalah 33.250.
Rupert Murdoch News
Corp memiliki pengikut terbanyak dengan 249,000 pengikut, menyalip CEO HP Meg
Whitman yang sebelumnya berada di nomor satu.
Temuan lain menunjukkan,
10 dari CEO Fortune 500 memiliki lebih dari 500 koneksi LinkedIn, sementara 36
CEO memiliki 1 koneksi LinkedIn atau tidak. Enam CEO Fortune 500 berkontribusi
ke blog, dan hanya satu dari enam CEO, John Mackey dari Whole Foods, yang
memantaun blognya sendiri. Tahun kemarin, tidak ada CEO Fortune 500 yang muncul
di Pinterest.
Jadi, ada dua pelajaran
yang bisa dipetik dari gambaran di atas. Pertama, meminta maaf bukan berarti
kita melakukan kesalahan besar, tapi setidaknya dengan meminta maaf kita
mengakui bahwa kita membuat mereka menjadi tinyak nyaman.
Dalam situasi krisis,
pesan selama krisis - dan cara pesa itu disampaikan -- sangat menentukan
penilaian publik terhadap apa yang Anda lakukan. Ketika sebuah perusahaan
menanggapi krisis (dan seberapa cepat) sangatlah penting untuk mencapai hasil
yang positif, dan menghindari bencana lainnya.
Kedua, untuk menjadi
sukses di milenium baru seperti sekarang ini, pengelola bisnis dan institusi
harus mengatakan yang sebenarnya, berhenti berusaha untuk memeras setiap
kemungkinan keuntungan secepat mungkin, menjangkau media, menyadari bahwa
persepsi lebih penting daripada fakta, dan mencoba untuk melakukan hal yang
benar. Membohongi publik dan media dengan informasi yang salah akan membuat
publik atau media marah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar