Definisi dan konsep place marketing dan place branding
sering dipertukarkan. Penelitian-penetian yang dilakukan oleh Berglund & Olsson
(2010), dan Kavaratzis & Ashworth (2005) membuktikan seringnya kedua
istilah tersebut dipergunakan sevara bertukaran.
Pada kebanaykan diskusi, place marketing sering difahami sebagai menjual tempat - place
selling yang memfokuskan kegiatannya hanya pada aspek promosi pemasaran, mengabaikan
tujuan yang tepat, jangkauan tempat pemasaran, dan branding. Sejatinya, pemasaran
bertujuan memahami dan memenuhi kebutuhan dan keinginan (orientasi demand)
konsumen. Di pihak lain, place selling menggambarkan suatu proses yang mencoba
untuk menemukan konsumen yang tepat untuk produk (orientasi supply) yang ada.
Dua-duanya memang saling melengkapi, meski dapat pula
digunakan secara bergantian. Secara umum, place marketing dapat dipahami
sebagai:
[...] Penggunaan secara terkoordinasi dari alat pemasaran secara
bersama yang didukung oleh filosofi yang berorientasi pada pelanggan, untuk
membuat, berkomunikasi, memberikan, dan menciptakan pertukaran nilai yang dimiliki oleh sebuah kota
dengan pelanggan dan masyarakat kota pada umumnya (Braun, 2008, p . 43).
Place marketing bertujuan memaksimalkan fungsi sosial dan
ekonomi suatu daerah atau kota secara yang efisien sesuai dengan tujuan yang secara
luas telah ditentukan (Ashworth dan Voogd, 1990, hal. 41). Definisi ini
menyoroti dua poin sangat penting. Pertama, meskipun place marketing memiliki
tujuan ekonomi, peningkatan fungsi
sosial - seperti identifikasi tempat atau kepuasan - juga membentuk suatu tujuan
utama.
Kedua, place marketing merupakan pendekatan yang berorientasi
pada pelanggan dan harus mengintegrasikan semua potensi kota yang ada dan
"pelanggan." Dengan kata lain, place marketing pemasaran berusaha untuk lebih meningkatkan
fungsi sosial bagi seluruh warga ketimbang mendukung kelompok tertentu.
Dalam beberapa tahun terakhir, fokus pada perdebatan tentang
tempat pemasaran bergeser ke arah place branding (Kavaratzis, 2008). Saat ini
banyak pihak yang ingin membangun asosiasi positif dari suatu place ke dalam
pikiran konsumen sebagai upaya untuk lebih mengembangkan dan mempromosikan
merek mereka. Ini dilakukan dengan cara misalnya memperkenalkan peringkat merek
kota seperti Anholt-GMI City Brands Index (Anholt, 2006) dan Saffron European
City Brand Barometer (Hildreth, 2010).
Keduanya merupakan sesuatu yang usaha baru, meskipun
strategi itu sendiri telah ada sebelumnya. Harus diakui bahwa konsep tersebut
memiliki akar dalam branding perusahaan (Kavaratzis, 2009). Sebuah corporate
brand merupakan paduan antara ekspresi visual, verbal dan model perilaku organisasi
bisnis yang unik, yang dipancarkan melalui misi perusahaan, nilai-nilai inti,
budaya dan desain secara keseluruhan (Kavaratzis, 2009; Knox dan Bickerton,
2003). Mengadaptasikan definisi corporate brand dengan konteks place branding, dan
dalam pemahaman merek sebagai jaringan asosiasi di benak konsumen (Keller,
1993; Keller dan Lehmann, 2006), dan Zenker Braun (. 2010, p 3) mendefinisikan place
branding sebagai, [...] Jaringan asosiasi dalam pikiran konsumen berdasarkan
ekspresi visual, verbal, dan perilaku place, yang diwujudkan melalui tujuan,
komunikasi, nilai-nilai, dan budaya umum stakeholder dari suatu place dan desain place menyeluruh.
Menyimak pernyataan tersebut, pada dasarnya itu menegaskan
bahwa merek bukanlah ekspresi yang dikomunikasikan atau tempat dalam artian
fisik melainkan persepsi dari ekspresi tersebut dalam pikiran kelompok sasaran.
Dalam literatur merek, karakteristik yang nyata - seperti
ekspresi visual, verbal dan perilaku perusahaan - diberi label sebagai
identitas merek (Nandan, 2005). Dengan demikian, identitas tempat (place) dalam
model yang disajikan dapat dipahami sebagai ekspresi visual, verbal dan
perilaku tempat, yang diwujudkan dalam tujuan, komunikasi, nilai-nilai dan
budaya umum stakeholder dan desain tempat keseluruhan.
Dalam kaitan ekspresi tersebut, Kavaratzis (2004) membagi tiga
jenis komunikasi kota yang bisa membentuk ekspresi dari suatu tempat:
(1) komunikasi utama, yang meliputi arsitektur dan tempat
yang nyata yang ditampilkan, serta perilaku kota. Karena itu semuanya dapat
diberi label sebagai tempat fisik.
(2) Komunikasi sekunder, yang meliputi komunikasi formal
melalui jalur resmi, seperti semua bentuk iklan atau hubungan masyarakat, dan
karena itu dicap sebagai place communication. .
(3) Komunikasi tersier, yang mengacu pada detail word-of-mouth
yang diperkuat terutama oleh media dan
warga sendiri, dan dengan demikian bisa digambarkan sebagai place word of
mouth.
Apabila konsep-konsep tersebut digabungkan maka akan
terbentuk suatu model persepsi place branding yang memaparkan tentang bagaimana
perseps-persepsi itu dibangun melalui identitas tempat dan bagaimana mereka mampu
membedakan antara satu tempat dengan tempat lainnya diantara kelompok sasaran
(Zenker et al., 2010a, b). Pada akhirnya, persepsi mereka tersebut menimbulkan
efek merek seperti identifikasi (Azevedo, 2009; Bhattacharya dan Sen, 2003;
Zenker dan Petersen, 2010), kepuasan (Bruhn dan Grund, 2000;. Zenker et al,
2009a, b), atau niat untuk tinggal atau meninggalkan tempat (Zenker dan Gollan,
2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar