Banyak isu seputar marketing communication yang mucul dalam
diskusi kelas di kampus, kemarin. Salah satunya adalah tentang harga produk. Yang
menarik pembahasan ini lebih pada efek psikologi yang ditimbulkan oleh harga
yang dipatok pemasar, baik di supermarket maupun di restoran.
Salah satunya adalah tentang bagaimana harga bisa
mempengaruhi keputusan seorang konsumen untuk beli lagi (loyalitas) atau
berhenti membeli di suatu outlet. Salah soarng mahasiswa mengatakan bahwa untuk
konsumen restoran, harga psikologi benar-benar sengat berpengaruh. “Untuk orang
Indonesia ada angka harga psikologis penting, Rp 50 Ribu.” Katanya.
Berdasarkan pengalaman, katanya, dalam memutuskan membeli atau
makan lagi di suatu restoran atau tidak
sangat ditentukan oleh berapa yang dia bayar. “Konsumen akan merasa nyaman bila
dia membayar makanannya di bawah harga Rp 50 ribu. Kalau mereka membayar dengan
pecahan Rp 50 ribu da nada kembaliannya, mereka puas.”
Akan tetapi, lanjutnya, bila konsumen membayar dengan
pecahan Rp 50 ribu dan dia masih harus menambah lagi uangnya, jangan harap
mereka kembali. “Memang itu ada untuk konsumen yang sensitive terhadap harga.
Tapi persoalannya jumlah mereka banyak,” katanya.
Dia lalu mengilustrasikan salah satu resto siap saja yang
sampai dua tahun masih bagus penjualannya. Resto tersebut sekarang kewalahan
karena munculnya pesaing dekat baru, Yushinoya. Awalnya, harga Yushinoya masih
di atas harga resto tersebut. Namun dua tahun lalu, pelanggan Yushinoya
bertambah banyak.
Kemudian, anak pemilik resto yang mulai kewalahan itu yang
baru lulus sekolah di luar negeri mengambil alih penhelolaan restonya. Tahun
lalu, resto itu direbranding habis.
Tampilannya baru dan lebih ngejreng. Namun
demikian pengunjung masih tetap saja tak bisa seramai dua tiga tahun lalu. “Saya
melihat ada kesalahan pricing yang dilakukan resto tadi,” kata mahasiswa tadi. “Harganya
sekarang di atas Rp 50 ribu. Secara psikologi ini memunculkan persepsi mahal,”
katanya.
Harga memang persepsi. Dalam dalam proses pembeliannya,
konsumen tidak hanya bersikap rasional tetapi juga irrasional. Ini karena
adanya hal-hal emosinal yang terlibat dalam proses pembelian. Dalam memutuskan
membeli atau tidak suatu produk yang ditawarkan dengan tingkat harga tertentu,
konsumen seringkali mengandalkan persepsi.
Ini yang membuat menarik. Selama beberapa dekade harga-harga
produk atau merek per satuan naik tanpa disadari oleh konsumen. Ini karena
kenaikan itu disembunyikan di bawah ambang diferensial, atau titik stimulus
perubahan dirasa cukup membuat seseorang menyadarinya bila ada perubahan.
Ini
karena selama ini konsumen tidak terlalu menggunakan hitung-hitungan matematis
dalam membandingkan harga satu produk dengan harga produk tersebut sebelumnya.
Banyak aplikasi dimana marketer dapat memanfaatkan faktor
psikologis ini. Dalam dunia ritel misalnya, ada dua hal yang sering digunakan
sebagai senjata untuk bersaing melalui penetapan harga. Para ritel seringkali
menggunakan taktik lost merchandising.
beberapa produk yang sengaja dibuat
sangat murah dan bila perlu rugi atau harganya di bawah harga pokok. Produk ini
kemudian dipajang di depan dan diberi label harga yang besar. Konsumen yang
masuk, akan segera melihat harga tersebut. Ritel berharap, sejak pertama kali
masuk dalam ritel tersebut, sudah terbentuk persepsi bahwa ritel mereka
memberikan harga yang relatif murah.
Banyak ritel terutama supermarket dimana pelanggannya adalah
ibu-ibu rumah tangga yang sensitif terhadap harga, melakukan taktik pemasangan
harga di bawah ambang psikologis. Ada produk yang diberikan harga Rp 9.999, Rp
49.999 atau Rp 99.959. Dengan harga ini, ingin ditunjukkan bahwa harga mereka
belum menembus batas psikologis. “Masih di bawah Rp 10.000 atau di bawah batas
ambang atas suatu produk”.
Seperti diketahui, kenaikan harga satuan mencerminkan
peningkatan mata uang yang dibayarkan untuk per unit produk yang diperolehnya.
Hal ini dapat dilakukan dengan menambahkan hanya beberapa sen terhadap harga
tanpa mengubah digit paling kiri (misalnya, berubah dari $ 2,95 ke $ 2,99,
Thomas dan Morwitz, 2005). Taktik menaikkan
harga satuan ini disebut total price increase (kenaikan harga total).
Taktik tersebut juga sering dilakukan dengan menjaga harga
produk dipersepsikan tidak berubah namun kontennya dikurangi dengan cara yang
hampir tidak kelihatan. Misalnya, dengan tidak mengurangi ukuran paket fisik
meskipun kontennya diturunkan atau mengurangi ukuran paket proporsional dengan
ukuran aslinya (Chandon dan Ordabayeva, 2009).
Anda tentu sering menjumpai
kasus ini. Perhatikan kemasan bubuk detergen yang dulu satu kilo sekarang
menjadi hanya 800 mg. Kenaikan harga satuan ini disebut taktik pengurangan
konten. Misalnya, kopi Folgers baru-baru ini mengurangi paket populer kopinya
dari tiga belas ons menjadi sebelas ons, namun harga produk tersebut masih
sama.
Beberpa waktu lalu, ada penelitian yang dilakukan dengan
menggunakan lima percobaan untuk menjelaskan mengapa harga yang berakhiran
angka sembilan diakui sebagai signifikan lebih kecil dari harga satu sen lebih
tinggi diatasnya. Studi ini dilakukan karena studi terdahulu (Monroe 2003 et
al.) memiliki pandangan yang berbeda bahwa pelanggan tidak bereaksi terhadap
sedikit perubahan harga.
Penelitian menunjukkan bahwa angka terakhir pada display harga
itu penting (Anderson et al.). Ada beberapa fenomena yang menarik tentang
bagaimana konsumen mempersepsikan harga yang terpampang di display. Pertama,
fenomena ini terjadi ketika angka paling kiri berbeda.
Kedua, jarak numerik dan
psikologis target harga dan harga produk pesaing akan mempengaruhi efek digit
sebelah kiri. Ketiga, efek angka sebelah kiri tidak hanya terbatas pada harga;
itu juga bisa mempengaruhi persepsi pada jumlah angka lainnya.
Bila konsumen melihat display harga berakhiran angka
sembilan, persepsi apa yang muncul dalam pikiran konsumen? Dalam beberapa kasus
konversi dari suatu angka ke angka lain yang lebih besar, biasanya mempengaruhi
ketepatan angka yang dikodekan (Dehaene 1997).
Proposisi yang mendasari adalah
bahwa pengolahan display angka dari kiri-ke-kanan mempengaruhi proses konversi
besaran. Biasanya angka paling kiri dijadikan sebagai indeks besarnya harga.
Berikut ini adalah tiga efek yang mendukung proposisi. Efek angka
sebelah kiri biasanya menekankan perubahan. Misalnya, digit sebelah digit
daripada penurunan satu persen yang benar-benar mempengaruhi besaran yang
dipersepsikan.
Selama proses perbandingan, angka paling kiri memainkan peran
penting. Pelanggan cenderung meremehkan besarnya harga yang berakhir dengan
angka sembilan jika digit paling kiri adalah 1 dollar lebih kecil. Salah satu alasan
yang mungkin untuk efek ini adalah bahwa proses encoding dimulai bahkan sebelum
kita selesai membaca semua digit. Akibatnya, kita akan mempertimbangkan digit
paling kiri menjadi besarannya.
Efek angka di sebelah kiri memang tidak berlaku untuk setiap
situasi. Ketika mekanisme internal untuk membedakan antara dua nomor menjadi
sulit, maka muncul efek digit sebelah kiri. Namun, jika mekanisme pembedaan itu
bisa dilakukan secara mudah, efek digit sebelah kiri tidak aktif.
Fenomena dapat dijelaskan dengan efek jarak. Jika jarak yang
dirasakan dari dua nomor lebih dekat, lebih banyak upaya (waktu) yang
diperlukan untuk membandingkan besarnya mereka. Para peneliti berpendapat efek
jarak akan menentukan efek digit kir dengan batas tertentu. Ketika perbandingan
akan lebih sulit, otak kita akan membandingkan digit paling kiri secara
langsung langsung. Sebaliknya, perbandingan gampang dilakukan, hal itu tidak
akan terjadi.
Jadi bagaimana sebaiknya? Tak ada resep tunggal yang berlaku
untuk semuanya. Suatu resep hanya berlaku untuk konsisi tertentu. Karena itu
untuk menerapkan suatu strategi, pengenalan karakter konsumen dan lingkungannya
adalah suatu keharusannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar