Siklus bisnis dan resesi ekonomi dapat mempengaruhi kinerja perusahaan secara, industri dan seluruh sektor ekonomi. Namun yang menarik, ternyata tidak semua perusahaan memiliki kinerja buruk atau gagal selama resesi. Beberapa perusahaan malah semakin bagus kinerjanya dan bahkan tumbuh.
Dari fenomena ini tampaknya ada pandangan terhadap resesi. Beberapa
perusahaan melihat resesi sebagai ancaman. Ini terjadi di banyak perusahaan sehingga
mereka meresponnya dengan memangkas anggaran atau melakukan penghematan. Sementara itu banyak juga perusahaan yang
melihat resesi sebagai peluang. Mereka memperkuat bisnisnya, berinvestasi
secara agresif dan berambisi menyalip pesaing mereka yang lebih lemah.
Sebagai contoh, merek rokok Camel dan mobil Chevrolet
berhasil merebut posisi pasar dari pesaing mereka melalui kampanye pemasaran
yang agresif selama Depresi Besar di Amerika Serikat pada tahun 1930-an.
Procter and Gamble (P&G) juga tercatat sebagai perusahaan yang tidak
memangkas pengeluarannya selama periode
resesi. Saat itu, P&G banyak mempromosikan beberapa merek terkenal semisalnya,
Camay, Ivory, dan Crisco.
Perusahaan lain, seperti
Saturnus -- Divisi GM -- dan Intel Corporation juga banyak berinvestasi
selama resesi 1990-1991 untuk
meningkatkan posisi daya saing mereka. Intel misalnya, meluncurkan kampanye "Intel
Inside" untuk membangun merek, dan secara agresif mempromosikan merek Intel
pada saat pesaingnya memperkecil anggaran iklannya. Demikian juga, DeBeers yang
agresif meluncurkan kampanye pemasaran "Shadows" secara global selama
resesi 1989-1990.
Merek lainnya, Renault agresif memperkenalkan merek Clio
dengan harga tertinggi kedua dalam kategorinya. Saat resesi makin dalam, Barclaycard
menginisiasi merek dengan cara mere-launch secara agresif mereknya dengan
tujuan meningkatkan pangsa pasarnya melalui akuisisi. Selain merek-merek
tersebut, merek atau perusahaann lainnya seperti BMW, Cisco, Dell, dan,
Wal-Mart juga melihat resesi sebagai kesempatan. Mereka berinvestasi secara
agresif dengan harapan dapat menangkap posisi pasar pada saat pesaing mereka melemah.
Studi yang dilakukan McGraw-Hill Research’s Laboratory of
Advertising Performance terhadap 600 perusahaaan di AS menyebutkan bahwa selama
resesi 1980-1985, perusahaan-perusahaan yang mempertahankan atau meningkatkan
belanja iklannya selama resesi 1981-1982 memiliki rata-rata pertumbuhan
penjualan secara signifikan yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang
tidak beriklan. Itu terjadi selama kemerosotan ekonomi dan tiga tahun
berikutnya. Demikian pula, selama resesi 2001, perusahaan yang mempertahankan
atau meningkatkan kampanye pemasarannya, pangsa pasar meningkat dua kali saat
resesi berlalu.
Dari fenomena tersebut
dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pada proaktif marketing dapat
menyelamatkan atau bahkan meningkatkan kinerja perusahaan atau merek pada
terjadi kelesuan ekonomi.
Perusahaan proaktif adalah perusahaan yang secara kreatif mengambil
langkah strategis yang diperlukan untuk memanfaatkan situasi kelesuan ekonomi.
Dalam konteks ini, perusahaan dengan cepat memodifikasi rencana pemasarannya disesuaikan
dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Jadi pemasaran proaktif dapat dilihat
sebagai manifestasi dari kemampuan yang dinamis dimana perusahaan memanfaatkan
sumber daya internal dan kemampuan (rencana pemasaran dan investasi) dan
kendala eksternalnya (resesi) untuk mengatasi perubahan di pasar.
Pemasaran proaktif dapat dilihat sebagai perilaku memutarbalikkan
kondisi luar - dalam batasan tertentu -- dan memanfaatkan perubahan ini untuk
keuntungan dengan berinvestasi dalam pemasaran. Dalam kaitan itu, sangat
penting bagi perusahaan untuk memahami bahwa pelanggan potensial merespon
secara berbeda selama masa resesi. Mereka menjadi lebih diskriminatif dalam
keputusan pembelian mereka dan lebih responsif terhadap berbagai jenis pesan.
Disini pengiklan tidak boleh berasumsi bahwa audiens yang
sama akan merespon sama untuk setiap pesan atau komunikasinya. Selama resesi,
pelanggan baru mungkin datang dari tempat yang berbeda dari sebelumnya. Prospek
yang dulunya non-responsif bisa menjadi responsif, dan pelanggan setia pesaing Anda
mungkin memberikan perhatian lebih pada merek Anda karena pesan dan komunikasi
yang Anda lakukan tepat.
Saat kelesuan ekonomi nasional 2008 lalu, rentang
sosialisasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang kelewat panjang, krisis
minyak berikut pangan yang melanda setiap belahan dunia, membuat P&G harus
menyikapinya secara jeli. Sebetulnya, sebelum pemerintah Indonesia mengumumkan
kenaikan BBM pada 23 Mei 2008, menurut External Communication Director P&G
Indonesia (saat itu) Bambang Sumaryanto, dampak krisis 2008 sudah dirasakan.
Salah satunya, dengan terjadinya penurunan daya beli konsumen.
Bagi P&G, jurus terpenting dalam menjawab krisis kali
ini adalah mempelajari setiap perilaku konsumen beserta perubahannya.
Sejatinya, mempelajari perilaku konsumen—yang disebut Bambang sebagai
boss—selalu dilakukan, pada saat ada atau tidak ada krisis. Maklum saja, selama
ini P&G dikenal dengan produk premium dengan harga yang tidak semurah
produk lainnya.
Oleh karena itu, upaya untuk membuat produk yang lebih
terjangkau konsumen adalah misi utama P&G.
”CEO P&G yang sekarang sudah punya strategi baru sejak tahun 2000.
Salah satu strateginya adalah bagaimana membuat produk yang affordable, yang
bisa dibeli oleh masyarakat Asia, khususnya negara Asia yang sedang
berkembang,” jelas Bambang.
Tahun lalu, umpamanya, P&G melempar paket Rejoice
Family. Kemasan sachet yang terdiri dari empat buah itu dibandrol dengan harga
Rp 1.000. Padahal, harga normalnya mencapai Rp 2.000 atau Rp 500 per sachet.
Dilemparnya Rejoice Family tak lepas dari riset perilaku konsumen yang rutin
digelar P&G. Melalui penyigian tersebut, dijumpai fakta bahwa anggota keluarga, terutama
anak-anak, kerap boros dalam menggunakan shampo kemasan botol. Buntutnya,
P&G pun melempar paket Rejoice Family.
Tak terkecuali merek Olay. Sejak dilempar ke pasar, Olay sudah
muncul dengan dua varian, Olay Total Effect yang menyasar menengah atas dengan
harga Rp 100 ribuan dan Olay Total White yang membidik pasar menengah bawah
dengan harga Rp 10 ribuan.
Diakui Bambang, perubahan besar yang dilakukan dalam tubuh
P&G, yakni regionalisasi resources, juga merupakan bagian dari efesiensi.
Menutup pabrik di Tanah Air dan memusatkan produksi di negara lain memang
bukanlah kebijakan populis. ”Tapi, itu dilakukan karena kami ingin melakukan
efesiensi yang hasilnya bisa dikembalikan lagi ke konsumen. Yaitu, dengan
menurunkan harga produk kami, tanpa mengurangi kualitas,” ujar Bambang.
Selanjutnya, kemasan produk untuk distribusi di
bermacam-macam negara dibuat seragam. Hal itu dilakukan guna mendukung
keleluasaan pengiriman stok barang. Misalnya saja, jika stok produk di
Indonesia habis, maka negara terdekat, yang misalnya masih memiliki stok bisa
langsung mengirimkannya ke Tanah Air. ”Dulu, waktu kemasan produk setiap negara
beda, kami tidak mungkin melakukan itu,” lanjutnya.
Dikatakan Bambang, melakukan efesiensi lewat suplay chain
management yang baik—sehingga tidak terjadi stok menganggur di distributor
maupun toko—merupakan jurus jitu kedua dalam menyikapi krisis. Sebab, barang
yang menumpuk di distributor ataupun pedagang tentu ada cost-nya—yang notabene
kerap dibebankan ke konsumen.
Langkah ketiga adalah fokus pada negara, wilayah, dan merek
yang dianggap berpotensi. Dari survei yang telah dilakukan, urai Bambang, ada
kategori produk yang berpotensi untuk ditumbuhkan. Contohnya, kategori
kesehatan, seperti sikat gigi yang sudah pasti terkena krisis. Konsumen yang
biasanya mengganti sikat gigi dua bulan sekali, boleh jadi akan menggantinya
tiga bulan sekali. Sementara itu, fakta di rural yang dijumpai, satu sikat gigi
biasanya dipakai oleh satu keluarga. ”Kalau pasar tersebut diberikan penyuluhan
kesehatan bahwa satu sikat gigi seharusnya digunakan untuk satu orang, maka
pasar sikat gigi di rural akan bertumbuh,” ungkap Bambang, yang mengaku bahwa
growth P&G sejauh ini masih positif dengan angka dua digit.
Bambang mengingatkan,
pemasar jangan melulu konsentrasi di area urban. Lantaran, masih banyak
peluang pasar yang bisa digarap di
daerah rural. ”Keindahan Indonesia adalah tidak semua daerah terkena krisis.
Misalnya di daerah perkebunan kelapa sawit, ekonominya masih bertumbuh. Itu
sebabnya, maping kategori produk dan wilayah mana yang berpeluang untuk
digarap, menjadi sangat penting,” terangnya.
Jurus terakhir adalah memangkas biaya promotion mix yang
sejatinya tidak diperlukan. Kehati-hatian P&G dalam menggelar promotion mix
sudah lama dilakukan. Bambang beralasan, promosi yang tidak efektif, ujungnya
harus dibayar semuanya oleh konsumen. Bahkan, kebiasaan promosi yang heavy,
akan mempersulit pemasar dalam menguranginya di masa krisis seperti ini.
Sejak empat tahun lalu umpamanya, P&G sudah aktif dengan
BTL demi memperkuat aktivitas ATL. Misalnya, melibatkan bintang iklan
produk-produk P&G dalam rangkaian BTL-nya. Sebutlah Audy, bintang Olay,
yang turut berjualan di pasar. Darius, bintang iklan Gillette, yang ikut
mengunjungi pasar becek. ”Dengan program seperti itu, kami mampu menarik
perhatian shopper. Biasanya, setelah itu, sales di toko tersebut langsung
meningkat,” tegas Bambang, yang kerap melakukan kerja sama dengan para pedagang
lantaran yang tahu betul kebiasaan konsumen dalam membeli adalah pedagang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar