Mempelajari perilaku
belanja konsumen sangat bermanfaat dalam menentukan promosi yang akan kita
jalankan. Apa saja pilihan mereka,
bagaimana pilihan itu mempengaruhi perusahaan Anda. Yang paling penting adalah mengetahui
apa saja pilihan mereka saat perekonomian menjadi semakin buruk.
Semester pertama yahun ini Indoesia memasuki situasi yang hampir
sama dengan tahun 2008. Tahun 2015 ini pertumbuhan ekonomi berpotensi untuk
jatuh di angka 4.5% hingga 4.8% saja. Jauh dari target pemerintah 5.5%. Pertumbuhan
volume penjualan FMCG secara nasional sudah mendekati angka nol, bahkan
perdagangan tradisional sudah minus.
Awal 2008, Indonesia memasuki era kenaikan harga pangan yang
luar biasa. Saat itu pertumbuhan ekonomi sekitar 4.5% dan pertumbuhan ritel
fast moving consumer goods (FMCG) hanya 4.7%. Ini merupakan dampak dari
kenaikan harga minyak dunia. Awal 2008, harga minyak goreng bermerek naik
52.2%, margarine 38.1%, instant noodle 28.8%, powder milk 20.3% (Nielsen top 30
SKU, January-April 2008 vs. 2007).
Kenaikan harga itu jauh lebih tinggi dari yang diakibatkan
kenaikan harga BBM dalam negeri. Menurut catatan, pada 2005, tercatat kenaikan
harga makanan disebabkan kenaikan harga BBM (28% dan 126%) adalah sekitar hanya
5%.
Di balik berita-berita besar mengenai merosotnya
perekonomian, para pembelanja setiap hari dipaksa untuk berpikir keras untuk
memutuskan apa yang mereka beli hari itu. Itu terjadi di hampir semua kelas
mengalami perubahan pola belanja rumah tangganya. Hasil studi Nielsen terhadap
Ibu rumah tangga mengenai perubahan pola belanja rumah tangga dari kelas bawah,
menengah dan atas adalah: semua kelas setuju untuk mengurangi konsumsi listrik
seperti TV, playstaton, komputer, pompa air, dan setrika serta mengganti lampu
dengan lampu energy saver.
Yang paling terpukul karena kenaikan harga itu adalah
konsumen kelas bawah. Hal ini disebabkan proporsi uang belanja terbesar mereka
terkonsentrasi (setidaknya 70%) untuk makanan. Mereka kemudian mengubah pola belanja. Secara drastis mereka berhenti memakai/mengkonsumsi
beberapa macam produk dan menggantinya dengan merek yang lebih murah, mengganti
dengan produk dengan ukuran lebih kecil (sehingga pas penggunaannya), serta mengurangi
kuantitas pembelian.
Sedangkan kelas menengah
akan lebih mengarahkan perhatiannya pada toko-toko yang berpromosi dan memberi
diskon harga. Pada intinya, mereka berusaha mendapatkan tawaran terbaik/best
deal. Konsumen kelas menengah juga mulai mengganti dengan merek yang lebih
murah terutama untuk produk-produk rumah tangga, mengurangi kuantitas belanjaan
dibuat secukupnya dan tidak berlebihan seperti sebelumnya. Termasuk misalnya
berusaha makan di rumah dan mengurangi makan di luar rumah.
Untuk konsumen
kelas atas, mereka lebih condong untuk mempertahankan gaya hidup dan loyalitas
merek, sehingga mereka berusaha untuk mencari income tambahan. Bila krisis berlanjut, mereka akan mengurangi frekuensi rekreasi.
Pereseran Pola Berbelanja
Hasil studi yang
dilakukan di Unilever Amerika Serikat – pada 14 Maret hingga 3
April 2008 terhadap 47 ribu rumah tangga -- menunjukkan bahwa dalam kondisi
perekonomian sulit seperti sekarang ini, pembelanja atau konsumen semakin
hati-hati dalam merencanakan belanja sehari-harinya. Konsumen kelas bawah merupakan pembelanja yang
sangat cerdas. Sebelum pergi ke toko atau pasar, mereka melakukan riset
terlebih dulu, menyusun prioritas, dan membuat perbandingan.
Konsumen kelas
bawah mengawali ritual belanjanya dengan melihat-lihat dapur untuk mengetahui
apa saja yang harus dibeli dan mengumpulkan kupon diskon yang diiklankan
melalui surat kabar, edaran, dan pos surat langsung. Karena itu, sebelum mereka
beranjak dari dapur, mereka telah memiliki daftar panjang barang atau produk
yang akan merekabeli, mencocokan dengan kupon yang tersedia, dan beberapa menu
yang mereka rencanakan selama sepekan ke depan. Yang paling penting dari temuan
studi adalah bahwa mereka berencana belanja dengan tunai dan sebisa mungkin
tidak menggunakan kartu kredit.
Di super atau
hipermarket mereka langsung menuju rak tempat produk atau makanan yang ada di
daftar yang dibuat di rumah. Atau produk yang biasa mereka beli seperti makanan
dan perawatan diri. Mereka hanya membeli snack kalau ada sale. Mereka melewati lorong pajangan produk yang tidak ada di
daftar. Di lorong pajangan produk atau makanan yang ada di daftar mereka pun
tidak tertuju pada satu merek. Mereka mencoba membandingkan dan mencari produk
atau makanan yang ada didiskon. Itu pun dicocokkan dengan kupon diskon yang
mereka dapatkan dari guntingan surat kabar yang mereka bawa dari rumah.
Konsumen kelas menengah memiliki beberapa
persamaan dengan konsumen kelas bawah. Mereka juga memanfaatkan kupon diskon.
Bedanya, di kelas ini kupon diskon yang mereka cari adalah untuk produk-produk
yang mempunyai kualitas lebih dari yang biasa mereka beli. Dengan kata lain
terjadi premiumisasi produk yang mereka konsumsi. Mereka memang merencanakan
belanja makanan. Namun itu lebih sebagai upaya mencari diversifikasi ketimbang
penghematan. Mereka mencari kemasan yang lebih besar tetapi tetap membeli merek
yang mereka kenal, terutama untuk produk perawatan pribadi.
Di super atau
hypermarket, perilaku mereka juga sama dengan kosumen kelas bawah. Mereka lebih
jarang blusak-blusuk mencari barang. Mereka juga langsung ke lorong yang
memajang produk yang biasa mereka beli.
Dari 47 ribu
responden tersebut, untuk produk makanan, hampir semua responden mengatakan tidak
ingin untuk berpindah dari merek yang biasa mereka konsumsi. Untuk konsumen
kelas menengah misalnya, untuk produk rumah tangga dan makanan termasuk
mentega, kopi dan teh, tidak ingin pindah ke private label misalnya. Mereka
masih berusaha mengkonsumsi merek yang biasa digunakan, bahkan kalau perlu
untuk mendapatkan itu mereka bersedia untuk mengurangi belanja nonton film atau
tur. Mereka juga tidak keberatan untuk berkendara ke super atau hypermarket
yang lebih jauh untuk mendapatkan belanjaan berkualitas sama tapi volume lebih
banyak dengan pengeluaran yang sama.
Untuk kategori
non makanan memang terjadi trade-down. Misalnya, untuk produk-produk pembersih
rumah, 34% rumah tangga kelas bawah, 33 % rumah tangga kelas menengah, dan 30%
rumah tangga kelas atas menyatakan berpindah merek. Demikian pula untuk produk
perawatan tubuh seperti shampo, dan sebagainya.
Apa yang dilakukan marketer?
Berdasarkan
temuan itu, Unilever Amerika Serikat merekomendasikan berbagai macam taktik. Pertama, karena begitu pentingnya
selebaran yang dikirim dari rumah ke rumah sebagai sumber informasi dalam
keputusan berbelanja, maka penyebaran selebaran yang berisi informasi diskon
makanan ditingkatkan.
Kedua, adaya kecenderungan masih besarnya keiningan konsumen untuk tidak
berpindah merek dan pilihan lebih baik mencari tempat belanja yang bisa
memberikan value yang sama, maka penjualan silang berbagai tingkatan kualitas
di dalam satu kategori perlu dilakukan.
Ketiga, karena kecenderungan kemungkinan berpindah merek, sampling produk di dalam
toko dapat mendorong konsumen bawah membeli produk yang sebelumnya tidak ingin
mereka beli. Keempat, karena banyak
pembelanja yang melewati lorong pajangan produk yang termasuk dalam daftar
produk yang mereka siapkan dari rumah, usahakan mereka melewati semua lorong.
Usahakan mereka memperhatikan produk yang dipajang di rak lorong itu dengan
menampilkan produk atau merek-merek menarik berharga super murah.
Kelima, meningkatnya kecenderungan konsumen berhemat mendorong mereka untuk membeli
produk dengan ukuran kecil (kethengan) atau besar. Intinya pada kondisi seperti
itu konsumen ingin mendapatkan manfaat atau keuntungan ekonomi yang
sebesar-besarnya. Karena itu, biarkan mereka mengetahui perbedaan nyata antara
kemasan ukuran kecil dan besar dari produk yang Anda tawarkan.
Keenam, begitu konsumen menjadi lebih proaktif dalam menyusun rencana belanja
mereka, usahakan merayu mereka dengan produk komplementernya (pelengkap). Jadi
misalnya, tawarkan salad dengan dressing favoritnya berharga hemat. Ketujuh,
cros-promotion di rak untuk mendorong penjualan poduk dimana konsumen mulai
menghapusnya dari daftar belanja mereka. Misalnya, dengan kupon diskon
pembelian snack di rak susu.
Kedelapan, dengan kecenderungan pembelian bulk oleh konsumen
untuk menstok, tawarkan kemasan ”pertemanan dan keluarga” khusus. Kesembilan, cantumkan pernyataan bahwa
produk Anda memiliki kualitas tinggi. Ini karena dua pertiga ari konsumen –
meski pingin berhemat – namun masih memperhatikan kesehatan mereka, sehingga faktor
higinitas dan kesehatan masih tetap menjadi daya tarik yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar