Peran alumni dalam
branding peruruan tinggi makin strategis. Bagaimana tidak, saat ini iklan makin
sesak. Orang Indonesia yang menonton televisi rata-rata 3,5 jam per hari
dijejali dengan 150 iklan. Dalam situasi seperti itu memberdayakan alumni agar
mau mempromosikan perguruan tingi makin penting.
Apa yang terbayang dalam pikiran Anda ketika membaca
biografi yang menunjukkan bahwa Presiden Joko widodo adalah alumni Universitas
Gajah Mada Jogjakarta? Bagaimana pula dengan bekas Presiden SBY yang alumni IPB
Bogor?
Bagaimana bila bintang film dan presenter Ayu Dewi, Melanie
Subono dan Rizanto Binol (Associate Account Director at Ogilvy Public Relations
Worldwide) menyebut dirinya sebagai alumni STIKOM LSPR Jakarta? Secara tidak
langsung, ketika mereka berinteraksi dengan Anda, mereka menampilkan image
almamaternya.
Dalam konteks branding, gambaran diatas mencerminkan
tingkatan awareness dimana ketika seseorang ingat Presiden Jokowi, ingatannya
langsung ke UGM. Demikian pula dengan SBY. Artinya, Jokowi dan SBY telah
berperan sebagai jembatan ingatan orang terhadap lembaga perguruan tempat
mereka pernah menimba ilmu.
Itu baru membaca riwayat hidup. Apa yang terjadi bila secara
verbal menyatakan bahwa mereka lulusan perguruan tinggi A atau lainnya? Itu berarti
promosi bagi perguruan tinggi bersangkut. Dengan kata lain mereka telah menjadi
brand ambassador.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perguruan tinggi yang
memanfaatkan alumni dan mahasiswa mereka untuk membangun reputasi. Mereka mengizinkan
alumni dan mahasiswa (dalam beberapa kasus) untuk berkomunikasi tentang almamaternya
memalui media sosial. Mereka memahami bahwa mereka memiliki aset yang luar
biasa karena memiliki alumni berprestasi di masyarakat. Lihat saja iklan-iklan
testimoni alumni yang belakangan banyak muncul baik di televisi, radio maupun
cetak.
Perkembangan teknologi informasi yang pesat yang memungkinkan dialog langsung, dalam konteks perguruan tinggi sebagai brand, stakeholder saat ini mengharapkan keterlibatan dengan merek secara online. Mereka berharap adanya engagement secara otentik. Mereka tidak ingin berbicara dengan merek; mereka ingin berbicara dengan orang-orang dalam arti yang sebenarnya.
Saat ini, mungkin masih belum ada aturan tertulis tentang
keterlibatan interaksi interpersonal antara alumni sebuah perguruan tinggi
misalnya dan mahasiswa atau calon mahasiswa. Namun yang pasti apa yang
dikatakan alumni lebih bisa dipercaya oleh calon mahasiswa atau mahasiswa
ketimbang sumber lainnya.
Hasil survey yang dilakukan MIX-Marcomm tahun ini makin
mengukuhkan peran alumni sebagai sumber informasi yang bisa membentuk reputasi
perguruan tinggi. Sebagian besa responden menyatakan bahwa mereka mendapatkan
informasi tentang perguruan tinggi yang dipilihnya bersumber dari alumni.
Gambaran di atas menunjukan bahwa dosen, mahasiswa, alumni
dan staf merupakan aset penting bagi perguruan tinggi. Mengikuti paradigm
sebuah perusahaan, aktivitas mereka ketika berinteraksi dengan pihak lain bisa
membentuk reputasi perguruan tinggi (Post and Griffin, 1997).
Studi empiris yang dilakukan Stone (2001) mengakui bahwa
alumni sebagai salah satu stakeholder --
karena kontribusi mereka baik secara finansial maupun sosial –
dapat meningkatkan kredibilitas dan
keberadaan almamater mereka. Potensi alumni untuk melakukan penggalangan dana,
kemampuan dan ketrampilan mereka membangun jejaring dapat membangun
diferensiasi almamaternya.
Kekuatan jejaring dan reputasi mereka bisa digunakan sebagai alat untuk membangun citra positif perguruan tinggi yang selanjutnya bisa mempengaruhi pilihan calon mahasiswa.
Kekuatan jejaring dan reputasi mereka bisa digunakan sebagai alat untuk membangun citra positif perguruan tinggi yang selanjutnya bisa mempengaruhi pilihan calon mahasiswa.
Proses pengambilan keputusan siswa sebagai calon mahasiswa
untuk memilih perguruan tinggi yang akan
dimasukinya cukup kompleks. Untuk mengurai kompleksitas tersebut, sesuai dengan
model stimulus-respon perilaku konsumen, Vrontis et al. (2007)
mengklasifikasikann keputusan pemilihan perguruan tinggi oleh para siswa ke
dalam model-model ekonomi, model status pencapaian dan model gabungan.
Model stimulus-respon mengasumsikan bahwa ketika harus
memilih, siswa menghadapi stimulus
eksternal seperti aktivitas pemasaran
yang dilakukan perguruan tinggi, atribut kelembagaan dan faktor-faktor yang di
luar kendali seperti orang tua dan pengaruh teman.
Dalam konteks ini, model
ekonomi berasumsi bahwa konsumen sangat rasional. Keputusan pemilihan
perguruan tinggi didasarkan atas perhitungan biaya dan manfaat yang dirasakan
untuk masing-masing institusi. Dengan asumsi ini, maka pilihan jatuh pada
lembaga pendidikan yang menyediakan nilai tertinggi. Salah satu penganut model
ini Kotler dan Fox (1995).
Model pencapaian status menganggap bahwa pilihan siswa dipengaruhi oleh interaksi antara variabel
perilaku dan latar belakang sang siswa (Sewell dan Shah, 1978). Model didasarkan
pada Teori Sosial, yang berfokus pada proses seperti sosialisasi, peran
keluarga, jaringan sosial dan kondisi akademis. Model semacam ini menolak
asumsi mahasiswa dan keluarga sebagai decider yang rasional.
Sementara itu model gabungan menggambarkan secara bersamaan pada pendekatan rasional
model ekonomi dan pada perspektif sosiologis, sehingga memberikan penjelasan
yang lebih komprehensif untuk sebuah pilihan (Hossler et al, 1999). Model
Gabungan mencoba menangkap esensi dari kedua model sebelumnya. Ini macam model
yang memungkinkan dilakukannya sejumlah besar kekuatan analitis, karena mereka
menggabungkan aspek sosiologis dengan keputusan rasional. Salah satu penganut model ini adalah Hossler
dan Gallager (1987).
Menurut Hossler dan Gallagher (1987), model ini meliptui
tiga fase yang meliputi: predisposisi, mencari dan memilih. Tahap kecenderungan
merupakan tahap awal dimana siswa memutuskan apakah mereka akan melanjutkan
pendidikan mereka di perguruan tinggi atau tidak. Selanjutnya fase pencarian
merupakan tahap dimana siswa mengumpulkan informasi tentang institusi
pendidikan tinggi. Sedangkan ketiga adalah tahap siswa menentukan lembaga yang
akan dimasukinya.
Menggunakan pendekatan ini, Vrontis al el. (2007)
mengembangkan model pendidikan tinggi kontemporer siswa-pilihan bagi
negara-negara maju. Model ini merupakan pandangan menyeluruh dari proses
mempertimbangkan baik urutan langkah-langkah keputusan dan berbagai pengaruh.
Determinan ini meliputi: (1) individu (siswa dan atribut pribadi), (2) lingkungan
(kebijakan publik umum dan pengaruh / media), (3) karakteristik sekolah tinggi
(misalnya, komposisi sosial, kualitas), dan, (4) karakeristik dan tindakan
perguruan tinggi.
Dengan asumsi bahwa perguruan tinggi merupakan sebuah
layanan, mengutip Lovelock (2001),
tahapan membeli meliputi tahap pra-pembelian, tahap pemenuhan pelayanan dan
pasca-pembelian. Tahap pra-pembelian meliputi pencarian informasi untuk
mengenali , memenuhi kebutuhan dan evaluasi penyedia jasa alternatif.
Fase pemenuhan layanan melibatkan pembelian layanan sebenarnya dari pemasok yang dipilih. SemeFntara tahap pasca pembelian menyiratkan penilaian kinerja dan harapan masa depan. Pada tahap terakhir ini, klien mengevaluasi kualitas pelayanan dan kepuasan. ini penting sebab kesetiaan biasanya muncul pada tahap ini.
Fase pemenuhan layanan melibatkan pembelian layanan sebenarnya dari pemasok yang dipilih. SemeFntara tahap pasca pembelian menyiratkan penilaian kinerja dan harapan masa depan. Pada tahap terakhir ini, klien mengevaluasi kualitas pelayanan dan kepuasan. ini penting sebab kesetiaan biasanya muncul pada tahap ini.
Dalam survey
MIX-marcomm ini, fokus informasinya adalah pada pra pembelian.
Maksudnya, penelitian dilakukan kepada
siswa sebelum masuk perguruan tinggi. Karena itu responden dalam penelitian
adalah para siswa kelas III yang akan masuk ke perguruan tinggi. Hasil survey memberikan gambaran tentang
keragaman faktor yang mempengaruhi pilihan siswa yang besar.
Beberapa factor berkaitan dengan pengaruh orang lain, ada
pula yang berhubungan dengan faktor pribadi dan individu. Beberapa fakator
berkaitan dengan karakteristik lembaga
dan persepsi mahasiswa tentang nilai dan biaya. Temuan survey MIX-marcomm
memperkuat model ekonomi seperti yang
disinggung sebelumnya. Dalam konteks ini, reputasi perguruan menjadi
pertimbangan utama responden dalam memilih perguruan tinggi.
Seperti diketahui, model ekonomi didasarkan pada asumsi
bahwa seorang siswa ingin memaksimalkan utilitas mereka dan meminimalkan risiko
mereka. Dalam hal ini mereka menganggap bahwa pilihan perguruan tinggi adalah
proses rasional dan bahwa siswa akan selalu melakukan apa yang terbaik untuk
mereka.
Terkait dengan tahap pra-pembelian, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa realitas menunjukkan bahwa proses yang berlangsung pada tahap
ini mengarah pada keputusan akhir untuk pembelian/konsumsi. Aktivitas yang
terjadai pada tahap ini bervariasi tergantung pada kebutuhan spesifik atau
harapan yang harus dipenuhi.
Sebuah aspek penting yang perlu dipertimbangkan pada tahap
ini adalah risiko (Lovelock 2001). Gagasan risiko dalam keputusan pembelian
berkaitan dengan fakta bahwa saat konsumen membuat keputusan pada dasarnya
berada di bawah tingkat ketidakpastian tertentu mengenai produk atau layanan.
Dengan demikian, pertimbangan pilihan merujuk pada kemungkinan terjadinya hasil
negatif dan kemungkinan kerugian (Taylor, 1974; Murray 1991).
Dalam konteks ini, siswa menghadapi ketidakpastian karena
hasil pilihannya itu baru dapat diketahui sepenuhnya di masa depan. Untuk mengurangi persepsi risiko, konsumen
menggunakan strategi seperti pencarian informasi yang meliputi melihat reputasi
penyedia layanan, melihat fasilitas layanan, berbicara dengan karyawan lembaga
tersebut, atau browsing melalui internet untuk membandingkan masing-masing
perguruan tinggi.
Temuan ini memberikan gambaran umum bahwa calon siswa tidak
diam. Mereka aktif terlibat dalam pencarian informasi baik yang berasal dari
sumber formal maupun jaringan sosial (misalnya, teman/ kenalan, guru). Sumber interpersonal ini bisa jadi dianggap
sebagai pelengkap sumber formal. Disinilah peran informasi yang disampaikan
alumni menjadi penting.
Brant (2002) menegaskan bahwa selain sumbangan dana, alumni
dapat digunakan sebagai brand ambassador, advokat lembaga, merekrut calon
mahasiswa dan mentoring, membantu lulusan untuk memajukan karir mereka,
membantu alumni untuk tetap terhubung satu sama lain, dan menyediakan umpan
balik bagi lembaga.
Bahkan menurut Els (2003), sebagian besar perguruan tinggi
di Afrika Selatan menerima sumbangan dana individu dalam jumlah yang lebih
besar dibandingkan donor korporasi. Menurut Baade & Sundberg (1996), tidak
seperti donor perusahaan, alumni bisa bertindak lebih dari loyalitas terhadap
institusi dan kepeduliannya terhadap
kelangsungan hidup lembaga.
Dalam konteks komunikasi, alumni merupakan salah satu elemen
yang sangat penting. Posisi, peran, dan aktivitas mereka di masyarakat secara tidak langsung
mengkomunikasikan perguruan tinggi tempat mereka menimba ilmu. Ketika mengisi
riwayat hidup saat menjadi pembicara, ketika dia memperkenalkan dirinya dalam
suatu acara atau komunitas baik formal atau tidak formal, sadar atau tidak
sadar mereka sebenarnya membawa atribut perguruan tinggi tempat dia kuliah
sebelumnya.
Jaringan alumni dengan para pemangku kepentingan di luar lembaga yang efisien, menurut Hung (2003), membantu lembaga dalam membangun positioning. Mereka bisa bertindak sebagai brand ambassador bagi lembaga. Dalam banyak hal, alumni adalah bentuk nyata dari sebuah merek perguruan tinggi. Mereka menampilkan reputasi yang bisa membangun persepsi melalui prestasi mereka di masyarakat. Alumni merepresentasikan berbagai hal mulai dari lokasi, situasi dan indentitas perguruan tunggi sehari-hari.
Oleh karena itu penting bagi perguruan tinggi untuk
membangun dan memelihara hubungan baik dengan para alumnus. Salah satu
strateginya adalah dengan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan,
membangun jaringan dan proses pembangunan menuju kemajuan lembaga perguruan
tinggi tersebut. Untuk melakukannya, adalah penting bagi lembaga membentuk
saluran komunikasi yang terbuka dan langsung dengan alumni.
Profil keanggotaan alumni tinggi universitas, yang
menunjukkan status sosial, pendapatan dan status perusahaan, jaringan alumni
ini bisa memberikan lembaga-lembaga sosial dengan sumber daya keuangan,
intelektual dan manusia yang berharga yang bisa menciptakan diferensiasi dalam
strategi bisnis lembaga secara keseluruhan. Pemanfaatan jaringan strategis
lembaga dan sumber daya jaringan alumni dalam bidang sosial, politik dan
ekonomi yang konstruktif ini dapat menghemat dan waktu secara efektif (Barnard
& Rensleigh, 2006).
Menjadikan mahasiswa dan alumni sebagai duta kampus bukanlah
sesuatu yang baru. Sejak 1948, perguruan tinggi menggunakan mahasiswa sebagai
duta kampus untuk membantu perguruan tinggi mendapatkan calon mahasiswa (Clark,
1949). Penggunaan duta mahasiswa berlanjut sampai sekarang dengan memperluas peran sperti program
pendampingan mahasiswa yang kurang beruntung misalnya (Ylonen, 2010)
Bagaimana cara mengarahkan dan mendorong para alumninya
menjadi live brand, hal ini terkait dengan pengalaman yang didapat selama
mereka berkuliah. Beberapa penelitian menunjukkan faktor- faktor yang
mempengaruhi alumni memberikan kontribusi untuk perguruan tinggi anara lain,
keterikatan emosional alumni tersebut terhadap lembaga (Gaier, 2003 dan Tsao
& Coll, 2005).
Keterikatan emosional tersebut ada karena alumni menikmati
pengalaman tang memusakan selama pendidikan, keterlibatan alumni dalam kegiatan
perguruan tinggi misalnya sebagai wali amanat atau himpunan alumni, dan
keterlibatan dalam kegiatan ekstra kurikuler semasih mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar