Ada alasan sederhana mengapa Anda tidak perlu membuang waktu
dengan bertanya apakah Anda telah kehilangan kendali atas reputasi merek Anda.
Sebab kini jawabannya jelas, bahwa Anda tidak pernah memiliki kontrol atas
reputasi merek Anda. Dengan kata lain, di zaman perubahan media seperti
sekarang ini, didorong oleh perkembangan media sosial dan konvergensi media
konvensional, reputasi perusahaan seakan tidak lagi berada dalam kendali Anda.
Ini gara-gara perubahan lansekap media. Media kini semakin
suit dikontrol. Melalui media baru, saat ini orang bisa mengkomunikasikan merek
kepada khalayak tentang apa saja, termasuk hal-hal negatif tentang perusahaan
atau merek. Bila dulu lalu lintas informasi hanya berjalan satu arah, melalui
saluran media sosial sebagian besar lalu lintas berlangsung dua arah. Sekarang,
audience bisa menjawab kembali apa yang dikomunikasikan perusahaan dengan
pendapat ditransmisikan di seluruh dunia dalam sekejap mata. Pendapatnya
beragam dan simpang siur. Jadi berlangsunglah anarki di luar sana.
Begitu bisnis menjadi target utama untuk bukti 'perilaku
yang bertanggung jawab', konsumen menjadi petugas yang paling vocal. Sekarang,
konsumen aktif mengajukan tuntutan dan pilihan pribadi; merespon isu politik; lebih
mungkin mempertanyakan nilai dari setiap perkembangan baru; menganggap isu lingkungan sebagai kebutuhan
dasar.
Konsumen gelisah dengan kekuasaan korporasi. Dalam sebuah
survei Business Week (14 September 2000), hampir tiga perempat dari warga Amerika
merasa bahwa dalam beberaa tahun terakhir, bisnis mendapatkan kekuasaan yang terlalu
banyak. Konsumen aktif tidak hanya memiliki kekayaan yang lebih besar, akses ke
informasi dan meningkatan peluang umur panjang, berpikir jangka panjang, tetapi
juga - tentu di Eropa - terlihat LSM mendorong agenda CSR dan menempatkan variabel
lebih percaya pada legitimasi atas yang mereka katakan bisnis, pemerintah atau
media.
Dukungan LSM di Eropa terhadap kampanye lingkungan misalnya,
kini semakin canggih. Beberapa penelitian memperkuat pandangan bahwa tanggung
jawab sosial serta lingkungan merupakan isu utama bagi masyarakat. Menurut
Peter Melchett, mantan Direktur Eksekutif Greenpeace Inggris, ‘’Sebagian besar
orang tidak anti-ilmu pengetahuan, mereka juga tidak cuek. Sebaliknya, orang-orang
kini semakin sadar, dan curiga, terhadap
kombinasi ilmu besar dan bisnis besar."
Siapapun yang memiliki dan mengakses internet sekarang dapat
menyuarakan pendapat mereka, baik atau buruk, melalui bentuk-bentuk sosial
media seperti blog atau jaringan seperti Facebook atau Twitter. Individu dengan
kepentingan bersama dapat menemukan satu sama lain dan berbagi informasi.
Organisasi yang peduli tentang reputasi mereka tidak punya pilihan selain
mendengarkan.
Fragmentasi media dan munculnya media sosial telah membawa
reputasi merek dan risiko pribadi ke fokus yang tajam yang tidak pernah ada
sebelumnya. Pemegang saham tidak puas, pelanggan dan staf menyuarakan pendapat
mereka kepada khalayak melalui internet dan media sosial. Anda mungkin mampu
mengendalikan segala sesuatu yang karyawan Anda pikirkan, katakan dan tulis
tentang merek Anda. Tapi, apakah Anda sepenuhnya mampu mencegah mereka bersuara
melalui internet atau media sosial? Dalam konteks merek, itulah anarki
reputasi.
Berbeda dengan dulu, kini makin banyak kelompok penggiat
konsumen yang menetapkan agenda kebijakan publik mereka dengan menggabungkan
teknik propaganda dengan teknologi computer. Bahkan kini makin dipermudah
dengan adanya media sosial.
Pertama, mereka menciptakan kebutuhan yang dirasakan untuk
ide reformasi mereka (misalnya, menonjolkan daya tarik pesan dengan mengatakan
bahwa penggunakaan phthalate dalam pembuatan bahan kimia sintetis menghancurkan
sistem reproduksi dan lingkungan) untuk mendapatkan perhatian publik, media,
dan pemimpin opini.
Kedua, mereka menciptakan legitimasi dengan menampilan
gagasan-gagasan mereka melalui studi, validasi pihak ketiga, dan melalui
polling opini publik serta lobi kebijakan publik. Akhirnya, mereka menggunakan
teknik penyebaran informasi lain seperti editorial, direct mail dan mobilisasi
akar rumput untuk memperpanjang sudut pandang mereka secara lintas batas.
Secara sederhana, kampanye yang mereka lakukan dapat terdiri
dari pengumpulan informasi dan menyerahkannya ke media dan pemerintah.
Seringkali, dengan menggunakan penelitian, kelompok penekan dapat memenangkan
dukungan publik dan pengadilan. Selanjutnya, mereka memobilisasi anggota dan
pendukungnya untuk menulis keluhan kepada perusahaan tentang tindakan dan
kebijakan yang dilakukan perusahaan.
Bahkan bisa lebih jauh lagi dengan menyerukan aksi boikot.
Beberapa tahun lalu, Lufthansa setuju menghentikan pengangkutan hewan untuk uji
laboratorium 10 hari setelah kelompok anti-pembedahan makhluk hidup Eropa
meluncurkan kampanye yang mendesak wisatawan untuk menggunakan maskapai lain.
Dalam buku yang relatif singkat (245 halaman) ini, penulis
buku — Steve Earl dan Stephen Waddington – memasukkan banyak teori PR, studi
kasus praktis dan wawancara dengan beberapa profesional berpengalaman seperti
Alastair Campbell, Greg Dyke (ex BBC) dan lain-lain.
Intinya, Brand Anarkhy adalah suatu upaya untuk membawa
kejelasan masa depan reputasi perusahaan. Anda memang tidak dapat mengontrol
apa yang dikatakan orang tentang Anda. Tapi dengan terlibat dalam hubungan
partisipatif, Anda akan bisa mendapatkan kontrol lebih besar atas hal itu dari
yang Anda sudah di masa lalu.
Bab pertama buku yang terdiri atas 10 Bab ini membahas
tentang reputasi perusahaan. Sekali lagi penulis menegaskan bahwa Anda tidak
dapat mengontrol reputasi merek Anda. Di masa lalu perusahaan terhubung ke
pelanggan mereka melalui sejumlah kecil media, yang mungkin bisa dipengaruhi
oleh PR. Namun kini perubahannya sangat drastic. Dunia editorial terus berubah
dengan cepat, termasuk juga tekniknya.
Karena perubahan media tersebut, teknik pengelolaan reputasi
juga berubah. Kenapa? Perubahan media bisa membuat perusahaan mencorong dengan
cepat. Akan tetapi, ada pula yang memudar lebih cepat. Perubahan teknologi yang
cepat juga menyebabkan munculnya cara baru dalam pemasaran dan konsumen
dihadapkan pada meningkatkan jumlah informasi setiap hari.
Sementara para pengiklan kini menyadari bahwa mereka
menghadapi ancaman, serta mencari peluang baru — karena kemampuan media modern
untuk menghubungkan langsung dengan khalayak — ada ruang bagi orang-orang
periklanan mendapatkan anggaran dari public relations. Sebab harus diakui bahwa
sudah sejak dulu ada usaha untuk menyelaraskan antara kampanye iklan dan
editorial yang bertujuan untuk menjual produk atau jasa.
Terhubungnya audiens dengan merek secara langsung (bahkan
audiens aktif mencari beberapa bentuk hubungan partisipatif dengan mereka)
membuat perencanaan reputasi menjadi semakin rumit. Mengutip pendapat Mike
Walsh, mantan kepala eksekutif Ogilvy di Eropa, penulis buku ini mengatakan
bahwa tantangan utama PR saat ini tidak terletak pada bagaimana menemukan
posisinya dalam media dan dunia pemasaran berubah. Yang harus ditemukan oleh
seorang PR saat ini adalah bagaimana menciptakan reaksi positif untuk merek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar