Edhy Aruman - Wartawan Utama (2868-PWI/WU/DP/VI/2012...), pernah menjadi redaktur di majalah SWA. Aruman pernah meniti karier kewartawanan di harian Jawa Pos, Berita Buana, majalah Prospek, Harian Republika dan editor eksekutif di Liputan 6 SCTV, sebelum pindah ke SWA (http://www.detik.com/berita/199902/990212-1319.html). Lulus S3 Komunikasi IPB, Redaktur Senior Majalah MIX, dosen LSPR Jakarta, dosen PR FISIP UI (2015-2022), dan salah satu ketua BPP Perhumas periode 2011-2014.
Rabu, 29 Juli 2015
Benarkah Pemasaran Proaktif Saat Ekonomi Lesu Bisa Menyelamatkan Merek Anda?
Siklus bisnis dan resesi ekonomi dapat mempengaruhi kinerja perusahaan secara individual, industri dan seluruh sektor ekonomi. Namun yang menarik, ternyata tidak semua perusahaan memiliki kinerja buruk atau gagal selama resesi. Beberapa perusahaan malah semakin bagus kinerjanya dan bahkan tumbuh.
Dari fenomena ini tampaknya ada pandangan terhadap resesi. Beberapa perusahaan melihat resesi sebagai ancaman. Ini terjadi di banyak perusahaan sehingga mereka meresponnya dengan memangkas anggaran atau melakukan penghematan. Sementara itu banyak juga perusahaan yang melihat resesi sebagai peluang. Mereka memperkuat bisnisnya, berinvestasi secara agresif dan berambisi menyalip pesaing mereka yang lebih lemah.
Sebagai contoh, merek rokok Camel dan mobil Chevrolet berhasil merebut posisi pasar dari pesaing mereka melalui kampanye pemasaran yang agresif selama Depresi Besar di Amerika Serikat pada tahun 1930-an. Procter and Gamble (P&G) juga tercatat sebagai perusahaan yang tidak memangkas pengeluarannya selama periode resesi. Saat itu, P&G banyak mempromosikan beberapa merek terkenal semisalnya, Camay, Ivory, dan Crisco.
Perusahaan lain, seperti Saturnus — Divisi GM — dan Intel Corporation juga banyak berinvestasi selama resesi 1990-1991 untuk meningkatkan posisi daya saing mereka. Intel misalnya, meluncurkan kampanye “Intel Inside” untuk membangun merek, dan secara agresif mempromosikan merek Intel pada saat pesaingnya memperkecil anggaran iklannya. Demikian juga, DeBeers yang agresif meluncurkan kampanye pemasaran “Shadows” secara global selama resesi 1989-1990.
Merek lainnya, Renault agresif memperkenalkan merek Clio dengan harga tertinggi kedua dalam kategorinya. Saat resesi makin dalam, Barclaycard menginisiasi merek dengan cara mere-launch secara agresif mereknya dengan tujuan meningkatkan pangsa pasarnya melalui akuisisi. Selain merek-merek tersebut, merek atau perusahaann lainnya seperti BMW, Cisco, Dell, dan, Wal-Mart juga melihat resesi sebagai kesempatan. Mereka berinvestasi secara agresif dengan harapan dapat menangkap posisi pasar pada saat pesaing mereka melemah.
Studi yang dilakukan McGraw-Hill Research’s Laboratory of Advertising Performance terhadap 600 perusahaaan di AS menyebutkan bahwa selama resesi 1980-1985, perusahaan-perusahaan yang mempertahankan atau meningkatkan belanja iklannya selama resesi 1981-1982 memiliki rata-rata pertumbuhan penjualan secara signifikan yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang tidak beriklan. Itu terjadi selama kemerosotan ekonomi dan tiga tahun berikutnya. Demikian pula, selama resesi 2001, perusahaan yang mempertahankan atau meningkatkan kampanye pemasarannya, pangsa pasar meningkat dua kali saat resesi berlalu.
Dari fenomena tersebut dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pada proaktif marketing dapat menyelamatkan atau bahkan meningkatkan kinerja perusahaan atau merek pada terjadi kelesuan ekonomi.
Perusahaan proaktif adalah perusahaan yang secara kreatif mengambil langkah strategis yang diperlukan untuk memanfaatkan situasi kelesuan ekonomi. Dalam konteks ini, perusahaan dengan cepat memodifikasi rencana pemasarannya disesuaikan dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Jadi pemasaran proaktif dapat dilihat sebagai manifestasi dari kemampuan yang dinamis dimana perusahaan memanfaatkan sumber daya internal dan kemampuan (rencana pemasaran dan investasi) dan kendala eksternalnya (resesi) untuk mengatasi perubahan di pasar.
Pemasaran proaktif dapat dilihat sebagai perilaku memutarbalikkan kondisi luar – dalam batasan tertentu — dan memanfaatkan perubahan ini untuk keuntungan dengan berinvestasi dalam pemasaran. Dalam kaitan itu, sangat penting bagi perusahaan untuk memahami bahwa pelanggan potensial merespon secara berbeda selama masa resesi. Mereka menjadi lebih diskriminatif dalam keputusan pembelian mereka dan lebih responsif terhadap berbagai jenis pesan.
Disini pengiklan tidak boleh berasumsi bahwa audiens yang sama akan merespon sama untuk setiap pesan atau komunikasinya. Selama resesi, pelanggan baru mungkin datang dari tempat yang berbeda dari sebelumnya. Prospek yang dulunya non-responsif bisa menjadi responsif, dan pelanggan setia pesaing Anda mungkin memberikan perhatian lebih pada merek Anda karena pesan dan komunikasi yang Anda lakukan tepat.
Saat kelesuan ekonomi nasional 2008 lalu, rentang sosialisasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang kelewat panjang, krisis minyak berikut pangan yang melanda setiap belahan dunia, membuat P&G harus menyikapinya secara jeli. Sebetulnya, sebelum pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan BBM pada 23 Mei 2008, menurut External Communication Director P&G Indonesia (saat itu) Bambang Sumaryanto, dampak krisis 2008 sudah dirasakan. Salah satunya, dengan terjadinya penurunan daya beli konsumen.
Bagi P&G, jurus terpenting dalam menjawab krisis kali ini adalah mempelajari setiap perilaku konsumen beserta perubahannya. Sejatinya, mempelajari perilaku konsumen—yang disebut Bambang sebagai boss—selalu dilakukan, pada saat ada atau tidak ada krisis. Maklum saja, selama ini P&G dikenal dengan produk premium dengan harga yang tidak semurah produk lainnya.
Oleh karena itu, upaya untuk membuat produk yang lebih terjangkau konsumen adalah misi utama P&G. ”CEO P&G yang sekarang sudah punya strategi baru sejak tahun 2000. Salah satu strateginya adalah bagaimana membuat produk yang affordable, yang bisa dibeli oleh masyarakat Asia, khususnya negara Asia yang sedang berkembang,” jelas Bambang.
Tahun lalu, umpamanya, P&G melempar paket Rejoice Family. Kemasan sachet yang terdiri dari empat buah itu dibandrol dengan harga Rp 1.000. Padahal, harga normalnya mencapai Rp 2.000 atau Rp 500 per sachet. Dilemparnya Rejoice Family tak lepas dari riset perilaku konsumen yang rutin digelar P&G. Melalui penyigian tersebut, dijumpai fakta bahwa anggota keluarga, terutama anak-anak, kerap boros dalam menggunakan shampo kemasan botol. Buntutnya, P&G pun melempar paket Rejoice Family.
Tak terkecuali merek Olay. Sejak dilempar ke pasar, Olay sudah muncul dengan dua varian, Olay Total Effect yang menyasar menengah atas dengan harga Rp 100 ribuan dan Olay Total White yang membidik pasar menengah bawah dengan harga Rp 10 ribuan.
Diakui Bambang, perubahan besar yang dilakukan dalam tubuh P&G, yakni regionalisasi resources, juga merupakan bagian dari efesiensi. Menutup pabrik di Tanah Air dan memusatkan produksi di negara lain memang bukanlah kebijakan populis. ”Tapi, itu dilakukan karena kami ingin melakukan efesiensi yang hasilnya bisa dikembalikan lagi ke konsumen. Yaitu, dengan menurunkan harga produk kami, tanpa mengurangi kualitas,” ujar Bambang.
Selanjutnya, kemasan produk untuk distribusi di bermacam-macam negara dibuat seragam. Hal itu dilakukan guna mendukung keleluasaan pengiriman stok barang. Misalnya saja, jika stok produk di Indonesia habis, maka negara terdekat, yang misalnya masih memiliki stok bisa langsung mengirimkannya ke Tanah Air. ”Dulu, waktu kemasan produk setiap negara beda, kami tidak mungkin melakukan itu,” lanjutnya.
Dikatakan Bambang, melakukan efesiensi lewat suplay chain management yang baik—sehingga tidak terjadi stok menganggur di distributor maupun toko—merupakan jurus jitu kedua dalam menyikapi krisis. Sebab, barang yang menumpuk di distributor ataupun pedagang tentu ada cost-nya—yang notabene kerap dibebankan ke konsumen.
Langkah ketiga adalah fokus pada negara, wilayah, dan merek yang dianggap berpotensi. Dari survei yang telah dilakukan, urai Bambang, ada kategori produk yang berpotensi untuk ditumbuhkan. Contohnya, kategori kesehatan, seperti sikat gigi yang sudah pasti terkena krisis. Konsumen yang biasanya mengganti sikat gigi dua bulan sekali, boleh jadi akan menggantinya tiga bulan sekali.
Sementara itu, fakta di rural yang dijumpai, satu sikat gigi biasanya dipakai oleh satu keluarga. ”Kalau pasar tersebut diberikan penyuluhan kesehatan bahwa satu sikat gigi seharusnya digunakan untuk satu orang, maka pasar sikat gigi di rural akan bertumbuh,” ungkap Bambang, yang mengaku bahwa growth P&G sejauh ini masih positif dengan angka dua digit.
Bambang mengingatkan, pemasar jangan melulu konsentrasi di area urban. Lantaran, masih banyak peluang pasar yang bisa digarap di daerah rural.
”Keindahan Indonesia adalah tidak semua daerah terkena krisis. Misalnya di daerah perkebunan kelapa sawit, ekonominya masih bertumbuh. Itu sebabnya, maping kategori produk dan wilayah mana yang berpeluang untuk digarap, menjadi sangat penting,” terangnya.
Jurus terakhir adalah memangkas biaya promotion mix yang sejatinya tidak diperlukan. Kehati-hatian P&G dalam menggelar promotion mix sudah lama dilakukan. Bambang beralasan, promosi yang tidak efektif, ujungnya harus dibayar semuanya oleh konsumen. Bahkan, kebiasaan promosi yang heavy, akan mempersulit pemasar dalam menguranginya di masa krisis seperti ini.
Sejak empat tahun lalu umpamanya, P&G sudah aktif dengan BTL demi memperkuat aktivitas ATL. Misalnya, melibatkan bintang iklan produk-produk P&G dalam rangkaian BTL-nya. Sebutlah Audy, bintang Olay, yang turut berjualan di pasar. Darius, bintang iklan Gillette, yang ikut mengunjungi pasar becek. ”Dengan program seperti itu, kami mampu menarik perhatian shopper. Biasanya, setelah itu, sales di toko tersebut langsung meningkat,” tegas Bambang, yang kerap melakukan kerja sama dengan para pedagang lantaran yang tahu betul kebiasaan konsumen dalam membeli adalah pedagang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar