Edhy Aruman - Wartawan Utama (2868-PWI/WU/DP/VI/2012...), pernah menjadi redaktur di majalah SWA. Aruman pernah meniti karier kewartawanan di harian Jawa Pos, Berita Buana, majalah Prospek, Harian Republika dan editor eksekutif di Liputan 6 SCTV, sebelum pindah ke SWA (http://www.detik.com/berita/199902/990212-1319.html). Lulus S3 Komunikasi IPB, Redaktur Senior Majalah MIX, dosen LSPR Jakarta, dosen PR FISIP UI (2015-2022), dan salah satu ketua BPP Perhumas periode 2011-2014.
Rabu, 29 Juli 2015
Berkomunikasi dengan Karyawan Saat Krisis
Beberapa waktu lalu, saya mendapat kehormatan untuk memberikan training media kepada para tenaga lapangan sebuah perusahaan yang bergerak di consumer goods. Temanya tentang Apa yang Diinginkan Wartawan Saat Perusahaan Mengalami Krisis. Pesertanya sekitar 35 orang di sebuah hotel di Jakarta.
Ketika pertama dihubungi dan mendapat penjelasan tentang pelatihan tersebut, saya merasa tergeran-heran. “Kok tenaga lapangan?.’ Bukankah yang harus dilatih adalah staf public relations atau yang biasa berhubungan dengan media misalnya. Namun saya tak menanyakan hal itu lebih lanjut. Saya cukup mendapat penjelasan bahwa mereka adalah tenaga lapangan di kebun dan tidak pernah mendapat pelatihan seperti itu.
Saat dialog selama pelatihan, saya baru menyadari kenapa perusahaan itu perlu melatih staf lapangannya untuk berhubungan dengan media. Rupanya, terutama di beberapa daerah,para wartawan dalam mencari berita mereka mendatangi langsung ke daerah-daerah atau di lapangan. “Sering Pak. Seminggu sekali kami kedatangan wartawan,” kata salah seorang peserta.
Selain tenaga lapangan, informasi lain, para tenaga penjual di lapangan juga sering mendapat pertanyaan dari pedagang reseller, konsumen atau bahkan wartawan yang mungkin kebetulan bertemu atau wartawan tersebut masih berhubungan keluarga dengan reseller tersebut. “kami sering kesulitan bagaimana menjawabnya,” kata salah seorang peserta.
Dari keterangan itu, saya lalu menarik persoalan ini ke perkembangan media terkembang media akhir-akhir ini. Dalam kasus musibah pesawat QZ8501 milik AirAsia bulan lalu misalnya, begitu mendengar selentingan tentang hilangnya pesawat, puluhan wartawan mencoba menghubungi manajemen AirAsia. Puluhan lain menghubungi Kementerian Perhubungan.
Coba bayangkan misalnya, tiba-tiba Anda ditelpon seorang reporter Daily Mail di London yang meminta komentar Anda atas puluhan bahkan ratusan komentar negatif atau kemarahan yang diposting ke blog, Twitter, Facebook dan update tentang pernyataan CEO Anda yang tampaknya tidak berbahaya di sebuah konferensi kecil, dua hari sebelumnya?
Yang muncul di benak orang pertamakali tentu pertanyaan, “Apa itu Twitter?” Kedua, “Mengapa reporter ini menelpon dia? Bagaimana mereka mengetahui dan mendengar tentang kami?” Ketiga, keheranan Anda. “Dia bilang, dia dari Daily Mail London? Sepertinya itu di Inggris! Kami kana da di Jakarta, Indonesia? ”
Tapi, saya yakin Anda kini tidak seperti itu. Sebab, Anda sekarang sadar benar bahwa penetrasi media sosial kini luar biasa dan memiliki jangkauan di seluruh dunia. Anda kini menyadari bahwa banyak orang memiliki dan menuliskan apa saja melalui blog, memposting pesan melalui Twitter, dan memperbarui status Facebook mereka.
Dalam hal pernyataan CEO Anda itu, komentar atau pesan-pesan yang menunjukkan kemarahan itu dibuat dan diupload tepat saat CEO Anda itu mengatakannya. Komentar atas pernyataan CEO itu bertebaran dan jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu, jika tidak jutaan, dalam hitungan hanya beberapa jam.
Karena itulah saya melihat sesuatu yang positif bila resepsionis, tenaga penjualan di lapangan, manajer kebun untuk perusahaan perkebunan, manajer lapangan perusahaan tambang, dan pekerja lapangan yang berhubungan langsung dengan konsuen atau reseller untuk mendapatkan pelatihan tentang media. Bahkan, pelatihan itu semakin penting untuk mempersiapkan mereka ketika pereusahaan atau merek mengalami masalah atau krisis yang tidak terduga.
Ambil contoh resepsionis misalnya, dialah staf yang pertama kali berinteraksi ketika seorang wartawan, kolega atau konsumen menelpon kantor Anda. Demikian pula dengan tenaga sales di lapangan. Kemungkinan besar mereka juga akan ditanya wartawan atau reseller ketika perusahaan atau merek mendapat masalah.
Anda tidak harus mendaftarkan resepsionis Anda, penjaga keamanan, dan personil pendukung lainnya dalam sebuah kelas pelatihan media formal. Sebaliknya, membuat kebijakan yang mensosialisasikan prosedur atau tatacara ketika berhubungan dengan media secara tak terduga dan membaginya dengan seluruh staf Anda. Namun tentunya bila mereka dilatih secara khusus akan jauh lebih efektif.
Salah satu bagian yang paling penting dari perencanaan penanganan krisis adalah bagaimana pada saat krisis perusahaan berkomunikasi dengan tenaga kerjanya. Dalam konteks ini, perusahaan harus mengembangkan strategi untuk menyediakan kepada karyawan informasi-informasi yang up-to-date tentang musibah.
Karyawan harus dilihat sebagaimana keluarga. Karyawan yang tahu dari media mengenai sesuatu yang mempengaruhi organisasi, dapat disanakan dengan seorang anggota keluarga yang mendengar sebuah masalah personal dari orang luar.
Karyawan seyogyanya tidak dilihat hanya sebagai penerima komunikasi internal, mereka juga pengirim dan, secara umum, aktif dalam kegiatan komunikasi perusahaan. Disini karyawan memproses dan mencari informasi, menafsirkan dan menyebarkan informasi secara aktif. Mereka bisa menjadi sumber informasi bagi pihak di luar organisasi, menyebarkan informasi yang bersifat strategis, dan membangun jaringan.
Perilaku ini merupakan dasar dari kemampuan perusahaan untuk menghasilkan pengetahuan, reputasi dan sumber daya lainnya tak berwujud yang sangat penting guna membangun keunggulan kompetitif perusahaan. Untuk alasan ini mereka disebut sebagai tindakan komunikatif strategis. Atau, karyawan dapat juga membocorkan informasi sensitif, memfitnah perusahaan mereka atau tidak berbagi pengetahuan dengan rekan-rekan.
Sebuah perencanaan komunikasi krisis internal terdiri dari serangkaian pertanyaan yang agak tradisional yang mungkin Anda temukan di hampir setiap rencana komunikasi. Misalnya, apakah tuujuan atau hasil yang diinginkan dari komunikasi? Apa yang akan dikomunikasikan [Pesan]. 3. Siapa yang akan memulai berkomunikasi? [Pengirim]. 4. Kelompok karyawan (dan manajemen) akan diajak berkomunikasi [Penerima]. 5. Bagaimana dan/atau komunikasi berlangsung? [Saluran / tempat], serta 6. Kapan komunikasi berlangsung? [Timeline] (Schmidt, 2005, 2010).
Sebuah perusahaan harus berusaha memastikan bahwa karyawan mengetahui perkembangan dari perusahaan. Dengan demikian, bila karyawan mendapat pertanyaan dari tetangganya, kawan dan sahabatnya mampu memberikan informasi sesuai dengan yang diberikan perusahaannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar