Edhy Aruman - Wartawan Utama (2868-PWI/WU/DP/VI/2012...), pernah menjadi redaktur di majalah SWA. Aruman pernah meniti karier kewartawanan di harian Jawa Pos, Berita Buana, majalah Prospek, Harian Republika dan editor eksekutif di Liputan 6 SCTV, sebelum pindah ke SWA (http://www.detik.com/berita/199902/990212-1319.html). Lulus S3 Komunikasi IPB, Redaktur Senior Majalah MIX, dosen LSPR Jakarta, dosen PR FISIP UI (2015-2022), dan salah satu ketua BPP Perhumas periode 2011-2014.
Rabu, 29 Juli 2015
Bolehkah Public Relations Beriklan?
Lingkungan bisnis saat ini ditandai dengan sinisme konsumen dan hilangnya kepercayaan konsumen dan kepercayaan diri. Berkembangnya sinisme konsumen tersebut dapat ditemukan pada beberapa penelitian di USA. Penelitian Starcom 2005 misalnya, mengungkapkan bahwa 65% dari pembaca majalah percaya bila pengiklan memberikan imbalan bayaran dengan besaran tertentu agar bisa menempatkan atau menampilkan merek atau produknya dalam artikel majalah (Starcom Study, 2005).
Situasi ini digambarkan Moxham (2008) sebagai dari kegoyahan kepercayaan konsumen terhadap hukum-hukum ekonomi kuno. Contoh Ini merupakan perubahan signifikan dalam sikap dan persepsi konsumen. Sebab selama ini, secara historis, penempatan atau penampilan suatu merek atau produk di media dilihat konsumen sebagai lebih kredibel dan bukan merupakan akal-akalan.
Hynes (2009) juga menunjukkan bahwa salah satu ciri menonjol dari kemerosotan ekonomi adalah rendahnya transparansi (hal. 22), termasuk prosedur atau cara-cara media menampilkan atau menempatkan merek atau produk dalam artikelnya.
Untuk maksud ini, Finchum (2010) memperingatkan bahwa reputasi bisnis sekarang lebih rapuh dari sebelumnya. Dia juga menekankan pentingnya percakapan merek dalam bentuk word-of-mouth mengingat makin pentingnya peranan social media dalam komunuikasi belakangan ini. Dalam konteks word-of-mouth, isu-isu konsumen terkait dengan produk yang menarik, seringkali dibicarakan secara bebas dibahas di antara konsumen di blogosphere misalnya, atau di tempat-tempat percakapan lainnya.
Dengan demikian, konsep dan keaslian praktek bisnis menjadi suatu hal yang lebih penting bagi keberhasilan bisnis. Allen (2005) menunjukkan adanya hubungan antara keaslian dan bercerita (mendongeng). Dalam konteks ini, mendongeng memiliki peran yang sangat penting di hampir setiap aspek organisasi. Penelitian-penelitian menunjukkan pentingnya narasi dalam branding.
Melengkapi thread ini adalah kenyataan bahwa tradisi bercerita dan mendengarkan cerita telah berlangsung lama dan diwariskan secara turun menurun di dalam masyarakat (Byrne, 2008). McClellan (2010) menunjukkan bahwa cerita menyediakan media komunikasi kepada pelanggan.
Menurut McClellan, penggunaan cerita telah berkembang sebagai alat yang bisa diandalkan dalam praktik public relations dan pemasaran. Sejalan dengan hal ini, narasi semakin diakui sebagai pusat di dalam praktik branding (Denning, 2006, hal. 42). Bahkan disebut-sebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dalam keberhasilan merek dalam suatu industri (Anonymous, 2009a).
Hynes (2009) percaya bahwa keaslian untuk mengangkat sebuah merek harus berasal dari public relations. Tujuan branding adalah untuk mengkomunikasikan tentang siapa dan itu membutuhkan sebuah cerita yang biasanya dilakukan oleh produk atau jasa itu sendiri dengan memanfaatkan pembicaraan word-of-mouth pelanggan atau oleh pihak ketiga lainnya yang kredibel (Denning, 2006, hal. 43).
Praktisi public relations selalu menghindari memberikan imbalan atau membeli ruang atau waktu serta tidak memanfaatkan gatekeeper media untuk membawa pesan mereka kepada audiense. Ini yang membedakan antara pengiklan dan public relations. Pengiklan membayar waktu atau ruang dan dengan demikian memiliki kontrol atas pesan mereka, audiense dan saluran penyampai pesan serta mempertahankan akses mereka ke media.
Praktisi PR harus percaya bahwa para gatekeepers akan mempertahankan arti yang diinginkan dari sebuah cerita. Meskipun tidak dapat mengendalikan cara gatekeeper dalam menggunakan pesan yang disampaikan, namun public relations dapat menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki pengiklan. Kelebihan itu antara lain bahwa pesan disampaikan oleh orang atau organisasi lain yang merekomendasikan atau menyampaikan informasi. Dengan demikian, secara umum kredibilitas PR lebih tinggi dari pada iklan.
Jadi, apakah public relations tidak boleh beriklan? Kalau boleh kapan itu bisa dilakukan? Dalam tulisannya di Public Relations Quarterly tahun 2001, Suzanne Sparks FitzGerald – Guru Besar PR dan Advertising di Rowan University — mengatakan bahwa pada situasi dan kondisi tertentu public relations bisa beriklan bahkan kadang-kadang menjadi keharusan.
Selama ini, kata Suzanne, pemahaman tentang iklan masih dalam paradigm periklanan tradisional. Kebanyakan dari kita masih berpikir bahwa iklan sebagai merek, ritel, atau bisnis ke bisnis, dan sebagainya. Bila orang masih berpikir bahwa iklan dalam konteks itu, praktisi public relations kesulitan beriklan.
Seperti diketahui, praktisi PR sering berurusan dengan isu-isu seperti advokasi, gambar, persuasi dan informasi publik. Berkaitan dengan isu-isu tersebut, praktisi public relations sering menggunakan jenis tertentu iklan seperti iklan advokasi, kerjasama, sponsor, kelembagaan, iklan layanan masyarakat, dan advertorial. Ketika PR menggunakan media dengan cara membayar tadi, pesan-pesan yang muncul tidak selalu menjual produk atau jasa, tetapi biasanya menggambarkan citra atau untuk membangkitkan perilaku selain membeli.
Intinya, praktisi public relations sering memilih menggunakan iklan terkait program dan kampanye dengan tujuan untuk mengembangkan kesadaran dari suatu organisasi dan kegiatannya; untuk mengikat lini produk yang beragam bersama-sama; memperbaiki hubungan dengan konsumen; meningkatkan citra organisasi; atau untuk mengambil sikap terhadap suatu isu publik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar