Di Indonesia, dalam beberapa tahun
terakhir, akuisisi merek marak kembali. Tahun lalu misalnya, Indofood yang
sudah memiiki merek Indomilk mengakuisisi Milkuat, merek susu cair untuk segmen
anak-anak berusia 5-12 tahun dari Danone Dairy Indonesia. Milkuat juga memiliki
banyak varian dengan harga terjangkau serta menjadi salah satu pemain utama di
segmen produk susu cair. Sebelumnya, PT Tiga Pilar Sejahtera Food (TPSF)
mengakuisisi merek snack taro beserta pabriknya dari PT Unilever Indonesia
Pertanyaannya adalah apa yang terjadi
setelah merek-merek diakuisisi. Beberapa merek memang masih tetap Berjaya.
Buavita yang diakuisisi Unilever dari PT Ultra Jaya, misalnya masih memimpin
pasar. TPSF juga terus mengembangkan merek Taro. Dua tahun lalu misalnya, Taro
melakukan brand activation “PetualanganTaro.” Melalui activation ini, Taro
ingin menjadi snack favorit di kalangan anak-anak.
Tapi coba bagaimana nasib Koprol? Kalau
saja Cita Citata sudah populer dua tahun lalu,
sekawan Fajar Budiprasetyo, Daniel Armanto, dan Satya Witoelar mungkin
akan terbawa “ngenes” tiap kali mendengar lagu “Sakitnya tuh di sini..”
terputar di setiap gang kecil ibukota. Bagaimana tidak, Koprol bayi start- up
mereka yang digadang-gadang di seluruh Indonesia, tiba-tiba dimatikan hanya dua
tahun setelah proses akuisisi oleh Yahoo!
Yahoo! Indonesia memutuskan untuk
menghentikan layanan microblogging lokal Koprol menyusul keinginan Yahoo! untuk
lebih fokus pada produk dan layanan inti yang berorientasi pada benefit. ”Dalam
kuartal akan datang kami akan menghentikan atau melakukan transisi beberapa
produk yang tidak memberikan revenue atau engagement yang berarti,” demikian
pernyataan resmi Yahoo! kepada pengguna tertanggal 30 Juni 2012. Kabar ini tentu saja membuat banyak pengguna
Koprol yang sedih dan kecewa. Jejaring sosial buatan lokal dengan 1,5 juta akun
teregistrasi tersebut tidak hanya memiliki banyak pengguna fanatic. Banyak di
antara mereka yang sudah melakukan kopi darat bahkan membentuk komunitas
offline.
Peran akuisisi telah banyak dibahas dalam
literatur manajemen. Strategi akuisisi ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan
teknologi, akses pasar baru, atau membentengi posisi mereka di pasar saat ini.
Selain itu, perusahaan memperoleh manfaat juga dengan memanfaatkan ekuitas
merek yang diperoleh dari merek yang diakuisisi. Mengakuisisi merek yang sudah
mapan, seperti jalan tol pertumbuhan bisnis. Ini karena bila membuat merek baru
mereka harus mempelajari pasar lebih dulu dan itu pun tingkat keberhasilannya
belum tentu tinggi.
Dari berbagai bahasan literatur tersebut,
gambarannya adalah bahwa akuisisi merek adalah sebuah pertaruhan yang tak
mudah. Terdapat beberapa bukti yang cukup bahwa sejatinya – paska akuisisi
-- banyak akuisisi yang gagal. Kasus Lenovo yang mengakuisisi
divisi computer IBM menarik karena kedua merek mempunyai perbedaan persepsi
yang berbeda. Sebagai merek asal China, persepsi Lenovo memang tidak sebagus
IBM yang asal Amerika. IBM memiliki
citra yang baik, yakni asal Amerika Serikat dan memiliki reputasi untuk
memproduksi produk yang baik. Di sisi lain, perusahaan pengakuisisi Lenovo
meski kelompok produsen PC terbesar di Cina, namun menghadapi persoalan citra
negara asal (yakni China) yang rendah. Hasil akhirnya, Lenovo memang masih
merek terkemuka di Cina, namun Lenovo kehilangan pangsa pasar di Eropa dan
Amerika Serikat.
Tahun 2011, Nestle Group, produsen makanan
terbesar di dunia, menandatangani perjanjian kemitraan dengan produsen permen
dan kue China, Hsu Fu Chi International Ltd.
Nestle berniat untuk mengakuisisi 60 persen saham di perusahaan Cina,
kesepakatan senilai $ 1,7 miliar. Kesepkatan itu menjadikan transaksi yang
ke-35 perusahaan asing mengambil alih merek China sejak trend itu terjadi.
Itu juga merupakan kali kedua Nestle mengakuisisi perusahaan Cina. Sebelumnya,
Nestle membeli 60 persen saham Yinlu Foods Group yang terkenal dengan makanan
dan minuman kaleng nya.
Melalui pembelian itu, sebagian orang dalam
percaya Nestle bermaksud untuk mendapatkan keunggulan kompetitif di industri
permen dan kue pasar di China melalui pembelian. Akan tetapi, akuisisi ini
memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat China, yang percaya bahwa merek
Hsu Fu Chi akan hilang setelah akuisisi tersebut.
Ketakutan ini beralasan. Sebab pengalaman
memberikan gambara bvanyaknya merek-merek yang hilang dari pasar setelah
akuisisi. Merek domestik seperti Dabao (kosmetik), Robust (air mineral), Supor
(kompor), Nanfu (baterai) dan Mini Nurse (kosmetik) kuat di pasar masing-masing
sampai dibeli oleh perusahaan multinasional. Namun setelah diakuisisi, banyak
dari mereka telah lenyap dari pasar.
Pada tahun 2003, L'Oreal membeli merek Mini
Nurse. Sekarang, merek tersebut telah hampir menghilang dari pasar. Pada tahun
1994 Unilever menguasai Shanghai Toothpaste Factory dan menyewa hak operasional
merek Zhonghua. Sekarang pangsa pasar pasta gigi Zhonghua tinggal di bawah 6
persen.
Sebelum diakuisisi, Maxam menguasai pangsa
pasar nasional sebesar 20 persen. Pada tahun 1990, pemilik merek Maxam,
Shanghai Jahwa Serikat Co Ltd, melakukan aliansi dengan SC Johnson Wax, dan
merek Maxam di”simpan” alias dikandangkan. Shanghai Jahwa membeli Maxam kembali pada tahun 1994 senilai 500
juta yuan ($ 77.640.000), tetapi merek telah kehilangan tempatnya di pasar.
Menyadari fenomena tersebut, Lu Renbo,
Wakil Sekretaris Jenderal China Electronics Chamber of Commerce, mengatakan
sebagian besar perusahaan China memang masih belum menyadari pentingnya
perlindungan merek. Itu sebabnya, setelah diakuisisi oleh perusahaan asing,
merek mereka menghilang. Intinya, banyak perusahaan asing yang hanya
menginginkan saluran penjualan dan sumber daya pemasaran yang dimiliki oleh
merek domestik sebagai jalan keluar berbagai kesulitan yang mereka jumpai di
pasar domestic. Mereka mengakuisisi
bukan karena nilai merek domestik.
Terlepas motif akuisisi tersebut, bila
perusahaan yang mengakuisisi memang ingin meningkatkan portfolio merek mereka,
tantangan yang muncul setelah akuisisi ini adalah bagaimana mengintegrasikan sumber daya mereka. Ketika
perusahaan atau divisi milik perusahaan berbeda digabungkan, merek sebagai
identitas perusahaan sering menyebabkan masalah.
Dimulai dengan bagaimana nama perusahaan
setelah dikuisi turun ke rincian tentang apa yang harus dilakukan bila terjadi
tumpang tindih dan persaingan antara merek yang dimiliki oleh perusahaan
sebelumnya. Juga bagaimana mendamaikan
konflik akibat perbedaan budaya di belakang merek. Selain itu, kompleksitas
akuisisi dalam hal industri yang berbeda, skala, dan reputasi merek lain
menciptakan kesulitan akuisisi merek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar